[zamanku] I Love You

2009-11-18 Terurut Topik abe setiawan
Aku cinta kamu!

Berapa kali Anda mengucapkan kalimat itu kepada istri Anda dalam sehari? Saya 
jelas tidak bisa menebaknya. Tapi beberapa orang suami atau istri mungkin 
bertanya: perlukah kata itu diucapkan setiap hari? Apa yang mungkin ‘dilakukan’ 
kalimat itu, dalam hati seorang istri, bila itu diucapkan seorang suami, pada 
saat anak ketiganya menangis karena susunya habis? Ada juga anggapan seperti 
ini, kalimat itu hanya dibutuhkan oleh mereka yang romantis dan sedang jatuh 
cinta, dan itu biasanya ada sebelum atau pada awal-awal pernikahan. Setelah 
usia nikah memasuki tahun ketujuh, realita dan rutinitas serta perasaan bahwa 
kita sudah tua membuat kita tidak membutuhkannya lagi.

Saya juga hampir percaya bahwa romantika itu tidak akan akan bertahan di depan 
gelombang realitas atau bertahan untuk tetap berjalan bersama usia pernikahan. 
Tapi kemudian saya menemukan ada satu fitrah yang lekat kuat dalam din manusia 
bahwa sifat kekanak kanakan —dan tentu dengan segala kebutuhan 
psikologisnya—tidak akan pernah lenyap sama sekali dan kepribadian seseorang 
selama apapun usia memakan perasaannya. Kebutuhan anak-anak akan ungkapan 
ungkapan verbal yang sederhana dan lugas dan ekspresi rasa cinta itu sama-sama 
dibutuhkan dan tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa yang satu Iebih 
dibutuhkan dan yang lain.

Perasaan manusia selamanya fluktuatif. Demikian pula semua jenis emosi yang 
dianggap dalam perasaan kita. Kadar rasa cinta, benci, takut, senangdan 
semacamnya tidak akan pernah sama dari waktu ke waktu. Tetapi yang mungkin 
terasa sublim adalah bahwa fluktuasi perasaan itu sering tidak disadari dan 
tidak terungkap atau disadari tapi tidak terungkap.

Situasi ini kemudian mengantar kepada kenyataan lain. Bahwa setiap kita tidak 
akan pernah bisa mengetahui dengan pasti perasaan orang lain terhadap dirinya. 
kita mungkin bisa menangkap itu dan sorotan mata, gerak tubuh dan perlakuan 
umum, tapi detil perasaan itu tetap tidak tertangkap selama ia tidak diungkap 
seeara verbal.

Perlukah detail perasaan itu kita ketahui, kalau isyarat isyaratnya sudah 
terungkap? Mungkin ya mungkin tidak. Tapi yang pasti bahwa kita semua, dan 
waktu ke waktu, membutuhkan kepastian. Kepastian bahwa kita tidak salah 
memahami isyarat tersebut. Bukankah kepastian juga yang diminta Nabi Ibrahim 
ketika beliau ingin menghidupkan dan mematikan?

Dan suasana ketidakpastian itulah biasanya setan memasuki dunia hati kita. 
Karena salah satu misi besar setan, kata Ibnul Qoyyim al Jauziyyah adalah 
memisahkan orang yang saling mencintai “Dan mereka belajar dan keduanya sesuatu 
yang dengannya mereka dapat memisahkan seseorang dan pasangannya.” (QS.2:102)

Dari ‘bab’ inilah ungkapan verbal berupa kata menemukan maknanya. Bahkan 
sesungguhnya ada begitu banyak kekurangan dalam perbuatan yang beban 
psikologisnya dapat terkurangi dengan kata. Ketika Anda menolak seorang 
pengemis karena tidak memiliki sesuatu yang dapat Anda sedekahkan, itu tentu 
sakit bagi pengemis itu. Tapi Allah menyuruh kita ‘mengurangi’ beban sakit itu 
dengan kata yang baik. Bukankah “perkataan yang baik lebih baik dan sedekah 
yang disertai cacian?”

**

Selanjutnya, perhatikan riwayat berikut ini: Suatu ketika seorang sababat duduk 
bersama Rasulullah saw. Kemudian seorang sahabat yang lain berlalu di depan 
mereka. Sahabat yang duduk bersama Rasulullah saw. itu berkata kepada 
Rasulullah saw.

