Jerman Bertabur Mualaf

Katagori : Muslim Convert News
Oleh : Redaksi 10 Feb 2007 - 6:30 am

Simak Pengakuan Kai Ali Rashid dan istrinya menjadi Katrin Aisha Lihr
imageimageKelas menengah di Jerman ramai-ramai belajar Islam. Tak
terpengaruh perang global melawan terorisme.

"Angst-Ridden German Mencari Jawaban dan Menemukannya di dalam Quran."
Demikian judul besar di Del Spiegel, harian terkemuka di Jerman, edisi
18 Januari 2007. Penulisnya, Lutz Ackermann, mengawalinya dengan
mengisahkan pria perlente bernama Kai Luhr.

Dengan bercelana jins dan jaket abu-abu bermerek, pria berwajah bersih
tanpa kumis dan janggut ini memasuki gerbang Masjid Berlin. Ackermann
mengira dia menuliskannya dengan kalimat "publik Jerman pasti menduga"
Luhr adalah utusan pihak gereja untuk hadir dalam dialog lintas agama
yang kerap digelar di masjid itu.

Tapi, ups, dia salah. Luhr bergegas menanggalkan jaketnya, dan
mengambil air wudlu. Dia merapatkan diri dengan barisan shalat -- di
sebelahnya pria bertampang Timur Tengah dengan janggut dan jubah putihnya.

Dalam catatan Ackermann, Luhr melakukan 33 gerakan dalam ibadahnya
hari itu. "Bahasa Arabnya sangat fasih ketika memanjatkan doa,"
tulisnya. Ia hanya mengucap satu kalimat dalam bahasa Jerman, "Allah
mendengar siapa yang memohon pada-Nya, kabulkan doaku ya Tuhanku."

Kai Luhr adalah seorang dokter. Ia dan istrinya menjadi Muslim sejak
dua setengah tahun lalu. Seiring dengan pernyataan syahadatnya, ia
mengganti namanya menjadi Kai Ali Rashid dan istrinya menjadi Katrin
Aisha Lihr.

Lelaki 43 tahun ini biasa mengikuti aktivitas keagamaan di sebuah
masjid di Frechen, dekat Cologne. Di situ pula ia mengikrarkan Islam
sebagai agama barunya. Bersama dengannya, seorang mantan petinju
nasional Jerman dan seorang insinyur juga turut bersyahadat.

Saat dikuntit Del Spiegel, Luhr usai menunaikan shalat Jumat dan
shalat sunah lain sebelumnya. "Anda akan menjumpai banyak Muslim
kelahiran Jerman di beberapa masjid di Berlin pada hari ini," ujar Luhr.

Luhr besar dalam tradisi Kristen yang ketat. Namun ia beruntung,
keluarga yang membaptisnya saat dia kanak-kanak itu adalah keluarga
yang demokratis. "Tak ada masalah saya memeluk agama ini," ujarnya.

Baginya, Islam adalah agama yang benar-benar baru. Ketika kecil hingga
remaja, ia yang besar di lingkungan kelas menengah di Berlin, mengaku
tidak pernah mengenal atau bahkan mendengar ada agama bernama Islam.

Persinggungan pertamanya dengan Islam adalah saat ia masuk universitas
untuk belajar ilmu kedokteran. Beberapa rekan kuliahnya adalah Muslim.
Namun saat itu ia belum tergerak mempelajari Islam.

Usai kuliah, ia membuka praktik sambil mengambil spesialisasi
pengobatan naturopatik di universitas yang sama. Saat penghasilannya
mulai bagus, ia menikahi pacarnya, Katrin, seorang penari profesional.

Hingga suatu hari, kedua pasangan ini mengalami kegelisahan dalam
hidupnya. Kejadian bermula saat suatu hari datang pasien dalam kondisi
kritis ke ruang praktiknya, akibat terjatuh saat pemancangan sebuah
pilar. "Tiba-tiba ada kekosongan dan keputusasaan dalam hidup kami,"
ujarnya.

Ia dan istrinya memutuskan untuk kembali menekuni agama yang telah
lama ditinggalkannya, Kristen. Bahkan, pasangan ini pun mempelajari
Buddhisme dan ajaran Dalai Lama. Tapi ia tak kunjung menemukan jawaban
kegelisahannya.

Ingin tampil beda

Menurut laporan Ackermann, proses penjalanan batin seorang Mualaf di
Jerman umumnya sama; mereka adalah penganut Kristen, yang menemukan
kebingungan tentang ajaran agamanya. Setelah mencari di banyak
keyakinan, hati mereka tertambat pada Islam.

"Memang ada beberapa ajaran yang membuat penganutnya malah jadi ragu
dengan kebenaran ajaran itu," ujar Mohammed Herzog, imam di Masjid
Berlin yang sebelumnya adalah seorang pendeta. Ia sendiri pernah
mengalami kebuntuan pemikiran, sampai akhirnya menemukan Islam tahun 1979.

Ia mengakui, jumlah mualaf di Jerman kini berlipat. Satu dasawarsa
lalu, jumlah mualaf baru di Masjid Berlin paling hanya 10 orang
pertahun. "Kini jumlahnya lebih dari dua kali lipatnya," ujar Herzog.
Sebagian penganut baru Islam adalah orang-orang seperti Luhr, dan
sebagian lagi adalah ateis.


Muhammed Herzog - Imam Mesjid Berlin

imageSebuah kajian mengenai kehidupan Muslim di Jerman menunjukkan
fenomena pindah agama di kalangan masyakarat kelas menengah Jerman
yang angkanya cukup mencengangkan. Kendati media "rajin" memberitakan
tentang terorisme yang dikaitkan dengan Islam, kekerasan dalam rumah
tangga Muslim, dan bom bunuh diri, namun sedikitnya 4.000 warga negara
Jerman menjadi Muslim antara bulan Juli 2004 hingga Juni 2005, saat
penelitian dilakukan.

