Jawa Pos

 Sabtu, 08 November 2008 ] 


Kota Pahlawan Nyaris tanpa Pahlawan 


Meskipun sejak 10 November 1945 Surabaya terkenal sebagai Kota Pahlawan, tidak 
banyak yang tahu bahwa kota ini tidak mempunyai pahlawan nasional yang diakui 
pemerintah. 

Setidaknya, ketiadaan pahlawan itu berlangsung sampai 7 November 2008 
(kemarin), ketika pada akhirnya pemerintah mengakui dan menyatakan bahwa Bung 
Tomo, tokoh penting perlawanan arek-arek Suroboyo melawan sekutu, adalah 
pahlawan nasional. 

Sungguh penantian amat lama. Dengan demikian, sekarang Surabaya sempurna 
disebut sebagai ''Kota Pahlawan" karena sudah memiliki pahlawan nasional yang 
diakui pemerintah.

Sebagai anggota DPR yang mewakili dapil I Jatim (Surabaya dan Sidoarjo), sudah 
lama saya terpikir bahwa Surabaya disebut sebagai Kota Pahlawan, tetapi siapa 
pahlawan nasional dari ibu kota Jatim itu tidaklah jelas? 

Setelah beberapa kali melakukan pengecekan, memang ternyata belum ada tokoh 
Surabaya, khususnya yang terlibat dalam perlawanan melawan sekutu pada 10 
November 1945, yang mendapat gelar pahlawan nasional. Lebih terasa aneh karena 
untuk mendapat gelar pahlawan nasional harus ada ''yang meminta" atau 
mengajukan dengan sejumlah prosedur yang ruwet. 

Tampaknya, para birokrat di Departemen Sosial yang dipimpin Menteri Bachtiar 
Chamsyah berpendapat, semakin sulit dan rumit semakin baik. Akibatnya, Bung 
Tomo yang peranannya dalam berjuang melawan sekutu sudah sangat jelas kesulitan 
mendapat pengakuan tersebut. 

Di zaman Soeharto, pengajuan pengakuan kepahlawanan Bung Tomo pernah ditolak 
karena syarat-syarat ''administratifnya" tidak lengkap. Pengajuan yang sekarang 
pun, kabarnya, mula-mula agak berat karena Departemen Sosial menaruh Bung Tomo 
dalam ranking yang agak bawah. Namun, akhirnya, berkat sikap bijaksana Presiden 
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sikap Departemen Sosial diubah sehingga pada 7 
November kemarin surat pengakuan kepada Bung Tomo sebagai pahlawan nasional 
disampaikan.

Memang, di Indonesia ini sangat aneh. Untuk diakui sebagai pahlawan nasional 
perlu "sponsor". Tim yang menjadi sponsor inilah yang mengurus segala macam 
tetek bengek agar tokoh yang disponsorinya diakui sebagai pahlawan. Dengan 
demikian, memang bukan urusan mudah untuk memperjuangkan gelar kepahlawanan 
nasional, meski perjuangannya sudah sangat terang benderang dan cetho welo-welo 
seperti Bung Tomo. 

Misalnya, perlu ada seminar, penerbitan buku hasil penelitian bahwa seseorang 
yang diusulkan itu mempunyai nilai kepahlawanan dalam perjuangannya. Selain 
itu, harus mampu meyakinkan DPRD setempat agar mengeluarkan rekomendasi 
kepahlawanan seseorang. 

Ini pun belum jaminan semuanya akan mulus. Mood para pejabat Departemen Sosial 
pun ikut menentukan. Dalam kasus Bung Tomo ini, kabarnya, nyaris 
didiskualifikasi dengan alasan waktu pengusulannya hampir terlambat.

Lebih dari itu, mood pejabat Departemen Sosial inilah yang sering bikin repot. 
Terus terang saja, saya sempat geregetan ketika mendengar kabar bahwa 
Departemen Sosial menempatkan Bung Tomo dalam ranking yang rendah. Itulah 
sebabnya, saya sangat gembira ketika diajak sejumlah elemen warga Surabaya yang 
tergabung dalam Masyarakat Pencinta Bung Tomo untuk menggalang aksi sejuta 
tanda tangan mendukung pemberian gelar pahlawan nasional untuk Bung Tomo. 

