Oleh Ibrahim Isa

---------------------------------- cut --------------------------------------

Sarmaji dan aku tidak mau terlambat menghadiri 'wisuda'- nya  sejarawan 
generasi muda Indonesia, sahabatku, -- SRI MARGANA. Ia meraih PhD-nya pada 
Universitas Leiden, dengan mempertahankan tesisnya berjudul --- 'JAVA'S LAST 
FRONTIER: The Struggle for Hegemony 
of Blambangan, c 1763 - 1813.'

Tulisan ini kubuat pertama karena gembira dan bangga tambah satu lagi  
postgraduate Indonesia yang berhasil dengan studinaa di Leiden. Juga,  ini 
penting sekali, memang ada hal-hal yang (bagiku) baru dalam studi  dan 
pemahaman sejarah yang dilakukan oleh Sri Margana. Maka itu pula  tulisan ini 
akan bersambung dengan bagian ke-2.


* * *

Selama kurang-lebih 5 tahun Sri Margana menekuni studinya di Leiden.  Bersama 
keluarganya mereka tinggal di alamat terkenal bagi  mahasiswa-mahasiswi 
Indonesia, 'Condorhorst 140', Leiden. Di situlah  untuk bertahun-tahun lamanya 
banyak akademisi-akademisi muda Indonesia  yang melanjutkan studi di Leiden, 
berdomisili. Suatu tempat sederhana  tapi bagus dan murah.


Prof Dr J.L. Blussé Van Oud Alblas, promotor Sri Margana, memberikan  nama 
khusus pada iluwan muda yang berdomisili di lokasi itu, 'THE  CONDORHORST 140 
MAFIA', Leiden. Seperti digambarkan oleh Sri Margana,  yang dimaksudkan dengan 
'The Condorhorst 140 Mafia', adalah 
'burung-burung' generasi baru akademisi-akademisi Indonesia abad ke 21,  yang 
datang terbang menjelajah cari makan, dan mengepak-ngepakkkan  sayap-sayap 
intelektualnya, sebelum akhirnya terbang kembali pulang  untuk meletakkan 
telur-telur kebangkitan kembali budaya Indonesia.


Kukatakan kepada Margana, bisakah dikatakan bahwa yang dimaksudkan,  bahwa 
'CONDORHORST 140 MAFIA' itu, kkira-kira adalah semacam  'pola-tandingnya' 
'Berkely Mafia' (kelompok sarjana Indonesia yang  belajar di Berkely, AS). 
Mereka-mereka yang studi di AS itu, 'The  Berkeley Mafia' , adalah yang 
kemudian (selama periode Orba)  mengintrodusir ekonomi neo-liberal ke negeri 
kita, menggantungkan  pertumbuhan dan perkembangan ekonomi pada luarnegri, 
teristimewa Amerika  dan Jepang, mentrapkan dan membelanya mati-matian.

Pengertianku ialah bahwa, yang dimaksudkannya 'The Condorhorst 140  Mafia' ini 
adalah suatu kelompok akademisi Indonesia yang bermisi  menggalakkan pencerahan 
pada kehidupan, pendidikan, pengajaran dan  penulisan sejarah Indonesia. Mereka 
mewakili dan membawa suatu pandangan 
sejarah baru yang PROGRESIF.


* * *


Kepada Margana kutanyakan, apa latar belakang ia mengambil tema  'BLAMBANGAN', 
ketika memulai studinya untuk PhD.


Jawabnya sederhana sekali, tetapi penting dan jelas!

Sebabnya, jawab Margana, karena selama ini dalam (penulisan) sejarah  
Indonesia, 'BLAMBANGAN' itu 'NEGLECTED'! Tak terpedulikan!! Padahal  peranan 
Kerajaan Blambangan dalam menentang segala macam dominasi, dan  'kolonialisme', 
<tidak saja kolonialisme Barat>, tetapi juga politik dan  praktek dominasi dan 
agresi yang yang dilakukan oleh kerajaan Islam  Mataram, adalah penting dan 
krusial dalam sejarah Indonesia. Hal mana  tidak pernah diungkap dan dilakukan 
studi secara serius dan ilmiah.


Bila dibaca keterangan Wikipedia mengenai Kerajaan Blambangan, inilah  
penjelasannya:

'Kerajaan Blambangan adalah kerajaan yang berpusat di kawasan  Blambangan, 
sebelah selatan Banyuwangi. Raja yang terakhir menduduki  singgasana adalah 
Prabu Minakjinggo. Kerajaan ini telah ada pada akhir  era Majapahit. Blambangan 
dianggap sebagai kerajaan bercorak Hindu  terakhir di Jawa. Sebelum menjadi 
kerajaan berdaulat, Blambangan  termasuk wilayah Kerajaan Bali. Usaha 
penaklukan kerajaan Mataram Islam terhadap Blambangan tidak berhasil. Inilah 
yang menyebabkan mengapa kawasan Blambangan (dan Banyuwangi pada umumnya) tidak 
pernah masuk pada budaya "Mataraman", sehingga kawasan tersebut hingga kini 
memiliki  ragam bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa baku. Pengaruh 
Bali  juga tampak pada berbagai bentuk kesenian tari yang berasal dari wilayah 
Blambangan'.

