JUMAT AGUNG:
Yes 52:13-53:12; Ibr 4:14-16; 5:7-9; Yoh 18:1-19:42

“Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya, dan
sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi
bagi semua orang yang taat kepada-Nya,”



Pada hari ini kita diundang untuk
mengenangkan Sengsara dan Wafat Yesus di puncak Kalvari, di kayu salib, dengan
ibadat-ibadat. Siang atau sore hari kita menghadiri dan berpartisipasi dalam
ibadat yang terdiri dari  Liturgi Sabda,
Penghormatan Salib dan Komuni, sementara itu pada umumnya di gereja-gereja atau
kapel-kapel diadakan ibadat jalan salib bersama-sama. Kita menghormati dan
bersembah sujud kepada Yang Tersalib, maka perkenankan secara sederhana kami
sajikan renungan atau refleksi atas sabda-sabda Dia Yang Tersalib:

 

"Eloi,
Eloi, lama sabakhtani?", yang berarti: Allahku, Allahku, mengapa Engkau
meninggalkan Aku” (Mrk 15:34)

 

Berat dan mulia itulah pemenuhan
tugas pengutusan Yesus. Ketika Ia
disiksa, didera dan harus memikul salib yang berat sambil diejek dan dihina,
tidak ada satupun sahabat-sahabatNya yang menyertai. Mereka ketakutan dan
meninggalkan Yesus sendirian. Kiranya sebagai seorang manusia hal itu sungguh
menyakitkan, apalagi ketika Ia tergantung di kayu salib, berada di puncak
penderitaan sendirian. Namun karena kesetiaan dan ketaatan kepada Yang Mengutus,
 Ia merasa masih didampingi oleh Yang
Mengutus, maka di puncak penderitaan Ia berdoa “Allahku, Allahku, mengapa 
Engkau meninggalkan Aku”. 

 

Mungkin pada saat ini kita,
lebih-lebih rekan-rekan yang sedang menderita sakit berat dan harus dirawat di
rumah sakit serta sering sendirian di tempat tidur dalam kesakitan, sedang
mengalami penderitaan atau sesuatu yang berat dan menyesakkan. Dengan kata lain
tidak mampu bekerja atau bertugas seperti biasanya. Kami berharap,jika kita
berada dalam keadaan yang demikian itu, hendaknya mmanfaatkan kesempatan
tersebut untuk berdoa, mengarahkan hati kepada Tuhan sepenuhnya. Mungkin berupa
doa batin atau kata-kata singkat. Persembahkan dan satukan penderitaan anda
kepada Allah dan penderitaan Yesus. Hendaknya dalam puncak kelemahan dan
kerapuhan tubuh , hati dan jiwa semakin terbuka terhadap dan dekat dengan
Allah, yang telah menganugerahi hidup dan tugas pengutusan. "Cukuplah kasih 
karunia-Ku bagimu,
sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." (2Kor
12:9)    

 

"Ya
Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat."


(Luk 23:34)

 

Di puncak penderitaan tidak ada
hiburan, tetapi yang datang bertubi-tubi adalah penghinaan, ejekan, cemoohan,
cacimaki dst., itulah yang dialami oleh Yesus di puncak kayu salib. Ia tidak
membalas dendam atau membenci mereka, melainkan mengampuni dan mendoakan
mereka: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab
mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”. Sungguh merupakan sikap dan
perilaku pahlawan karya penyelamatan sejati: tidak marah, mengeluh, menggerutu
melainkan mengasihi mereka yang telah membuatNya menderita, “sebab mereka tidak 
tahu apa yang mereka
perbuat”

 

Di dalam hidup dan kerja
sehari-hari kiranya kita sering merasa diperlakukan tidak baik, tidak enak dan
menyakitkan. Dengan kata lain kita sering merasa dilecehkan dan direndahkan.
Jika mengalami yang demikian itu, marilah kita meneladan Yesus dengan 
berdoa:”Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak
tahu apa yang mereka perbuat”. Sadari dan hayati bahwa mereka tidak
bermaksud melecehkan atau merendahkan kita, karena mereka tidak tahu. Orang
yang tidak tahu hemat saya tidak bersalah, maka selayaknya tidak dimusuhi atau
dibenci. “Berkat kuasaMu juga, cinta
mengalahkan kebencian, ampun menaklukkan balas dendam, dan saling kasih
mengenyahkan perselisihan” (Prefasi DSA VI). Dalam puncak kelemahan dan
kerapuhan diri kita, kuasa Tuhan lebih hidup dan berkarya.   