Penelitian yang didanai Kementerian Dalam Negeri Jerman ini menyebut,
jumlah mualaf meningkat empat kali lipat dibanding tahun sebelumnya.
"Justru di saat kebencian di Barat terhadap Islam makin memuncak,"
tulis laporan itu.

Mereka berislam atas kesadaran sendiri, dan sebagian besar mualaf
adalah dari kalangan terpelajar. "Bila tiga tahun lalu kebanyakan
converter adalah wanita yang berpindah agama karena pernikahan, maka
sekarang banyak juga kaum pria dari kalangan kelas menengah Jerman
yang beralih menjadi Muslim" tulis laporan itu.

imageHasil penelitian ini tak jauh berbeda dengan penelitian
sebelumnya yang dilakukan Monika Wohlrab-Sahr, seorang sosiolog agama.
Bedanya, dia tak hanya memotret fenomena ini di Jerman, tetapi juga
Amerika Serikat. Di dua negara ini, Islam tumbuh dengan pesat justru
setelah Tragedi 11 September.

Menurut pengamatan Wohlrab Sahr, para mualaf sebelum berislam umumnya
mengalami "krisis personal" dan menemukan kedamaian justru dalam
Islam, agama yang dicap banyak orang sebagai agama teroris. Motifasi
lainnya adalah pencarian agama yang lebih "pas" buat dirinya. "Dia
ingin beda dari yang lain," ujarnya.

Dalam opini Wohlrab-Sahr, meski Kristen juga menawarkan kedamaian
batin, namun Islam lebih menarik sebagai jalan keluar dari keruwetan
hidup. Hal ini ditunjang dengan media yang terus-menerus
memperdebatkan tentang Muslim. "Islam menjadi makin menarik sebagai
sebuah genuine alternative," tambah Wohlrab-Sahr.

Namun, alasan seseorang berislam tentu berbeda-beda, meski
Wohlrab-Sahr bilang mirip. Salim Abdullah ia menolak menyebutkan nama
aslinya menyatakan tertarik pada Islam karena ajaran ini paling jelas
merinci tuntunan hidup bagi umatnya. Sedangkan Luhr yang selalu
membawa sajadah di mobil Alfa Romeo GT terbarunya menyatakan, "Meski
Islam dinilai mundur dari peradaban Barat, namun ajarannya tetap
relevan hingga saat ini."


Islamic Fashion di Berlin

Bagaimana para Mualaf menyesuaikan diri dengan lingkungannya setelah
menjadi Muslim? Dalam banyak hal, tak perlu disangkal, pasti terjadi
benturan. Islam mempunyai banyak aturan yang bertentangan dengan
budaya Barat. Sebut misalnya dalam penyikapan terhadap alkohol, seks
bebas, dan ibadah yang dalam sehari sampai lima kali jumlahnya.

Namun Wohlrab-Sahr menyatakan tidak ada kendala yang berarti.
"Tergantung bagaimana cara mereka menafsirkan ayat-ayat Alquran,"
ujarnya. Menurut dia, para mualaf ini tidak menunjukkan "kerepotan"
harus beribadah lima kali sehari.

Beda dengan persepsinya bahwa busana untuk beribadah umat Islam sangat
"ruwet" ia justru menemukan pada mualaf dengan gampang beribadah
dengan memakai celana jins atau busana yang biasa mereka kenakan
sehari-hari. "Bagi wanita, mereka hanya perlu menambahkannya dengan
kaus kaki saja," ujarnya. Ia justru menyebut, Muslim yang dari lahir
sudah berislam justru lebih liberal.

Di akhir laporannya, Ackmenn memotret fenomena seperti yang
diceritakan Wohlrab-Sahr:

"Suatu siang di sebuah kantor pengacara di Hamburg. Nils Bergner, pria
berusia 36 tahun, menjaga shalatnya sebanyak lima waktu, kendati
kesibukan kantor menyita waktunya. Di kantor itu, Bergner satu ruangan
dengan rekannya, seorang Muslim asal Turki bernama Ali Ozkan. Mereka
kerap pergi shalat Jumat ke masjid terdekat, namun di luar hari Jumat,
Bergner lebih sering shalat seorang diri. "Urusan pekerjaan selalu
menyita waktu saya," ujar Ozkan, "Shalat pertama pukul 06.00, ...itu
terlalu pagi bukan?"

Cerita Ackmenn tak berhenti sampai di sini. Malam harinya, ia
mengundang dua nara sumber Muslimnya itu untuk makan malam di sebuah
rumah makan. Bergner menolak rumah makan pertama karena "menyajikan
terlalu banyak bahan haram."

Akhirnya mereka sepakat di sebuah rumah makan mentereng di pusat kota
Berlin. Makanan utama telah habis dilahap, kemudian pelayan datang
membawa desert berupa tiramisu. Bergner menolak. Alasannya, "Terima
kasih. Dalam resepnya, memakai alkohol." Ozkan mulai tak sabar dengan
ulah sahabatnya. "Ayolah, jangan terlalu serius," ujarnya sambil
mengigit cake itu, "Makan saja, tidak apa-apa. Alkohol hanya digunakan
sebagai aroma."

Bergner mendelik. Dia tetap membiarkan tiramisunya tak tersentuh,
sampai mereka keluar dari rumah makan itu... n tri/del spiegel
(tri/RioL)

Shalom,
Tawangalun.

Kirim email ke