http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=10519:kampanye-si-dagangan-politik-&catid=78:umum&Itemid=131

      Kampanye si Dagangan Politik  
      Oleh : Drs Safwan Khayat, MHum 



      Lima tahun lalu, rakyat memilih calonnya untuk duduk di kursi legislatif.

      Sungguh sebuah kursi elitis yang bahan baku terbuat dari  suara rakyat, 
alas busa kekuasaan dan sandaran partai. Bungkusannya dilapisi kain politik 
yang diperindah dengan jahitan bordiran negosiasi. Semua mata "takjub" 
melihatnya, bukan karena indahnya tapi nilainya yang penuh ditaburi rupiah. 
Alangkah gemerlapnya bila seseorang menduduki kursi itu yang lengkap dengan 
fasilitas lainnya.

      Tak sedikit pula rekening kontan mata uang rupiah untuk mendapatkannya. 
Itu pun tak cukup, harus ditambah pula dengan rekening giro janji-janji. Giro 
janji itu ada yang berjangka 6 bulan, 12 bulan hingga periodesasi 5 tahun. Giro 
janji itu digunakan untuk perbaikan jalan, pendidikan, kesehatan hingga rumah 
ibadah. Walau ada yang giro isi, tetapi tak sedikit giro kosong alias janji 
kosong.  

      Kursi ini di beli bukan di toko mebel atau gallery perabotan, tetapi 
dengan perjuangan kekuatan dan kekuasaan. Ruang pemasaran di buka dengan 
memasang gambar wajah harap, kata pilih, doa dan dukungan. Kursi pun dipasarkan 
di arena dagang politik secara terbuka. Si penjual mulai membentangkan 
dagangannya dengan menggenggam alat pengeras suara sambil berkata lantang. 
Mereka berharap dagangan politiknya laku terjual hingga orang 
berbondong-bondong menjatuhkan sikap belinya kepada si pedagang politik. 
Sungguh nyaris sama bagaikan bang Samirin ketika menjajaki dagangannya dengan 
obralan ekonomi di pasar.

      Massa tumpah ruah di pasar politik yang telah di gelar. Kerumunan massa 
menuju titik kumpul yang telah di tentukan jadwal dan tempatnya. Beragam 
atribut berseleweran di jalanan persis seperti pawai karnaval yang mengundang 
perhatian massa. Teriakan, dan yel-yel lebur dalam sorakan ambisius tanpa 
memperdulikan keadaan sekitarnya. Jalanan macet karena dirambah padatnya 
kenderaan. Hukum lalu lintas ditabrak bias dari konvoi kenderaan aksi massa 
partai. Ada yang bergantungan di atas kenderaan mobil angkutan, pengemudi 
sepeda motor yang tak pakai helm, terobos lampu merah (traffic light), konvoi 
sambil berteriak terkesan menimbulkan sikap gaduh di jalanan dan sedikit 
mengganggu kenyamanan bagi pengguna jalan raya. 

      Kini kampanye telah di gelar dengan olahan kata yang dirangkai bagai 
puisi salju yang digerai di panggung politik. Tak satu kata yang tersisa, tak 
sedikit janji yang terucap. Tak ada kata yang berbilang semua lebur dalam 
dagangan politis yang dikerumuni massa. Orasi menjadi senjata utama guna 
meyakini produk dagangannya. Strategi, teknik dan taktik (Stratak) beragam pola 
yang penting dagangan laris terjual. 

      Terkadang  sengaja atau tidak, ucapan pembusukan atas produk lain keluar 
tanpa pengawasan. Kemampuan berorasi menjadi senjata bagi sang penjual (juru 
kampanye) menyerang lawan politiknya. Etika, norma dan adab tak lagi bertahta 
sebagai basis kekuatan moral, tetapi yang muncul kental nuansa kepentingan 
untuk menang. 

      Rangkaian kata tersusun rapi, puisi yang di cipta terucap syahdu dan 
ayat-ayat Tuhan ikut terbawa dilantunkan hikmad. Semua itu menjadi "Stratak" 
yang direncanakan secara sistematis dan matang.

      Kampanye bagian dari strategi mendulang suara. Ada yang digelar rapat 
umum atau kampanye terbuka, ada bentuknya tersembunyi dengan memberikan bantuan 
dengan pola dan jenis material tertentu. Kampanye metode dagangan politik 
dengan rekayasa modus yang disesuaikan dengan situasi. Berjuta uang habis 
terpakai, beribu orang turun ke jalan, beragam pola dilakukan demi mengejar 
setitik kepuasan. Berjuta janji terucap, berjuta harap pula di benak rakyat. 
Politisi tebar peduli, rakyat terpikat hati. Politisi mendapat kursi, rakyat 
terus menanti janji. 

      Kampanye bukanlah tujuan tetapi metode menuju tujuan. Kampanye hendaknya 
jangan melukai dan menyakitkan sebab perilaku itu melemahkan persatuan. 
Sampaikan yang benar walau tajam tapi tak melukai. Ajarkanlah rakyat berpolitik 
tanpa berniat mencabik-cabik. Politisi butuh suara, rakyat butuh murahnya 
harga. Politisi butuh kursi, rakyat minta bukti janji.
      Hindari politik bagaikan membeli buah kuweni. Buah di pilih, di tekan dan 
di cium. Andai tak harum maka terbuanglah ia, jikalau harum maka dibeli buah 
itu. Bisa jadi, buah harum manis jika di buka isinya kelihatan busuk dan 
berulat. Terkadang buah yang di luar tajam kulitnya justru laris terjual yakni 
bagaikan buah durian dengan kulit yang tajam tetapi diminati banyak orang.

      Gambaran buah ini tidak menjamin seseorang menyukainya. Bias jadi ada 
orang yang doyan kuweni, malah tidak suka bau durian apalagi memakannya. Tetapi 
cukup banyak pengagum durian walau kulitnya tajam melukai tangan. Jika buah itu 
matang dan andaikan rusak, tak ada durian busuk, yang ada durian asam. Tak ada 
kuweni asam, tetapi yang banyak kuweni busuk. 
      Agar tidak dapat buah yang asam dan busuk, pilihlah dengan cermat, teliti 
dan gunakan rasio memilih. Berkampanye tetap menjaga persatuan dengan 
memperkuat saling menghargai, menghormati dan tidak menyakiti. Harapan kita 
kualitas Pemilu tahun 2009 ini menghasilkan kualitas politisi yang beradab. 
Semoga..!!***

      *Penulis, Alumni SMA Negeri 1 Medan, Alumni dan Dosen UMA, Alumni Pasca 
Sarjana USU Medan, , Email; safwankhayat@ yahoo.com. 
Website:http//Selalukuingat. blogspot.com
     

Kirim email ke