Kebahagiaan Bukan Kapitalisme (Materialisme) Tapi Iman Pahala Kaya belum tentu bahagia, apalagi miskin dimana suami pengangguran terpaksa isteri nyeleweng; demi mempertahankan kebahagiaan terpaksa isteri sendiri halal dibunuhnya.
Tapi banyak ulama berpendapat bahwa hidup miskin lebih bahagia daripada hidup dengan kaya raya. Tapi satu hal yang sudah jelas, bahwa kehidupan para ulama ditunjang oleh sadaqoh dari mereka yang kaya raya dan bukan dari mereka yang miskin. Saya pribadi merasa bukanlah orang kaya, tapi kalo saya berkunjung ke kampung halaman saya di Indonesia, para ulama menganggap saya adalah orang yang kaya raya dan mereka sangat menghormati diri saya. Meskipun saya ini termasuk yang dianggap kaya raya, tetapi hidup saya bahagia, padahal para ulama di Indonesia selalu mengkhotbahkan bahwa kekayaan akan membawa penderitaan. Justru saya ini sebaliknya, sudah banyak sekali harta kekayaan saya berhasil mengurangi penderitaan. Dengan banyak menolong orang miskin saya makin merasa bahagia, karena begitu banyaknya orang yang mendambakan harta kekayaan saya, maka saya bertekad untuk menjadi lebih kaya lagi sehingga lebih banyak lagi orang2 miskin yang bisa saya tolong. Sayangnya, para ulama selalu mengutuki orang2 kaya seperti saya padahal mereka kehidupannya ditunjang dari orang2 kaya seperti saya. Padahal saya menjadi kaya karena jerih payah saya yang jujur. Anehnya para ulama aliran MUI malah memuji para pelaku yang menjarah harta benda orang2 miskin dari sesama Islam aliran Ahmadiah, alasannya karena mereka merusak akidah Islam. Padahal harta benda orang2 miskin itu khan enggak ada kaitannya dengan akidah Islam, kaitannya justru dengan kerja banting tulang mereka selama hidup ini. Tapi memang, para ulama tidak pernah dipercaya masyarakat, meskipun khotbah dan azan berdengung setiap saat, dalam hati masyarakat selalu mengutuk mereka. Hasilnya bisa anda buktikan dari angka2 pemilu dimana para ulama makin dijauhi masyarakatnya sendiri. Mengumpulkan materi tidak boleh sikut menyikut, mungkin maksudnya menjarah itu bukanlah sikut menyikut. > Erwin Arianto <erwinaria...@...> wrote: > Saya Bahagia!!! > menikmati semua yang saya terima dari > Tuhan YME, tidak ada masalah yang > menghinggapi sampai saat ini, bisa > Kita dalam mengejar suatu impian untuk > malah kita sering lupa bahwa kebahagiaan > kapitalisme dan materalisme kehidupan > selalu mengukur sebuah kebahagian > dengan keberhasilan Mengumpulkan Materi > yang banyak, sehingga orang dengan > kejam saling sikut untuk mendapatkanya. > Saya jadi ingat teman baik saya yang meskipun miskin hidupnya sebagai petani, namun karena bekerja keras masih bisa berkecukupan. Suami isteri bekerja keras, dan anak2nya giat bersekolah. Bukan cuma kehidupan duniawinya saja yang diabdikannya sekeluarga, tapi juga dunia spiritualnya sangatlah kuat, shalat 5 waktu tak pernah telat dan dilakukan semuanya sekeluarga dimana suami isteri dengan 6 orang anak2nya. Sang suami tak pernah lupa shalat setiap jum'at dimesjid didekar rumah mereka. Hubungan tetangga dan saudara2 sangat baik. Disuatu hari Jum'at dimana seluruh kampung sedang shalat Jum'at, mendadak datanglah serombongan orang2 bersorban sambil membawa golok, pedang, dan klewang mereka meneriakkan "Allahu akbar", dan dengan ganasnya mereka masuk dari rumah ke rumah, merusak kunci pintunya, membongkar lemari2nya, mengambili semua uang, sepeda, motor, dan apapun yang bisa dibawa mereka. Mobil2 dihancurkan, ada beberapa gadis diseret ke-semak2 diperkosa rame2 oleh umat yang bersorban sambil yang lain menjaga disekitarnya. Rombongan lainnya menyerbu ke mesjid dimana masih banyak orang2 yang bershalat Jum'at. Para umat yang menghalangi dipukul kepalanya hingga ber-darah, bahkan imam mesjid disabet klewang lehernya sehingga luka dengan darah bercucuran. Sebagian umat menolong sang imam untuk dilarikan kerumah sakit. Polisi dipanggil untuk minta pertolongan, ternyata polisi memang datang tapi sama sekali tidak mencegah kejadian rusuh ini, para polisi hanya ber-jaga2 saja. Sementara itu para pelaku yang beringas setelah menjarah mereka membuka berbagai poster, antara lain berisi tulisan2 "Ahmadiah bukan Islam", "Ahmadiah tidak boleh mengaku Islam", "darah Ahmadiah diHalal-kan", "Usir orang2 Ahmadiah", "Ahmadiah merusak akidah Islam", "Ahmadiah Islam Palsu", "Ahmadiah buatan Setan"..............dlsb. Akhirnya datang pasukan tentara, para korban di evakuasi dan dipindahkan kesuatu tempat yang dinamakan sebagai camp pengungsi. Marilah kita renungkan, betapa bahagianya para penjarah itu selain mendapatkan pahala juga bebas dari dosa karena semuanya dilakukan atas nama Allah. Siapakah yang berhak menikmati kebahagiaan ilahi ini? Hasil jarahan memang untuk konsumsi duniawi, tapi nilai dibelakangnya adalah pahala yang bisa dibawa mati untuk masuk kesorga. Para pelakunya tetap melakukan operasi dari satu kampung ke kampung lain. Beberapa wartawan yang ingin mendapatkan berita dipukuli, diancam kalo sampai masuk ke media maka halal untuk dibunuh. Setelah kejadian berlalu lebih dari 10 bulan barulah mulai ada beritanya dibeberapa media. Namun kantor berita media tsb menerima surat ancaman resmi dari MUI, katanya berita yang ditulis itu bohong dan akan memancing kemarahan umat. Sementara itu diluar negeri beritanya sudah menggemparkan, beberapa negara kapitalisme dan materialisme malah mengirimkan bantuan ala kadarnya karena terhambat UU negara yang melarangnya. Yaaa..... Pelaku2nya pasti bahagia, tetapi bagaimana yang jadi korban? Mungkin harus berlapang dada menganggapnya sebagai cobaan dari Allah yang sama. Jadi bagaimana menilai sebuah kebahagiaan tentu saya serahkan saja kepada anda2 sekalian karena pada kenyataannya kebahagiaan itu hanya punya satu sisi bukan dua sisi, apalagi dikaitkan dengan kebahagiaan dalam arti keimanan dimana kedua pihak beriman sama2 tingginya tetapi yang satu jadi korban penjarahan sedangkan pihak lawannya malah jadi penjarahnya. Apakah keduanya bisa sama2 bahagia ??? Mungkin Allahnya saja yang berbahagia. Ny. Muslim binti Muskitawati.