Refleksi: Kalau manusia terkubur ditimpa tanah longsor mungkin bisa dimengerti, tetapi kalau terkubur timbunan sampah adalah tidak lain dari indikator keadaan politik dan ekonomi negara yang tak mudah dibantah oleh penguasa NKRI dengan santapan angka-angka statistik BPS..
http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=5341 2009-02-25 Jangan Lagi Sampah Mengubur Manusia SP/Adi Marsiela Seorang pencari pupuk organik tengah menyaring tanah dan sampah yang didapatnya untuk dijual sebagai pupuk di bekas longsoran Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah, Cilimus, Sabtu (22/2). seh (65) masih ingat akan peristiwa longsor empat tahun lalu di depan rumahnya. Longsornya sampah pada Senin (21/2) pukul 02.00 WIB itu juga yang membuatnya, harus hidup terpisah dari sang istri. "Istri saya langsung sakit, keluarganya banyak yang meninggal," kata Asep kepada SP, yang menemuinya di sela-sela peringatan empat tahun longsornya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, Jawa Barat (jabar), Sabtu (21/2) lalu. Peringatan yang diisi dengan acara doa bersama dan tabur bunga itu dihadiri sedikitnya 100 warga setempat, organisasi masyarakat, pemerintah, dan masyarakat Kampung Adat Cirendeu. Aseh sendiri memilih untuk tetap bekerja, mencari sampah plastik di lokasi longsoran sampah. Padahal, tempat digelarnya doa bersama itu adalah tempat semula rumah Aseh berdiri kokoh. "Saya robohkan sendiri, karena warga di sini semuanya juga sudah pindah. Saya sekarang tinggal di Kampung Koser, tapi kerja tetap di sini," katanya. Menurut salah satu tokoh masyarakat setempat bernama Siti Euis Komilah, peringatan itu dilakukan agar kejadian di TPA Leuwigajah tidak lagi terulang. Warga menuntut agar masyarakat tidak akan lupa dan bisa mengambil pelajaran dari longsornya sampah akibat keteledoran manusia. "Bukan untuk mengungkit masa lalu. Ini sejarah pahit, seharusnya sampah yang dikubur manusia. Jangan sampah yang mengubur manusia," katanya. Peristiwa itu sendiri mengakibatkan sedikitnya 140 orang meninggal dunia akibat rumahnya tertimbun longsoran sampah dari TPA Leuwigajah. Pemerintah diharapkan tidak melupakan kejadian tersebut. Satu-satunya bangunan yang masih tersisa di Kampung Cilimus adalah mushala. Warga yang sebelumnya tinggal di sana, berharap agar itu dijadikan tugu peringatan dari kejadian tersebut. "Ini adalah bukti ketidakmampuan manusia mengelola sampah. Padahal, bila dikelola dengan baik dapat membawa manfaat, mulai dari sumbernya di tingkat rumah tangga," kata Deputi Pengendalian Pencemaran Kementerian Lingkungan Hidup, Gempur Adnan dalam peringatan itu. Pemerintah Provinsi Jabar sendiri saat ini tengah mengkaji dan melakukan studi analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dari rencana memfungsikan kembali TPA tersebut. Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jabar Setiawan Wangsaatmaja mengatakan, rencana penggunaan kembali kawasan tersebut bukan berarti langsung mendatangkan sampah ke sana seperti dahulu. Pemerintah sudah membebaskan lahan sekitar 80 hektare (ha) hingga 90 ha di lokasi TPA Leuwigajah. "Kami masih dalam tahap kerangka acuan amdal. Kami lihat seperti apa penataannya. Semua aspirasi masyarakat juga kami dengar, termasuk yang menolak," katanya. Volume sampah di wilayah Bandung Raya (Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kota Cimahi) setiap harinya sebanyak 2.500 ton harus dibuang. Kesadaran Untuk itu, setiap orang harus sudah mengurangi sampah dari sumbernya. Kantor-kantor pemerintahan, yang memiliki halaman harus sudah memilah sampahnya sendiri. "Ini sifatnya bukan proyek, tapi kesadaran. Karena sampah-sampah itu juga ada nilainya," katanya. Ketua Wahana Lingkungan Hidup Jabar Muhammad Hendarsyah mengungkapkan, rencana pemerintah mempergunakan kembali TPA tersebut sebaiknya didahului oleh pembuatan peraturan hukum yang jelas. Hal itu penting agar tidak terjadi pelanggaran dalam pengelolaan sampah seperti dulu. "Agar jelas konsepnya. Jangan seperti dulu bilang sanitary landfill, tapi tetap saja yang digunakan open dumping (pembuangan terbuka). Akibatnya, seperti di Leuwigajah ini," katanya. Hal yang sama diingatkan oleh Gempur. Satu-satunya cara pengelolaan sampah yang baik, dengan mengurangi sampah dari sumbernya. Undang-Undang No 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dibuat agar sampah itu dimanfaatkan. "Saya belum tahu rencana pemerintah untuk menggunakan kembali TPA ini. Yang pasti kalau mau digunakan, harus ada amdalnya. Yang paling penting adalah peka terhadap masalah sosial. Kalau masyarakat menolak, perlu dipertimbangkan," paparnya. Aseh mengaku tidak keberatan dengan rencana pemerintah, terlebih seluruh wilayah yang masih tertimbun longsoran sampah itu sudah dibeli pemerintah. "Saya cuma ikut cari rezeki di sini. Kalau mau diapa-apakan itu tergantung pemerintah. Kalau mau dipakai lagi sebaik yang benar saja, agar tidak ada lagi kejadian bencana," katanya. [SP/Adi Marsiela]