 

"Aku
berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama
dengan Aku di dalam Firdaus.” (Luk 23:43)

 

Di menit-menit atau detik-detik
terakhir hidupnya, salah satu penjahat yang disalibkan disamping Yesus, berdoa:
“Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau
datang sebagai Raja” (Luk  23:42)..Dengan dan dalam kemurahan HatiNya
Yesus menjawab:”Aku berkata kepadamu,
sesungguhnya hari ini juga engkau ada bersama-sama dengan Aku di dalam 
Firdaus”(Luk
23:43). Dialog ini kiranya baik
menjadi permenungan kita semua, lebih-lebih atau terutama mereka yang mendekati
dipanggil Tuhan, tetapi sebenarnya sewaktu-waktu kita juga dapat dipanggil
Tuhan, meninggal dunia.

 

Sabda Yesus di atas ini kiranya
menjadi sumber inspirasi dan iman kita bahwa hidup mulia kembali bersama Bapa
di sorga dan Yesus yang kita imani setelah meninggal dunia adalah anugerah
Allah. Orang yang dapat siap sedia menerima anugerah Allah pada detik-detik
akhir hidupnya kiranya adalah mereka yang dalam perjalanan hidup dan tugas
pengutusannya dengan dan dalam kelemahan serta kerapuhannya senantiasa berusaha
untuk melaksanakan kehendak Tuhan. Mungkin dalam hidup dan cara bertindak
sehari-hari di mata duniawi mereka terpaksa berbuat jahat, seperti mencopet,
mencuri dst… Perbuatan jahat tersebut dilakukan untuk mempertahankan hidup yang
dihayati sebagai anugerah Allah, karena tidak ada yang memberi kesempatan dan
kemungkinan untuk bertindak sebagaimana mestinya. Mereka tetap berkehendak baik
untuk mempertahankan hidup, anugerah Tuhan, maka ketika menjelang dipanggil
Tuhan, di detik-detik terakhir hidupnya mereka akan berdoa seperti salah
seorang penjahat yang disalibkan di samping Yesus :”Yesus, ingatlah aku, 
apabila Engkau datang sebagai Raja”. Marilah
kita tetap setia berkehendak baik dalam kelemahan dan kerapuhan kita.     

 

"Ibu, inilah,
anakmu!  "Inilah
ibumu!”  "(Yoh 19:26.27)

 

Seorang ibu yang baik senantiasa
berada di samping anaknya, apalagi ketika anaknya sedang menderita sakit berat.
“Dan dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya
dan saudara ibu-Nya, Maria, isteri Klopas dan Maria Magdalena” (Yoh 19:25). 
Bunda Maria berada di dekat salib
Yesus: kesanggupan Maria untuk menjadi Bunda Penyelamat Dunia berkembang terus
dengan sabda Yesus: “Ibu, inilah,
anakmu!...Inilah ibumu!”. Yesus mempercayakan para murid atau pengikutNya
kepada Bunda Maria, Ia
mohon agar Bunda Maria mendampingi dan menyertai para murid atau pengikutNya
dalam meneruskan karya penyelamatanNya. Kiranya kita tahu bahwa sampai kini
Bunda Maria senantiasa mendampingi dan menyertai para murid atau pengikut
Yesus, antara lain dengan peristiwa-peristiwa penampakannya dengan melelehkan
air mata cintakasih bagi orang-orang berdosa agar bertobat.

