[zamanku] I Love You
Aku cinta kamu! Berapa kali Anda mengucapkan kalimat itu kepada istri Anda dalam sehari? Saya jelas tidak bisa menebaknya. Tapi beberapa orang suami atau istri mungkin bertanya: perlukah kata itu diucapkan setiap hari? Apa yang mungkin ‘dilakukan’ kalimat itu, dalam hati seorang istri, bila itu diucapkan seorang suami, pada saat anak ketiganya menangis karena susunya habis? Ada juga anggapan seperti ini, kalimat itu hanya dibutuhkan oleh mereka yang romantis dan sedang jatuh cinta, dan itu biasanya ada sebelum atau pada awal-awal pernikahan. Setelah usia nikah memasuki tahun ketujuh, realita dan rutinitas serta perasaan bahwa kita sudah tua membuat kita tidak membutuhkannya lagi. Saya juga hampir percaya bahwa romantika itu tidak akan akan bertahan di depan gelombang realitas atau bertahan untuk tetap berjalan bersama usia pernikahan. Tapi kemudian saya menemukan ada satu fitrah yang lekat kuat dalam din manusia bahwa sifat kekanak kanakan —dan tentu dengan segala kebutuhan psikologisnya—tidak akan pernah lenyap sama sekali dan kepribadian seseorang selama apapun usia memakan perasaannya. Kebutuhan anak-anak akan ungkapan ungkapan verbal yang sederhana dan lugas dan ekspresi rasa cinta itu sama-sama dibutuhkan dan tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa yang satu Iebih dibutuhkan dan yang lain. Perasaan manusia selamanya fluktuatif. Demikian pula semua jenis emosi yang dianggap dalam perasaan kita. Kadar rasa cinta, benci, takut, senangdan semacamnya tidak akan pernah sama dari waktu ke waktu. Tetapi yang mungkin terasa sublim adalah bahwa fluktuasi perasaan itu sering tidak disadari dan tidak terungkap atau disadari tapi tidak terungkap. Situasi ini kemudian mengantar kepada kenyataan lain. Bahwa setiap kita tidak akan pernah bisa mengetahui dengan pasti perasaan orang lain terhadap dirinya. kita mungkin bisa menangkap itu dan sorotan mata, gerak tubuh dan perlakuan umum, tapi detil perasaan itu tetap tidak tertangkap selama ia tidak diungkap seeara verbal. Perlukah detail perasaan itu kita ketahui, kalau isyarat isyaratnya sudah terungkap? Mungkin ya mungkin tidak. Tapi yang pasti bahwa kita semua, dan waktu ke waktu, membutuhkan kepastian. Kepastian bahwa kita tidak salah memahami isyarat tersebut. Bukankah kepastian juga yang diminta Nabi Ibrahim ketika beliau ingin menghidupkan dan mematikan? Dan suasana ketidakpastian itulah biasanya setan memasuki dunia hati kita. Karena salah satu misi besar setan, kata Ibnul Qoyyim al Jauziyyah adalah memisahkan orang yang saling mencintai “Dan mereka belajar dan keduanya sesuatu yang dengannya mereka dapat memisahkan seseorang dan pasangannya.” (QS.2:102) Dari ‘bab’ inilah ungkapan verbal berupa kata menemukan maknanya. Bahkan sesungguhnya ada begitu banyak kekurangan dalam perbuatan yang beban psikologisnya dapat terkurangi dengan kata. Ketika Anda menolak seorang pengemis karena tidak memiliki sesuatu yang dapat Anda sedekahkan, itu tentu sakit bagi pengemis itu. Tapi Allah menyuruh kita ‘mengurangi’ beban sakit itu dengan kata yang baik. Bukankah “perkataan yang baik lebih baik dan sedekah yang disertai cacian?” ** Selanjutnya, perhatikan riwayat berikut ini: Suatu ketika seorang sababat duduk bersama Rasulullah saw. Kemudian seorang sahabat yang lain berlalu di depan mereka. Sahabat yang duduk bersama Rasulullah saw. itu berkata kepada Rasulullah saw. “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku