http://www.riaupos.com/main/index.php?mib=berita.detail&id=2393

Sabtu, 07 Maret 2009 , 08:55:00

Jangan Terjebak Pendidikan Karbitan
Dr Junadi SS MHum



SANGAT menarik membaca tulisan yang disampaikan oleh Prof Dr Ir Irwan Effendi 
MSc sebagi Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Riau, tentang ujian nasional (UN) 
dan ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN). Secara akademis keberadaan 
UN tampaknya memang telah mereduksi hakikat dari pendidikan itu sendiri. 
Pendidikan dengan sistem UN sekarang ini hanya memfokuskan diri hanya pada 
hasil bukan proses pendidikan itu. Padahal proses pembelajaran itu sangat 
penting diperhatikan. Keberhasilan dari pendidikan tidak bisa hanya diukur oleh 
indikator yang telah ditetapkan secara nasional. Bahkan penetapan indikator 
seperti itu dapat mengkebiri kreatifitas guru dan siswa dalam proses 
pembelajaran. 

Para siswa ibarat diberikan karbit agar mereka mampu menjawab soal UN sehingga 
mereka dipaksa untuk mengikuti program terobosan dan bimbingan belajar. Lebih 
buruknya lagi adanya upaya oknum guru tertentu untuk membocorkan soal UN agar 
siswa mereka mendapatkan nilai yang baik. Ini disebabkan bila siswa mereka 
mendapatkan nilai yang rendah, maka guru akan disalahkan oleh kepada sekolah 
dan kepala sekolah pun disalahkan oleh kepada dinas. Bukan ini satu kepalsuan 
yang nyata? Siswa kita suruh belajar, tetapi kemudian kita berikan bocoran 
jawaban soal ujian. Ini terjadi akibat indikator sistem pendidikan kita terlalu 
berfokus pada hasil UN sehingga semua menggunakan segala cara untuk medapat 
nilai UN yang tinggi. 

Hasil penelitian Koalisi Pendidikan (dimuat di Koran Tempo, 4 Februari 2005) 
telah menyimpulkan bahwa sistem UN telah menyalahi hakikat dari pendidikan itu 
sendiri. UN hanya mengukur aspek kongnitif saja padahal dalam pedagogik (ilmu 
pendidikan) kemampuan siswa mencakup kognitif (pengetahuan), psikomotorik 
(keterampilan, dan afektif (sikap). Ini membuktikan bahwa UN telah mengkebiri 
aspek kreatifitas dan sikap siswa. Sehingga ini dapat menghasilkan generasi 
muda yang mempunyai nilai tinggi tetapi mereka tidak memiliki kreatifitas dan 
sikap yang baik dalam masyarakat. Bila ini yang terjadi, maka penyelenggaran 
pendidikan kita telah gagal sebab tidak bisa menghasilkan generasi yang kreatif 
untuk membangun bangsa ini. 

Secara yuridis, UN sebenarnya bertentangan dengan keberadaan Undang-undang 
Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 pasal 35 ayat 1 yang menegaskan, standar 
pendidikan nasional meliputi standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga 
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian 
pendidikan yang harus ditingkatkan berencana dan berkala. Ini menunjukkan bahwa 
UN tidak bersifat totalitas dalam memandang standar pendidikan nasional. UN 
telah merampas hak guru sebab tugas mengevaluasi siswa adalah tugas guru, bukan 
tugas pemerintah. Pemerintah secara sepihak telah mengambil tugas guru padahal 
sebenarnya tugas pemerintah sangat banyak untuk membangun bangsa ini daripada 
hanya mengurusi standar kelulusan.