 

Bunda Maria adalah teladan umat
beriman, teladan hidup dan cara bertindak bagi para murid atau pengikut Yesus.
Tidak ingat akan kasih Bunda/ibu berarti kurang beriman. “Adapun dalam tata 
rahmat itu peran Maria sebagai Bunda tiada hentinya
terus berlangsung, sejak persetujuan yang dengan setia diberikannya pada saat
Warta Gembira, dan yang tanpa ragu-ragu dipertahankannya di bawah salib, hingga
penyempurnaan kekal semua para terpilih. Sebab sesudah diangkat ke sorga ia
tidak meninggalkan peran yang membawa keselamatan itu, melainkan dengan
perantaraannya ia terus-menerus memperolehkan bagi kita karunia-karunia yang
menghantar kepada keselamatan kekal” (Vatikan II: LG no 62). Maka marilah
kita tingkatkan dan perdalam devosi kita kepada Bunda Maria, antara lain dengan
meneladan ketaatan dan kesetiaannya pada panggilan dan kehendak Tuhan sampai
mati, dipanggil Tuhan. “Nderek Dewi
Mariyah, tentu geng kang manah, boten yen kuwatosa ibu jangkung tansah. Kanjeng
Ratu ing swarga, amba sumarah samya”, demikian syair bait pertama lagu
“Nderek Dewi Mariyah”, yang sangat populer dalam kehidupan iman dan beragama
orang-orang katolik.                 

 

"Aku
haus!"(Yoh 19:28)

 

Kehausan Yesus di puncak kayu salib merupakan ajakan bagi
para murid-murid atau pengikut Yesus untuk ‘memberiNya minum’ dengan melengkapi
penderitaan Yesus dalam dan melalui hidup dan cara bertindak setiap hari. 
“Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh
menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada
penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat.”(Kol 1:24), demikian 
kesaksian Paulus kepada umat
di Kolose, kepada kita semua yang percaya kepadaNya. Setiap kali berdoa kita
mengawali dan mengakhiri dengan membuat tanda salib; hal ini merupakan ajakan
agar apa yang akan kita lakukan atau kerjakan sebagai usaha “ menggenapkan 
dalam dagingku apa yang kurang
pada penderitaan Kristus, untuk tubuhNya, yaitu jemaat”. 

 

Kita semua dipanggil untuk mempersembahkan diri seutuhnya
demi keselamatan atau kebahagiaan umum, seluruh bangsa manusia. Maka baiklah
apapun yang menjadi tugas, kesibukan, kewajiban atau pekerjaan kita, marilah
kita hayati atau lakukan sebaik mungkin. Kita harus rela berkoban bagi
keselamatan atau kebahagiaan umum/bersama. “Rela
berkorban adalah sikap dan perilaku yang tindakannya dilakukan dengan ikhlas
hati dan dengan kehendak sendiri. Dalam hal ini, ia lebih mendahulukan
kepentingan orang lain daripada diri sendiri”  (Prof Dr Edy Sedyawati/edit: 
Pedoman Penanaman
Budi Pekerti Luhur, Balai Pustaka –Jakarta 1997, hal 23). 

 

Pada tahun ini, sebagai dampak dari krisis financial yang
melanda seluruh dunia, kiranya cukup banyak orang yang  hidupnya kurang atau 
tidak sejahtera. Maka
dengan ini kami berharap kepada kita semua untuk rela berkorban: tidak
berfoya-foya atau hidup bermewah-mewah dan memperhatikan saudara-saudari kita
yang serba berkekurangan. Marilah kita tingkatkan dan perdalam sodaritas kita 
terhadap
mereka yang miskin dan berkekurangan. Solidaritas kiranya berasal dari akar
kata bahasa Latin solido/solidare yang
antara lain berarti memperkuat,
mengukuhkan, mengutuhkan kembali, menegakkan, meneguhkan. Marilah kita
perkuat mereka yang lemah, kita kukuhkan yang ragu-ragu, kita utuhkan kembali
yang pecah dan retak, kita tegakkan yang miring-miring dan kita teguhkan yang
cemas.              