mencintai orang itu. “Sudahkah engkau menyatakan cintamu padanya?” tanya Rasulullah saw. “Belum, ya Rasululllah.” kata sahabat itu. “Pergilah menemui orang itu dan katakan bahwa karena kamu mencintainya,” kata Rasulullah saw Jika kepada sesama sahabat,saudara atau ikhwah rasa cinta harus diungkapkan secara verbal, dapatkah kita membayangkan, seperti apakah verbalnya ungkapan rasa cinta yang semestinya kita berikan kepada istri kita? Apakah makhluk yang satu itu, yang mendampingi kita lebih banyak dalam saat-saat lelah dan susah dibanding saat-saat suka dan lapang, tidak lebih berhak untuk mendengarkan ungkapan rasa cinta itu? Sekarang simak kisah Aisyah berikut ini: Aisyah seringkali bermanja-manja kepada Rasulullah SAW. karena hanya dialah satu—satunya istri beliau yang perawan. Tapi, suatu waktu Aisyah masih bertanya juga kepada Rasulullah saw: Jika engkau turun di suatu lembah lalu engkau lihat di situ ada rumput yang telah dimakan —oleh gembala lain— dan ada rumput yang belum dimakan, di rumput ,manakah gembalamu engkau suruh makan?” Maka Rasulullah saw. menjawab, Tentulah pada rumput yang belum dimakan (gembala lain). (HR. Bukhari). Apakah Aisyah tidak tahu bahwa Rasulullah saw. sangat dan sangat mencintainya? Tentu saja tahu. Bahkan sangat tahu. Tapi mengapa ia masih harus bertanya dengan ‘metafor’ seperti di atas, dengan menonjolkan keperawanannya sebagai kelebihan yang membuatnya berbeda dan istri-istri Rasulullah saw. lainnya? Apakah ia ragu? Saya tidak yakin kalau itu dirasakan Aisyah. Ia—dala
Re: [zamanku] I Love You Full Indonesia
Bung Rohim Salam kenal, sekalian mau minta izin untuk memasang artikel Mbah Surip di web site: Wongsebrang.ning.com sekali lagi wongsebrang.ning.com ini komunitas Indonesia di luar negeri. Menarik sih. Terima kasih sebelumnya. Wassalam. wongsebr...@yahoo.com
[zamanku] I Love You Full Indonesia
I Love You Full Indonesia Oleh: Cucuk Suparno Lagi-lagi kakek penyanyi /reggae/ Mbah Surip bikin ulah! Kali ini, lontaran kalimat khasnya,/ I love you full/,/ /menggelitik pikiran saya. Kalimat tersebut diucapkan pada setiap kesempatan tanpa peduli konteks pertanyaan atau suasananya. /I love you full /yang identik dengan Mbah Surip itu merupakan jargon ambigu yang multitafsir. Karena itu, saya ingin menyeretnya ke dalam tafsir kekinian: /I love you full Indonesia/. Masih banggakah kita mengatakan /I love you full/ /Indonesia/? Seiring perkembangan segala lini kehidupan karena gelombang modernitas berbaju globalisasi, tak dimungkiri sebutan Indonesia tidak lagi dihayati sebagai ''negara-bangsa'' yang patut dibanggakan. Diakui atau tidak, banyak bukti menunjukkan generasi kekinian telah menempatkan ke-Indonesia-annya cukup dalam wilayah formalitas. Misalnya, di ruang seminar, perkuliahan, buku-buku pelajaran, hingga ruang debat publik. Celakanya, tak jarang sebutan Indonesia sekadar dicomot dan dijadikan komoditas politik serta komersialisasi kebudayaan. Sekadar gambaran, bila menyebut Indonesia, yang saya maksud adalah keseluruhan perilaku sosial, politik, agama, kebudayaan, hingga strategi pengelolaan bangsa ini. Bahkan, termasuk segala potensi alam dan manusia yang hidup mulai Sabang hingga Merauke. Indonesia secara holistis! Masihkah kita memiliki rasa bangga dan peduli terhadap bangsa ini yang identitas atau jati dirinya perlahan tergerus besarnya arus globalisasi, kapitalisasi, dan liberalisasi? Ambil contoh, ada sebuah penelitian oleh