Demikian Wikipedia. Keterangan Wikipedia ini dengan sendirinya harus diteliti 
dan dipelajari lagi.


* * *.


Dalam INTRODUCTION tesisnya, Sri Margana menjelaskan sbb:

'The theme of this study is to present an analysis of how the Dutch 
tried to transform /Java's Oosthoek /(Java Eastern Salient, Javanese: 
/Bang Wetan/) from a wilderness harbouring rebels, the rougher elements 
of society, and stubborn dissenters opposed to any foreign rule into a 
frontier of economic progress and colonial state-formation by the 
beginning of the nineteenth century. Such a process of transformation 
would have been impossible unless it was accompanied by political as 
well as social and cultural change.


'Unquestionably, the ever-increasing involvement of the VOC (/Verenigde 
Oost-Indische Compagnie/) in the internal political affairs of Java 
played a crucial role in transforming the /Oosthoek/, but the fact that 
endogenous factors also provided an impetus to the changes should not be 
overlooked. A careful scrutiny of both Dutch and Javanese sources is 
essential in any balanced attempt to reconstruct a detailed and 
intriguing account of what was happening in /Java's Oosthoek /just as it 
was poised on the brink of becoming integrated into the Colonial State.' 
<Kutipan selesai>


* * *


Dalam bincang-bincang dengan aku, Margana menyatakan bahwa Blambangan 
yang sangat menentang dominasi asing itu, hanya bisa dikalahkan oleh 
VOC, disebabkan VOC yang melakukan politik 'devida et impera' itu 
berhasil merangkul kerajaan Islam Mataram untuk bersama-sama menaklukkan 
kerjaan Blambangan.


Adapun alasan kerajaan Mataram mau berkolaborasi dengan VOC untuk 
mengalahkan Blambangan, ialah tujuan Mataram untuk meng-Islamkan 
Blambangan yang bergama Hindu itu.


Sungguh, aku yang suka sejarah, dan pernah mengajar sejarah di Peguruan 
KRIS, Jakarta, pada permulaan tahun limapuluhan, tidak pernah mendengar 
tambo mengenai VOC, Mataram dan Blambangan, serta saling hubungannya, 
seperti yang kudengar sendiri sekarang ini dari sejarawan muda Sri Margana.


* * *


Mari ikut Stelling atau Dalil-dalil Sri Margana yang dikemukakannya pada 
hari itu: (Kutip)


(O1) In many respects, JAVA'S OOSTHOEK in the second half of the 18th 
century may be called

Java's last frontier (see this thesis).


(02) The decision taken by the VOC to invade Blambangan in the second 
half of the 18th century was closely related to provocation by the 
British merchants who were trying to establish a new trading-post in 
this region.


(03) The key to the success of the VOC in maintaining its hegemony in 
Java was determined by its skill in fostering good relationship with the 
local rulers, especially after the Javanese Succession War which ended 
in 1757.


(04) The preaching of Islam in Java played a central role in the Dutch 
excpansion strategy in Blambangan in 1767-1774. In a utshell: thanks to 
the Dutch intervention the great mission of Sultan Agung to create the 
world of Islam in Java was accomplished.


(05) The intervention of the VOC in Blambangan also fanned inter-ethnic 
violence and actually strengthened ethnic and regional sentiments, 
proving that one should keep an eye on the dynamics of indegenous 
developments (see Gagalnya Historiografi Indonesiasentris, Bambang Purwanto)


(06) The second opposition to the Company in Blambangan was nor a direct 
responce to oppression and economic exploitation as the orthodox opinion 
has it, but a heart-felt sentiment of the local population against the 
unwanted intrusion of new 'foreign' (Javanese and Islam) elements.


(07) The extension of the Company's influence in East Java gradually but 
surely put the existing autonomous trade networks in a straightjacket, 
reshaping their orientation and output.


(08) A characteristic feature of the Wong Osing among other Javanese 
ethnic groups is their inclination to be autonomous and free of foreign 
intervention.


(09) The credibilitiy of the /babad / as a historical source is not 
situated in the accuracy of its narrative account but its cultural 
function within the society that produced it.


(10) Field work on Java is an appropriate and challenging learning 
process for the historian who examines the continuity and discontinuity 
of Javanese culture. Situated between the Indian Ocean and the South 
China Sea, the island has experienced a mixed legacy of foreign 
religions (Hindu, Islam and Christian) and South Asian, East Asian, 
Middle Eastern and European influences. Seeing is descerning, listening 
is understanding.


(11) The autonomous viewpoints of Indonesian historical writing are 
often undermining the credibility of the Dutch sources and their 
so-called intrinsic value and objectivity.


(12) The /CONDOHORST 140 MAFIA /is the new generation of the 21st 
century Indonesian academic 'birds' who flew over to forage and stretch 
their intlectual wings before returning home to lay eggs of cultural 
revival. (Kutipan selesai - I.I.)

<Bersambung)

Catatan:
Tulisan lengkap pernah diposting ke milis mediacare pada:

Tuesday, December 18, 2007 6:20 PM 

dengan subyek:
Sri Margana tentang Blambangan (bagian 1)




Kirim email ke