Refleksi :  Sekadar menjadi obyek karena sendri yang  menciptakan  keadaan 
demikian.  Pihak luar tidak memainkan peranan yang menentukan untuk menjadi 
obyek. Menyalahkan atau membertkan pihak lain adalah mengelakan tanggung jawab.

http://www.sinarharapan.co.id:80/berita/0904/04/sh02.html


Hasil G-20
Indonesia Sekadar Jadi Objek 


Jakarta - Indonesia kembali sekadar menjadi objek pengaruh negara-negara besar 
yang berpartisipasi dalam pertemuan tingkat tinggi G-20 di London. 
Ketidakmampuan Presiden dan para delegasi Indonesia memperjuangkan kepentingan 
nasional membuktikan negara berpenduduk lebih dari 220 juta jiwa ini, tak lebih 
hanya sebagai penggembira dalam hiruk-pikuk diplomasi ekonomi-politik 
internasional.

"Indonesia datang ke pertemuan G-20 tanpa konsep perjuangan yang jelas. 
Hasilnya bisa ditebak, Indonesia hanya ikut-ikutan saja," kata pengamat 
ekonomi-politik Yanuar Rizky di Jakarta, Sabtu (4/4). 

Selama ini Indonesia cukup puas dan bangga sebagai satu-satunya negara ASEAN 
yang diikutsertakan dalam pertemuan tersebut. Jika negara-negara seperti Rusia, 
Brasil, China, atau India kompak memperjuangkan kepentingan nasionalnya, 
Indonesia justru setia mendukung kepentingan penyelamatan aset-aset perusahaan 
finansial Amerika Serikat (AS) yang terkena krisis.

"Apa yang dilakukan Indonesia di G-20 itu sama artinya membiayai krisis ekonomi 
di negara AS dan sekutunya," kata Yanuar. Hal ini terlihat dari rencana tim 
ekonomi yang ingin meminta pinjaman dari Jepang sebesar US$ 14,4 miliar atau 
lembaga donor seperti IMF dan Bank Dunia. 

"Indonesia mustinya mendesak pinjaman dengan bunga nol persen karena operasi 
moneter pada akhirnya digunakan untuk menyelamatkan portofolio asing yang 
mencapai 60 persen di pasar modal dan pasar uang," katanya.

Menurut Yanuar, Indonesia terlalu naif melihat konstelasi ekonomi-politik 
internasional karena memandang negara-negara yang mengulurkan pinjaman sebagai 
malaikat penolong yang bebas kepentingan. "Saya contohkan, Bank Sentral China 
yang membantu Indonesia, sudah pasti mereka memberikan suku bunga tinggi atau 
term of condition yang tidak kalah keras dengan IMF atau Bank Dunia," ujar 
Yanuar. 

Paradigma tim ekonomi Indonesia masih kuno karena melihat pinjaman asing 
sebagai bentuk kepercayaan. Yanuar menyatakan, saat ini semua negara berpikir 
untuk menyelamatkan dirinya masing-masing. "Jika Indonesia hanya mau disetir AS 
dan sekutunya, terutama dalam pinjaman luar negeri berbunga tinggi, sama 
artinya delegasi Indonesia memperjuangkan penyelamatan aset-aset negara-negara 
maju di negara berkembang," papar Yanuar.

Utang Makin Besar
Ekonom Tim Indonesia Bangkit Ichsanuddin Noorsy juga berpendapat, delegasi 
Indonesia di bawah pimpinan Presiden ternyata tidak membawa hasil apa pun bagi 
kepentingan nasional. Indonesia justru masih mengandalkan stimulus fiskal 
berbasis gali lubang tutup lubang. Lubang tersebut makin besar, yang terlihat 
dari utang luar negeri yang meningkat dari Rp 1.275 triliun pada 2004 menjadi 
Rp 1.667 triliun pada 11 Februari 2009. 

Ia menyatakan, G-20 sebenarnya penting bagi Indonesia untuk memperjuangkan 
penghapusan penjajahan ekonomi lewat instrumen utang. Namun, kesempatan itu 
justru dimanfaatkan untuk mengemis utang luar negeri saat krisis global. 
Sesungguhnya, resesi ekonomi dan pertemuan G-20 London tak mampu dimaksimalkan 
para politisi, birokrat, dan intelektual di pemerintahan untuk mengembalikan 
harkat dan martabat bangsa yang sudah terbenam. 

Ia menyatakan, pertarungan ekonomi pada pertemuan G-20 di London itu sebenarnya 
sekadar mengumumkan pada dunia bahwa AS tetap seiring sejalan dengan Inggris 
dan Australia. Di sisi lain, Inggris membangun kerja sama dengan Prancis dan 
Jerman. Sebagaimana dokumen "AS Project 2020", kerja sama AS dengan Uni Eropa 
yang didukung Jepang dan Korea Selatan, serta mengajak Indonesia bergabung 
bersama mereka berhadapan dengan Brasil, India, Rusia, dan RRC di kutub lain.

Menurutnya, saat G-20 tidak lagi mampu mengarahkan ekonomi global maka setiap 
negara akan melindungi dan menjaga kepentingan nasionalnya. Namun, Indonesia 
justru makin terperangkap dalam jerat internasionalisme Bank Dunia dan IMF. 
Seperti diketahui, pertemuan G-20, kumpulan negara maju dan berkembang, di 
London, Inggris, Kamis (2/4), menghasilkan beberapa langkah yang dianggap 
sebagai pertanda lahirnya sebuah era baru dalam perekonomian global.  Konsensus 
Washington lama yang merujuk pada konsep reformasi dan liberalisasi ekonomi 
yang diinginkan Washington (Gedung Putih), yang dipaksakan lewat Dana Moneter 
Internasional (IMF) dan Bank Dunia telah berakhir. 

Konsensus Washington dianggap sebagai instrumen neoliberalisme atau 
neokapitalisme. Konsensus ini telah memaksa semua negara yang belum siap untuk 
membuka diri terhadap persaingan internasional.

G-20 juga berikrar untuk mengakhiri tax haven, mendobrak kerahasiaan perbankan, 
pembatasan bonus bagi eksekutif perusahaan, dan kesepakatan soal 
langkah-langkah baru untuk membantu negara berkembang.

Sementara itu, Presiden Yudhoyono pada pertemuan tersebut menyerukan pentingnya 
kebersamaan negara-negara di dunia. Ia menyampaikan aspirasi bahwa negara 
berkembang bukan meminta belas kasihan dari negara maju. Presiden meminta 
tanggung jawab negara maju menciptakan sistem keuangan yang kondusif bagi 
stabilitas ekonomi global dalam jangka panjang. (swo/ap

Kirim email ke