komunitas LSM dari Jogjakarta yang menyebar wawancara dengan sejumlah responden anak muda tentang Pancasila dan wawasan kebangsaan. Sangat ironis, hampir 60 persen anak-anak muda yang tersebar di lima kota besar, yakni Jogjakarta, Solo, Semarang, Surabaya, dan Malang, tidak hafal Pancasila -apalagi penjabarannya- dan celingukan ketika ditanya tentang wawasan kebangsaan. Padahal, negeri ini bisa disebut NKRI yang berdaulat karena memiliki Pancasila dan wawasan kebangsaan sebagai spirit kehidupan berbangsa. Implikasi ketidakpahaman terhadap spirit kehidupan berbangsa mewujud dalam tindakan yang tidak sesuai karakter bangsa. Misalnya, tak ada lagi kesantunan antargenerasi. Perilaku menyimpang -merugikan bangsa dan negara- semakin dianggap wajar. Misalnya, korupsi, kolusi, anarkisme, hingga ''proyek materialisasi'' segala bentuk kegiatan sosial. Indonesia yang dulu terkesan santun, penuh adab, kini bagaikan negara tanpa keutuhan penghayatan budaya. Kita kehilangan identitas! Fenomena paling kontekstual adalah euforia kampanye menjelang pilpres yang terasa sangat banal dan sarat /lips service/. Kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, hak asasi manusia, pendidikan, serta kesehatan dijadikan komoditas untuk menarik simpati. Hingga detik-detik terakhir pemungutan suara, di antara ketiga pasangan capres-cawapres, belum ada yang berani melontarkan langkah teknis dan holistis dalam rangka membangun karakter bangsa. Semua berlomba membuat visi yang sangat materialistis. Memang, hal-hal kebendaan sangat penting. Tapi, yang lebih penting adalah strategi membangun mentalitas bangsa, terutama mental anak-anak muda. Indonesia semakin kehilangan karakter atau jati diri. Cita-cita universal sesuai amanat UUD 1945, yakni menyejahterakan seluruh rakyat, ternyata diingkari demi kepentingan sesaat. Ketika biaya pendidikan makin tinggi dan ongkos kesehatan melambung, para /decision maker/ hanya bermain istilah untuk ''membesarkan hati rakyat kecil'', sehingga kesejahteraan hanya tinggal mimpi. Karakter gotong royong, musyawarah, atau padat karya sekarang telah diganti dengan individualisme, kepentingan komunal, dan kekuatan modal. Bukan tidak mungkin, Indonesia akan hilang dari peta kultural dunia! *Tafsir Mbah Surip* Ketika mencermati kenyataan sosial, politik, hukum, dan budaya yang makin memprihatinkan, Indonesia pada masa depan sangat membutuhkan pemimpin yang berani dan bangga menyatakan /I love you full/ /Indonesia/. Tidak sekadar mengumbar kritik tentang kebocoran aset negara, bobroknya sistem pemerintahan, serta buruknya perilaku hukum dan politik, tapi pemimpin yang memiliki komitmen mengembalikan semangat cinta Indonesia. Sekadar bahan perbandingan, jika Mahatma Ghandi di India berani mengatakan tidak terhadap invasi kultur asing dan memulai gerakan Swadesi untuk kembali mencintai potensi lokal, tak ada salahnya Swadesi ala India kita transformasi ke Indonesia. Sayangnya, kita belum memiliki figur sehebat Mahatma Gandhi yang politikus, negarawan, sekaligus seniman dan budayawan. Tapi, spirit Gandhi patut diteladani sebagai spirit menuju Indonesia baru. Di sisi lain, ketika bangsa ini bingung menentukan pemimpin yang bervisi dan berkomitmen kuat menyejahterakan rakyat, celetukan satir/ I love you full/ /Indonesia/ menginspirasi untuk dikontekstualisasikan dengan situasi kekinian. Saya membayangkan, seandainya seluruh elemen bangsa ini spontan menyerukan/ I love you full Indonesia/ dan