UN juga memberikan dampak psikologis bagi siswa. Peningkatan standar kelulusan 
telah membuat resah para siswa, sebab mereka takut bila tidak lulus. UN telah 
menjadi 'hantu' bagi siswa sehingga penyelenggaran pendidikan tidak lagi 
menjadi sesuatu yang menyenangkan tetapi telah menjadi sesuatu yang menakutkan. 
Karena rasa takut itu pulah orang tua memaksa anak-anak mereka untuk mengikuti 
bimbingan belajar dilembaga pendidikan. Padahal di lembaga pendidikan para 
siswa hanya dilatih untuk menjawab soal ujian. Konsentrasi siswa hanya terfokus 
pada cara menjawab soal ujian. Sedangkan hakikat yang sebenarnya dari 
pembelajaran itu tidak tercapai. 

Saat ini keberadaan UN dalam sistem pendidikan di Indonesia tidak dapat 
ditolak, sebab merupakan suatu kebijakan nasional. Yang terpenting adalah 
bagaimana kita menyingkapinya sehingga kita tidak terjebak oleh pendidikan 
karbitan seperti itu. Dengan kata lain, diperlukan formulasi yang tepat untuk 
menghasilkan pendidikan yang berkualitas sehingga anak-anak kita tidak menjadi 
korban atau tumbal dari pendidikan yang hanya mementingkan indikator angka 
daripada kualitas diri. Daripada kita sibuk memikirkan UN lebih baik perhatian 
kita difokuskan pada gagasan yang diamanatkan oleh undang-undang. Kita perbaiki 
standar isi dari pelajaran yang diberikan kepada siswa. Apakah kurikulum dan 
bahan ajar yang dijadikan ajuan pembelajaran telah memenuhi standar dan 
mengikuti trend perkembangan dunia saat ini. Bila tidak, maka diperlukan 
penyusunan kurikulum dan bahan ajar yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan 
masyarakat agar materi yang diberikan itu benar-benar nyata dalam kehidupan 
siswa. Selanjutnya proses pembelajan yang dilakukan sekolah-sekolah selama ini 
perlu di perbaiki untuk menghasilkan pembelajaran yang maksimal sehingga 
menghasilkan siswa yang berkualitas.

Pernahkah kita mengevaluasi kompetensi lulusan kita? Diperlukan suatu mekanisme 
untuk mengukur kompetensi lulusan sebab pihak sekolah telah diberikan amanat 
untuk mendidik masyarakat. Setelah tamat sekolah apakah lulusan itu benar-benar 
dapat hidup dan memberikan manfaat kepada masyarakat. Jangan-jangan setelah 
tamat mereka justru menjadi beban masyarakat sebab menambah pengangguran. Ini 
akibat sistem pendidikan yang tidak mendorong kreatifitas anak didik tetapi 
lebih mengutamakan nilai UN. 
    
Apakah guru yang membimbing proses pembelajaran telah berkualitas baik dalam 
penguasaan materi ajar maupun dalam penerapan metode pengajaran. Masih banyak 
guru yang belum mempunyai kemampuan mengajar yang sesuai dengan standar 
pendidikan. Pemberdayaan guru harus selalu ditingkatkan dengan memberikan 
pelatihan yang serius dan jelas tujuannya. Pelatihan guru harus dilaksanakan 
secara berterusan sebab kemampuan guru perlu terus ditingkatkan agar mereka 
dapat tampilkan dengan maksimal dalam proses pembelaran.    
  
Sistem penilaian yang terdapat dalam UN perlu dikaji ulang, sebab UN tidak bisa 
mengukur keberhasilan pendidikan secara totalitas. UN cenderung bersifat 
sektoral dalam memandang kualitas peserta didik sebab hanya menilai dari aspek 
kognitif saja. Di samping itu, UN juga bersifat menyamaratakan semua jenis 
pendidikan baik yang bermutu maupun yang kurang, atau tidak bermutu. Padahal 
realitas menunjukkan bahwa tidak semua sekolah mempunyai guru, buku, sarana, 
prasarana, biaya, pengelolaan yang memadai. Oleh karena itu, kita harus 
memberikan perhatian yang lebih serius pada komponen pendidikan lainnya 
daripada hanya sibuk memikirkan UN.***

Dr Junadi SS MHum, 
Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning.

Kirim email ke