Sumber dari  :  Firman Noor
Mahasiswa Program Master Faculty of Asian Studies, The Australian
National University (ANU), Australia,  (Saat ini tengah mempersiapkan
thesis mengenai Partai Keadilan Sejahtera)
Dalam kiprahnya selama tujuh tahun ini, Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
yang dulu bernama Partai Keadilan (PK) telah menjadi ikon tersendiri
bagi kehidupan demokrasi bangsa.

Pengamat asing seperti Anthony Buballo dan Greg Fealy (2005) mengakui
PKS telah memberikan contoh gamblang tentang bagaimana demokrasi telah
dipraktikkan oleh partai yang menjadikan Islam sebagai landasannya.
Catatan penting kedua pengamat Islam dan Indonesia itu bukanlah omong
kosong. Komitmen PKS terhadap demokrasi dibuktikan dengan demikian nyata
dan terasa. Antara lain melalui sikap resmi partai dan pandangan politik
para elitenya.

Refleksi demokrasi
Hingga saat ini PKS mampu memberikan contoh standar tentang implementasi
kehidupan demokrasi yang mengedepankan aspek penghargaan terhadap
perbedaan dan pluralitas, pengedepanan rasionalitas, serta kesantunan
berpolitik sebagai cerminan ketaatan terhadap aturan main.

Sikap penghormatan terhadap pluralisme, tidak saja dapat terlihat dari
platform partai, namun juga pandangan para tokohnya. Dalam sebuah
pertemuan di Australian National University, Hidayat Nur Wahid
mengatakan bahwa hakekat kaffah seorang Muslim sejatinya tecermin dari
kesediaan dirinya untuk menerima Islam sebagai sebuah ajaran yang
menghormati nilai-nilai universal dan keberagaman. Pernyataan semacam
ini akan menjadi sekadar lip service jika dalam praktiknya sikap itu
tidak terlihat.

Usulan bersama PK dan PAN --yang bergabung dalam Fraksi Reformasi pada
DPR periode lalu-- mengenai kebebasan menjalankan ajaran agama bagi
seluruh pemeluk agama sebagai alternatif amandemen Pasal 29 UUD 1945,
merupakan contoh kecil yang monumental bagi penghormatan terhadap
pluralisme. Begitu pula dengan kesedian PKS bekerjasama dengan kalangan
lintas agama dan ideologi di dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).

Sementara dalam konteks rasionalitas, PKS tidak segan menawarkan sebuah
solusi jernih dan bersikap kritis, meski itu berarti harus bertentangan
dengan kelompok mayoritas. Hal itu misalnya terlihat dari sikap Fraksi
PKS di DPR yang menolak kenaikan tunjangan anggota DPR. Pada
pemerintahan lokal, sikap ini terlihat dari penolakan untuk
menghambur-hamburka n uang rakyat. Misalnya kasus pengembalian uang
kadeudeuh di Jawa Barat, penolakan tunjangan Dewan hingga ratusan juta
di Banten, dan pengembalian uang siluman di Sumatera Selatan.

Sementara sikap kritis tecermin pada penolakan LPJ kepala daerah di
berbagai wilayah yang kinerjanya kurang memuaskan --dimana kebanyakan
dari kasus itu wakil PKS menjadi 'sendirian'. Hal itu memperlihatkan
penggunaan nurani dan rasio, seperti keberpihakan kepada kepentingan
rakyat.Semua idealisme itu dibungkus dalam sikap yang mengedepankan
kesantunan berpolitik, baik di dalam maupun di luar parlemen. Hingga
satu dekade keberadaannya di pentas nasional maupun lokal, PKS mampu
menjaga dirinya untuk tidak terpancing melakukan tindakan anarkis.
Kenyataan yang merefleksikan sikap menghargai aturan main, sebagaimana
yang dipersyaratakan oleh kehidupan demokrasi, telah menjadi sebuah
milestone bagi partai yang kerap diidentikan dengan gerakan Ikhwanul
Muslimun di Mesir ini.

Kartu as
Sebagai sebuah partai yang menjadikan Islam sebagai asasnya, PKS
menunjukan bahwa pergaulan Islam dan politik dengan demokrasi, tidaklah
sehitam yang dituduhkan. Dengan karakter pemahaman yang khas mengenai
peran agama dalam kehidupan --termasuk didalamnya kehidupan berpolitik--
PKS memandang demokrasi sebagai realitas objektif.

PKS memandang demokrasi sebagai media yang efektif dalam menerapkan
idealisme dan terciptanya sebuah kondisi yang terbaik berdasarkan
kehendak dan kepentingan bersama (general will). Sehingga berbeda dengan
tuduhan banyak pihak, demokrasi justru telah menjadi sebuah 'kartu as'
bagi kiprah politik partai yang mendapatkan dukungan relatif meluas di
kalangan terpelajar ini.

