http://www.sinarharapan.co.id/berita/0811/17/opi01.html
Ibadah Haji dalam Konteks Sosial Oleh Mu'arif Ibadah Haji merupakan salah satu dari pilar Islam yang lima. Sekalipun demikian, ibadah ini hanya diperuntukkan bagi mereka yang "mampu" menjalankannya. Al-Qur'an memerintahkan:"Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke baitullah bagi orang-orang yang mampu menjalankannya." (Qs. 3: 97). Para ulama berbeda pendapat dalam menafsiri kalimat ".man isthatha'a ilaihi sabilan." (bagi orang-orang yang mampu menjalankannya). Surat Ali Imran ayat 97 ini mengundang perdebatan yang terus mengalir hingga kini. Salah satu penyebabnya karena pelaksanaan ibadah Haji saat ini sudah sangat kompleks melibatkan birokrasi negara, kesiapan bekal materi, kesehatan jasmani-rohani, dan faktor letak geografis. Mungkin tidak menjadi masalah pelaksanaan ibadah Haji bagi orang-orang di sekitar Makkah pada masa sekarang atau pada masa Nabi Saw (abad 6 M). Namun di zaman sekarang, menjadi problem yang cukup rumit, apalagi bagi umat Islam yang menetap di beberapa negara yang berjauhan dengan tanah suci. Kalimat dalam surat Ali Imran ayat 97 mengundang perdebatan tafsir ketika para pelaku Haji berasal dari negara lain, yang sangat jauh dari Makkah. Problem birokrasi, biaya perjalanan, kondisi kesehatan badan dan psikis, kemudian menjadi bagian dari pemahaman utuh terhadap kalimat "man isthatha'a ilaihi sabilan." Lebih jauh, makna kalimat tersebut juga cukup relevan dengan konteks sosial di Indonesia. Selama ini, umat Islam di Indonesia memang masih mengemban "PR" yang cukup berat untuk memaknai kembali doktrin ibadah Haji dalam konteks sosial. Sebagai doktrin agama, Ibadah Haji memiliki relevansi dengan konteks personal dan sosial sekaligus. Agama Islam bukan aliran "kebatinan" atau "mistisisme" yang hanya mengedepankan aspek hubungan personal antara para pemeluknya dengan Tuhan. Negara Miskin Justru Meningkat Jemaah Hajinya Dalam kontek Ibadah Haji, kaum Muslimin di seluruh pelosok dunia diajak berpartisipasi dalam "Pertunjukan Haji" sebagai event maha besar ini. Menurut Ali Syari'ati (1983), Ibadah Haji mensyaratkan egalitanianisme. Tidak ada diskriminasi ras, jenis kelamin, atau bahkan status sosial. Semuanya adalah satu dan yang satu itu untuk semuanya. Saya menangkap maksud pemikiran Ali Syari'ati sebagai bagian dari makna Haji dalam konteks sosial. Lebih jauh, pemikiran Ali Syari'ati memiliki relevansi dengan makna tersirat dalam kalimat "man isthatha'a ilaihi sabilan." Atas dasar inilah, saya kemudian meng-anggap konsep Ibadah Haji, dalam perspektif maqashid asy-syari'ah, tidak hanya bermakna personal, tetapi juga memiliki muatan sosial yang tinggi. Dalam konteks masyarakat Indonesia, makna Ibadah Haji harus diberi ruang seluas-luasnya untuk mendefinisikan kembali atas dasar konteks sosio-kultural yang ada. Dengan tetap mempertahankan kaidah-kaidah fundamental dalam Ibadah Haji, prinsip maqashid asy-syari'ah harus diselaraskan dengan konteks sosio-kultural Indonesia. Dalam perspektif sosiologis, mapsyarakat di Indonesia masih hidup terbelakang. Kehidupan ekonomi masih jauh dari sejahtera. Kemiskinan adalah lumrah di sini. Menurut data BPS 2005-2008, jumlah angka kemiskinan di Indonesia dari tahun ke tahun ternyata terus mengalami peningkatan. Warga miskin di Indonesia pada tahun 2005 sebesar 35,10 juta jiwa, di tahun 2006, mencapai 39,05 juta jiwa, di 2007 mencapai 37,2 juta jiwa. Khusus pada tahun ini (2008), angka kemiskinan malah melonjak, mencapai 41,1 juta jiwa. Di sisi lain, jumlah Jemaah Haji di Indonesia selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Padahal, Ongkos Naik Haji (ONH) selalu mengalami peningkatan. ONH tahun 2007 sekitar 26-28 juta rupiah, tahun ini mencapai 29 juta rupiah. Data kemiskinan di Indonesia terus mengalami peningkatan, sementara jumlah Jemaah Haji terus meningkat pula. Merujuk data-data BPS di atas, kita tidak mendapati titik temu yang logis antara statistik kemiskinan dan peningkatan jumlah Jemaah Haji Indonesia. Mengapa di negara yang miskin justru terus meningkat jumlah Jemaah Hajinya? Haji Kontekstual Fenomena jumlah warga miskin dan peningkatan jumlah Jemaah Haji di Indonesia merupakan sebuah indikasi nyata bahwa doktrin Islam yang satu ini baru dipahami sebatas hubungan personal antara hamba dan Tuhannya. Jika doktrin Islam ini dipahami secara utuh dalam konteks personal dan sosial sekaligus, masalah keterbelakangan, kemiskinan, atau bahkan pengangguran, tidak akan terus meningkat. Dalam hal ini, saya menganggap perlu mendefinisikan kembali tafsir "man isthatha'a ilaihi sabilan.". Sebab, selama ini umat Islam masih menganggap ayat ini sebatas konteks personal. Jika seseorang punya biaya cukup, sehat jasmani dan rohani, maka ia sudah masuk dalam kategori orang-orang yang mampu menunaikan ibadah Haji. Padahal, permasalahan ini ternyata jauh lebih kompleks. Asghar Ali Engineer (1999) berpendapat bahwa agama (Islam) menjadi sistem pengertian, sistem simbol dan ibadah yang menyediakan sense of identity bagi penganutnya untuk hidup di dunia yang serba kompleks ini. Dengan merujuk pada definisi agama (Islam) versi Asghar Ali Engineer ini, saya ingin menggarisbawahi bahwa umat Islam memiliki identitas yang satu. Ia bagaikan tubuh yang satu. Seperti isyarat Nabi Saw, umat Islam bagaikan satu tubuh yang apabila sakit salah satu anggota tubuhnya, maka seluruh tubuh akan merasakan dampaknya. Jika melihat fakta kemiskinan yang terus meluas, maka setiap umat Islam wajib tanggap terhadap fenomena ini. Sebab, mereka yang hidup dalam kemiskinan tidak lain adalah saudara sendiri. Mulai saat ini, umat Islam perlu mengalihkan orientasi ibadah haji, dari "haji personal" (ke tanah suci) menuju "haji sosial" (kontekstual). Caranya ialah dengan membantu proses pengentasan kemiskinan di Indonesia yang terus meningkat. Pengertian "man isthatha'a ilaihi sabilan." juga mendukung kenyataan ini bahwa tidak diwajibkan bagi umat Islam berkunjung ke tanah suci manakala belum mampu mengentaskan kemiskinan saudara-saudarannya. Penulis buku Pembaruan Pemikiran Islam (2006).