“Ya Rasulullah, sesungguhnya aku mencintai orang itu.

“Sudahkah engkau menyatakan cintamu padanya?” tanya Rasulullah saw.

“Belum, ya Rasululllah.” kata sahabat itu.

“Pergilah menemui orang itu dan katakan bahwa karena kamu mencintainya,” kata 
Rasulullah saw

Jika kepada sesama sahabat,saudara atau ikhwah rasa cinta harus diungkapkan 
secara verbal, dapatkah kita membayangkan, seperti apakah verbalnya ungkapan 
rasa cinta yang semestinya kita berikan kepada istri kita? Apakah makhluk yang 
satu itu, yang mendampingi kita lebih banyak dalam saat-saat lelah dan susah 
dibanding saat-saat suka dan lapang, tidak lebih berhak untuk mendengarkan 
ungkapan rasa cinta itu?

Sekarang simak kisah Aisyah berikut ini:

Aisyah seringkali bermanja-manja kepada Rasulullah SAW. karena hanya dialah 
satu—satunya istri beliau yang perawan. Tapi, suatu waktu Aisyah masih bertanya 
juga kepada Rasulullah saw:

Jika engkau turun di suatu lembah lalu engkau lihat di situ ada rumput yang 
telah dimakan —oleh gembala lain— dan ada rumput yang belum dimakan, di rumput 
,manakah gembalamu engkau suruh makan?”

Maka Rasulullah saw. menjawab,

Tentulah pada rumput yang belum dimakan (gembala lain). (HR. Bukhari).

Apakah Aisyah tidak tahu bahwa Rasulullah saw. sangat dan sangat mencintainya? 
Tentu saja tahu. Bahkan sangat tahu. Tapi mengapa ia masih harus bertanya 
dengan ‘metafor’ seperti di atas, dengan menonjolkan keperawanannya sebagai 
kelebihan yang membuatnya berbeda dan istri-istri Rasulullah saw. lainnya?

Apakah ia ragu? Saya tidak yakin kalau itu dirasakan Aisyah. Ia—dala

Re: [zamanku] I Love You Full Indonesia

2009-09-03 Terurut Topik hanti kangmas
 
Bung Rohim
 
Salam kenal, sekalian mau minta izin untuk memasang artikel Mbah Surip di web 
site: Wongsebrang.ning.com sekali lagi wongsebrang.ning.com
ini komunitas Indonesia di luar negeri. Menarik sih. Terima kasih sebelumnya.
 
Wassalam.
 
wongsebr...@yahoo.com


  