Dan dalam upayanya ini, PKS tidak saja berhasil memberikan contoh yang
baik namun juga menimbulkan simpati dan image positif. Tidak saja bagi
kalangan internal umat Islam namun juga dari beragam kalangan. Dukungan
beragam kalangan kepada kandidat kepala daerah yang diusulkan PKS --baik
dari kalangan NU, Muhammadiyah, non-Muslim, bahkan dari pengurus PDIP
Pro-Mega. Misalnya di Sumatera Utara ataupun Depok.

Pilihan memandang demokrasi sebagai strategi bukanlah sesuatu yang
asing, mengingat pandangan aktivis pergerakan dan juga pemikir muslim
seperti Hasan al-Banna ataupun Mohammad Natsir, yang menyatakan
demokrasi tidak mesti dipandang melulu sebagai sebuah jalan hidup (way
of life). Di dalam batasan ini, tidaklah salah jika PKS menempatkan
dirinya sebagai demokrat dalam konteks praktis ketimbang sebagai jalan
hidup. Meski dalam situasi seperti ini kerap memunculkan spekulasi
tentang hadirnya sebuah demokrasi yang tegak tanpa adanya demokrat
(democracy without democrats), sebagaimana dilansir Ghasan Salame
(1994). Namun yang pasti, PKS dalam kiprah politiknya telah dengan sadar
mempraktikkan model demokrasi dan hal ini diakui oleh banyak pihak.

Mengharapkan konsistensi
Sikap PKS ini telah memberikan harapan bagi perkembangan demokrasi pada
khususnya dan perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya
di Tanah Air. Kondisi ini memunculkan sebuah harapan akan adanya
konsistensi sikap PKS. Harapan itu tentu bukan sesuatu yang mudah
diwujudkan. Sebab hakikat demokrasi belum seutuhnya dapat diterima
seluruh kalangan di pelosok negeri, hingga perlunya menjaga ketahanan
mental dan kesabaran tinggi.

Selain itu, secara internal kepartaian, perdebatan tentang posisi
ideologis demokrasi dan tarik ulur kepentingan strategis dengan segenap
konsekuensinya --yang berpotensi untuk dirasakan terlalu moderat bagi
sebagian pendukungnya- - memberikan peluang terhadap situasi setengah
hati bagi perkembangan dan pelaksanaan demokrasi di kemudian hari.
Kondisi ini dipersulit dengan kecenderungan 'wajar' sebuah partai untuk
berubah sikap ketika sudah menjadi bagian dari kekuasaan.

Studi Daniel Brumberg (1997) yang mengambil kasus beberapa Partai Islam
di Timur Tengah, sampai pada sebuah kesimpulan bahwa kecenderungan untuk
mengubah orientasi terlihat manakala sebuah partai Islam dan para
elitenya telah berada di lingkar dalam kekuasaan. Dengan demikian,
pertanyaan yang cukup mendasar ialah sampai sejauh mana PKS dapat
menjaga sikap demokratnya ditengah godaan kekuasaan, lingkungan politik
yang masih kurang ramah terhadap 'demokrasi rasional', serta perdebatan
idelogis di dalam tubuh partai. Tantangan seperti ini bukannya tidak
disadari oleh PKS. Kenyataan bahwa PKS merupakan metamorfosa dari sebuah
gerakan dakwah, memang menuntut kedewasaan sikap dan pemikiran dalam
menyikapi situasi yang terus berkembang. Dan PKS tampak cukup cerdas
mengambil pelajaran dari pengalaman partai-partai Islam dan situasi
politik nasional saat ini.

Tak kurang Presiden Partai Tifatul Sembiring dengan arif menengarai
perlunya kesadaran untuk tetap menjaga konsistensi dalam sikap positif,
sembari menyadarkan pentingnya beradaptasi dengan situasi baru, di mana
PKS sejatinya telah menjadi bagian dari elemen pembuat kebijakan. Dalam
pesannya itu, sejatinya sang presiden mengajak partainya untuk bersikap
lebih akomodatif dan realistis. Itu dapat diartikan terus melanjutkan
sikap demokrat, tanpa harus kehilangan jati dirinya sebagai partai yang
memperjuangan nilai-nilai religius keislaman. Adanya kesadaran seperti
itu membuat peluang PKS untuk terus mewarnai kehidupan bangsa melalui
demokrasi, berpotensi kuat untuk tetap terjaga.

Sejarah bangsa sendiri telah mencatat kiprah Masyumi yang mampu
memertahankan konsistensinya sebagai monumen pembela demokrasi yang
tangguh, sebelum akhirnya dibubarkan akibat tekanan situasi politik dan
penguasa. Dan dengan segenap pandangan politik dan kiprah PKS sampai
kini, bukan tidak mungkin jika catatan sejarah tentang kiprah positif
partai Islam di tanah air akan terulang. ***


Kirim email ke