 

            "Ya
Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.” (Luk 23:46)

 

Nyawa adalah gairah hidup, yang menghidupkan tubuh menjadi
dinamis dan sehat, segar bugar. “Baik
hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan.”(Rm 14: 8), demikian kesaksian
iman Paulus kepada umat di Roma, kepada kita semua orang beriman. Hidup yang
adalah anugerah Tuhan pada suatu saat, sewaktu-waktu akan diambil kembali oleh
Tuhan ketika kita dipanggil Tuhan, meninggal dunia. Kiranya kita semua
mendambakan pada detik-detik terakhir hidup kita masing-masng, kita dapat
meneladan Yesus yang menyerahkan nyawa atau hidup kembali kepada Tuhan, Bapa di
sorga, antara lain dapat berdoa seperti Yesus :” Ya Bapa, ke dalam tanganMu 
kuserahkan nyawaku, hidupku”. Kita akan
mampu berdoa atau bertindak demikian itu jika dalam perjalanan hidup dan kerja
di dunia ini, dalam kelemahan dan kerapuhan serta bantuan rahmat Tuhan kita
senantiasa berusaha untuk mennyerahkan
gairah, cita-cita, harapan, dambaan, impian hidup kita kepada kehendak Tuhan, 
dengan
kata lain senantiasa berusaha untuk berbudi pekerti luhur. 

 

Berbudi pekerti luhur berarti memiliki sikap dan perilaku
yang baik dan bermoral dalam hubungannya atau relasinya dengan Tuhan, diri
sendiri, anggota keluarga, sesama/masyarakat dan bangsa serta alam sekitar. Maka
marilah kita mawas diri perihal hubungan atau relasi dengan pribadi-pribadi
maupun lingkungan hidup kita, apakah kita memiliki hubungan yang baik dan
bermoral? Apakah kita berhubungan dan berrelasi terus menerus dalam dan bersama
dengan Tuhan, sesuai dengan kehendak Tuhan, sehingga semauanya menjadi baik?
Apakah kita semakin dikasihi oleh Tuhan dan sesama manusia kapanpun dan
dimanapun?  

 

"Sudah
selesai.” (Yoh 19:30) 

 

“Sudah selesai”, itulah sabda terakhir dari Yesus yang tergantung di
kayu salib, “lalu Ia menundukkan
kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya” (Yoh 19:30),
wafat. “Dan lihatlah, tabir Bait Suci
terbelah dua dari atas sampai ke bawah dan terjadilah gempa bumi, dan
bukit-bukit batu terbelah, dan kuburan-kuburan terbuka dan banyak orang kudus
yang telah meninggal bangkit.”(Mat 27:51-52). Penyerahan Diri total, wafat
Yesus membangkitkan dan menggerakkan seluruh bumi, dan “orang-orang kudus yang 
telah meninggal dunia bangkit”. 

 

Wafat dan Kebangkitan Yesus tak
dapat dipisahkan, hanya dapat dibedakan. Suatu misteri agung: kematian yang
membangkitkan, mati satu tumbuh seribu. Dia yang taat sampai wafat di kayu
salib membangkitkan dan menggairahkan orang-orang kudus, orang-orang yang
mempersembahkan diri seutuhnya kepada Tuhan. Rasanya misteri salib ini juga
terjadi dalam hidup sehari-hari, misalnya ketika ada seseorang meninggal dunia,
maka tanpa diundang begitu mendengar saudara-saudari, sahabat-sahabat dan
kenalan-kenalan bangkit, bergegas untuk berdoa dan bersembah sujud di hadapan
yang meninggal dunia. Mungkin kita dalam keadaan letih, lesu dan tak bergairah
atau putus asa; jika demikian adanya marilah kita menatap dan memandang Yang
Tersalib, percayalah kita anda berani memandang Yang Tersalib pasti akan
digairahkan, ditegakkan sehingga anda bangkit dan bergairah dalam hidup maupun
bekerja meskipun harus menghadapi aneka tantangan dan hambatan. 

 





 

Jakarta, 10 April 2009




      Berselancar lebih cepat. Internet Explorer 8 yang dioptimalkan untuk 
Yahoo! otomatis membuka 2 halaman favorit Anda setiap kali Anda membuka 
browser. Dapatkan IE8 di sini! 
http://downloads.yahoo.com/id/internetexplorer

Kirim email ke