Saya pun menghubungi RRI Surabaya yang merupakan tempat historis di mana Bung 
Tomo dengan mengucapkan takbir ''Allahu Akbar" menyerukan perlawanan arek-arek 
Suroboyo terhadap penjajah. Ternyata, sambutan RRI cukup antusias, apalagi 
pihak RRI ternyata sudah dua kali menggelar seminar tentang Bung Tomo.

Tanggal 28 Oktober yang lalu, di RRI digelar pertemuan yang dihadiri sejumlah 
tokoh masyarakat dan aktivis mahasiswa/pemuda. Saya bersama teman-teman lain 
memulai gerakan sejuta tanda tangan dengan tekad. Isinya, jika sampai hari ini, 
tanggal 8 November, belum ada surat keputusan, maka kami akan menggelar Gerak 
Jalan Sejuta Rakyat Surabaya menuntut pemerintah segera mengakui Bung Tomo 
sebagai pahlawan nasional. 

Tetapi, lantaran pemerintah sudah memberikan pengakuan tersebut pada 7 
November, kami mengubah acara gerak jalan sebagai "syukuran" warga masyarakat. 
Gerak jalan akan dimulai dari lapangan Hockey, Gubeng, pukul enam pagi dengan 
pemberangkatan secara resmi oleh Menkominfo Muhammad Nuh. 

Pantas Bersyukur 

Warga kota Surabaya pantas bersyukur dan bergembira dengan keputusan pemerintah 
itu. Sebab, dengan demikian, perjuangan berdarah yang penuh pengorbanan dan air 
mata almarhum secara resmi diakui negara. Saya kira naif sekali kalau kita 
tidak bersyukur. 

Terus terang, ketika saya mendengarkan rekaman pidato Bung Tomo di RRI Surabaya 
yang diputar ulang dan kami dengarkan secara saksama, hati sangat tergugah dan 
semangat juang terasa membara. Berkali-kali saya harus mengusap mata yang basah 
karena sangat haru dan hati ini bercampur aduk tidak karuan. Saya yakin saat 
itu hanya begundal Belanda dan antek-antek NICA seperti tentara KNIL yang tidak 
tersentuh dan tergugah dengan seruan takbir Bung Tomo mengajak melawan penjajah.

Oleh sebab itu, mestinya pemerintah, setidaknya pemerintah Provinsi Jatim dan 
Pemkot Surabaya, membuat film dokumenter kepahlawanan Bung Tomo dan arek-arek 
Surabaya dalam berjuang melawan penjajah. Setiap tanggal 10 November, film 
tersebut wajib diputar di stasiun TV lokal di Jatim. Bahkan, kalau perlu, 
stasiun TV nasional di Jakarta. 

Saya yakin pidato Bung Tomo dan film perlawanan arek Surabaya itu akan mampu 
menjadi inspirasi menguatnya nasionalisme yang kini terasa terkikis oleh 
berbagai ide dan gagasan asing.

Sosok Bung Tomo juga mestinya lebih banyak diperkenalkan kepada generasi muda. 
Daripada mereka mengenakan kaus bergambar tokoh revolusioner asing Che Guevara, 
mestinya lebih bangga mengenakan kaus bergambar Bung Tomo yang dengan wajah 
tegas mengomando perlawanan arek Surabaya melalui corong RRI. Bangsa ini memang 
baru kehilangan idola seorang tokoh yang sosok dan sepak terjangnya pantas 
diteladani.

Mudah-mudahan -meskipun agak lama menunggu- penganugerahan gelar pahlawan 
nasional yang disampaikan presiden kemarin tetap akan mampu memberikan 
sumbangan positif bagi perkembangan nasionalisme di Indonesia. 

*. Djoko Susilo , anggota Komisi I DPR 

Kirim email ke