[zamanku] I Love You Full Indonesia

2009-07-21 Terurut Topik Abdul Rohim

I Love You Full Indonesia
Oleh: Cucuk Suparno
Lagi-lagi kakek penyanyi /reggae/ Mbah Surip bikin ulah! Kali ini,
lontaran kalimat khasnya,/ I love you full/,/ /menggelitik pikiran saya.
Kalimat tersebut diucapkan pada setiap kesempatan tanpa peduli konteks
pertanyaan atau suasananya.
/I love you full /yang identik dengan Mbah Surip itu merupakan jargon
ambigu yang multitafsir. Karena itu, saya ingin menyeretnya ke dalam
tafsir kekinian: /I love you full Indonesia/.
Masih banggakah kita mengatakan /I love you full/ /Indonesia/? Seiring
perkembangan segala lini kehidupan karena gelombang modernitas berbaju
globalisasi, tak dimungkiri sebutan Indonesia tidak lagi dihayati
sebagai ''negara-bangsa'' yang patut dibanggakan.
Diakui atau tidak, banyak bukti menunjukkan generasi kekinian telah
menempatkan ke-Indonesia-annya cukup dalam wilayah formalitas. Misalnya,
di ruang seminar, perkuliahan, buku-buku pelajaran, hingga ruang debat
publik. Celakanya, tak jarang sebutan Indonesia sekadar dicomot dan
dijadikan komoditas politik serta komersialisasi kebudayaan.
Sekadar gambaran, bila menyebut Indonesia, yang saya maksud adalah
keseluruhan perilaku sosial, politik, agama, kebudayaan, hingga strategi
pengelolaan bangsa ini. Bahkan, termasuk segala potensi alam dan manusia
yang hidup mulai Sabang hingga Merauke. Indonesia secara holistis!
Masihkah kita memiliki rasa bangga dan peduli terhadap bangsa ini yang
identitas atau jati dirinya perlahan tergerus besarnya arus globalisasi,
kapitalisasi, dan liberalisasi?
Ambil contoh, ada sebuah penelitian oleh komunitas LSM dari Jogjakarta
yang menyebar wawancara dengan sejumlah responden anak muda tentang
Pancasila dan wawasan kebangsaan.
Sangat ironis, hampir 60 persen anak-anak muda yang tersebar di lima
kota besar, yakni Jogjakarta, Solo, Semarang, Surabaya, dan Malang,
tidak hafal Pancasila -apalagi penjabarannya- dan celingukan ketika
ditanya tentang wawasan kebangsaan. Padahal, negeri ini bisa disebut
NKRI yang berdaulat karena memiliki Pancasila dan wawasan kebangsaan
sebagai spirit kehidupan berbangsa.
Implikasi ketidakpahaman terhadap spirit kehidupan berbangsa mewujud
dalam tindakan yang tidak sesuai karakter bangsa. Misalnya, tak ada lagi
kesantunan antargenerasi. Perilaku menyimpang -merugikan bangsa dan
negara- semakin dianggap wajar. Misalnya, korupsi, kolusi, anarkisme,
hingga ''proyek materialisasi'' segala bentuk kegiatan sosial. Indonesia
yang dulu terkesan santun, penuh adab, kini bagaikan negara tanpa
keutuhan penghayatan budaya. Kita kehilangan identitas!
Fenomena paling kontekstual adalah euforia kampanye menjelang pilpres
yang terasa sangat banal dan sarat /lips service/. Kemiskinan,
pengangguran, kriminalitas, hak asasi manusia, pendidikan, serta
kesehatan dijadikan komoditas untuk menarik simpati.
Hingga detik-detik terakhir pemungutan suara, di antara ketiga pasangan
capres-cawapres, belum ada yang berani melontarkan langkah teknis dan
holistis dalam rangka membangun karakter bangsa. Semua berlomba membuat
visi yang sangat materialistis. Memang, hal-hal kebendaan sangat
penting. Tapi, yang lebih penting adalah strategi membangun mentalitas
bangsa, terutama mental anak-anak muda.
Indonesia semakin kehilangan karakter atau jati diri. Cita-cita
universal sesuai amanat UUD 1945, yakni menyejahterakan seluruh rakyat,
ternyata diingkari demi kepentingan sesaat. Ketika biaya pendidikan
makin tinggi dan ongkos kesehatan melambung, para /decision maker/ hanya
bermain istilah untuk ''membesarkan hati rakyat kecil'', sehingga
kesejahteraan hanya tinggal mimpi.
Karakter gotong royong, musyawarah, atau padat karya sekarang telah
diganti dengan individualisme, kepentingan komunal, dan kekuatan modal.
Bukan tidak mungkin, Indonesia akan hilang dari peta kultural dunia!
*Tafsir Mbah Surip*
Ketika mencermati kenyataan sosial, politik, hukum, dan budaya yang
makin memprihatinkan, Indonesia pada masa depan sangat membutuhkan
pemimpin yang berani dan bangga menyatakan /I love you full/
/Indonesia/. Tidak sekadar mengumbar kritik tentang kebocoran aset
negara, bobroknya sistem pemerintahan, serta buruknya perilaku hukum dan
politik, tapi pemimpin yang memiliki komitmen mengembalikan semangat
cinta Indonesia.
Sekadar bahan perbandingan, jika Mahatma Ghandi di India berani
mengatakan tidak terhadap invasi kultur asing dan memulai gerakan
Swadesi untuk kembali mencintai potensi lokal, tak ada salahnya Swadesi
ala India kita transformasi ke Indonesia.
Sayangnya, kita belum memiliki figur sehebat Mahatma Gandhi yang
politikus, negarawan, sekaligus seniman dan budayawan. Tapi, spirit
Gandhi patut diteladani sebagai spirit menuju Indonesia baru.
Di sisi lain, ketika bangsa ini bingung menentukan pemimpin yang bervisi
dan berkomitmen kuat menyejahterakan rakyat, celetukan satir/ I love you
full/ /Indonesia/ menginspirasi untuk dikontekstualisasikan dengan
situasi kekinian. Saya membayangkan, seandainya seluruh elemen bangsa
ini spontan menyerukan/ I love you full Indonesia/ dan