http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=4443

2009-02-09 
Kenetralan Militer, Sebuah Keniscayaan


Oleh Peneliti LIPI, Jaleswari Pramodhawardani



Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tentang netralitas TNI 
menuai hujan kritik. Banyak pihak yang menilai bahwa ini adalah bentuk 
kepanikan dan kekhawatiran Presiden SBY yang berlebihan tentang posisi TNI di 
ajang Pemilu 2009 nanti. Sehingga tidak heran, akhirnya media mengembangkannya 
ke dalam spekulasi-spekulasi politik, terutama menyangkut posisi TNI dalam 
keter- libatannya dalam politik pada Pemilu 2009. 

Pertanyaannya, mengapa pernyataan tersebut menuai hujan kritik? Apakah wacana 
sipil-militer di Indonesia belum selesai? Betulkah ini wujud kepanikan Presiden 
SBY dalam menyelamatkan kedudukannya?

Jauh sebelum peristiwa itu, sebenarnya Presiden, baik di forum TNI maupun 
kalangan sipil, selalu menegaskan netralitas TNI. Setidaknya kita bisa melihat 
dalam dua peristiwa yang berdekatan. 

Pertama, di Istana Negara pada awal Desember 2007, Presiden menyatakan bahwa 
siapa pun yang menjadi presiden dan wakil presiden tidak tepat untuk minta 
dukungan TNI/Polri, karena TNI/Polri bersikap netral dan tidak berpihak dalam 
pemilu. Sebaliknya, ia juga menekankan agar TNI/Polri tidak bermain politik. 

Peristiwa kedua, ketika upacara peringatan HUT ke-63 TNI pada 14 Oktober 2008 
di Markas Komando Armada Timur TNI Angkatan Laut, Surabaya. Di sana, Presiden 
mengingatkan bahwa menghadapi Pemilu 2009, ia telah menginstruksikan kepada 
seluruh prajurit TNI agar tetap memegang teguh komitmen netralitas, serta tidak 
terlibat dalam politik praktis. Ia juga menggarisbawahi, bahwa loyalitas TNI 
adalah tegak lurus hanya kepada bangsa dan negara, melalui kebijakan dan 
keputusan politik pemerintah yang sah. Bahkan dalam pidatonya, Presiden juga 
mengaitkan netralitas TNI dengan kedudukan Indonesia sebagai negara demokrasi. 
Pemerintahan boleh berganti setiap lima tahun, tetapi loyalitas TNI tidak boleh 
goyah dan berubah. Karenanya, memegang teguh doktrin TNI dan tidak sekali-kali 
menodai dan mencederainya adalah sebuah keniscayaan. TNI adalah satu-satunya 
milik nasional yang tetap dan tidak pernah berubah.



Reaksi Normal

Jika melihat pernyataan di atas, tentunya kita tidak meragukan komitmen 
Presiden terhadap netralitas TNI. Namun pernyataannya beberapa waktu lalu agak 
berbeda dibanding dengan pernyataan terdahulu. Setidaknya, Presiden memberikan 
contoh yang mengindikasikan adanya oknum petinggi TNI AD dan Polri yang masih 
melakukan tindakan yang mengarah kepada ketidaknetralan TNI/Polri, yakni dengan 
melempar isu "Asal Bukan Capres "S" dan membuat tim sukses capres tertentu. 

Saya tetap melihat bahwa apa yang dikemukakan Presiden masih dalam bentuk 
reaksi normal terhadap sebuah informasi yang diterimanya dan bagian dari 
peristiwa politik biasa yang jauh dari apa yang media kemukakan sebagai bentuk 
kepanikan dan kekhawatiran yang berlebihan. Bahkan, saya melihat informasi 
tersebut sebagai bentuk tanggung jawab dan komitmen Presiden atas semua 
pernyataan politiknya selama ini. 

Namun, saya tetap menyayangkan andaikata informasi tersebut bukanlah sebuah 
fakta, namun "gosip" semata. Setidaknya hal itu bisa kita lihat dari pernyataan 
Presiden yang tidak secara tegas menyebut para pelakunya dan mekanisme 
pembuktian yang dilakukannya. 

Kalaupun sekadar "terpeleset lidah", Presiden harus menjelaskan hal itu kepada 
publik, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas isu yang dilemparkannya ke 
publik. Apalagi, isu tersebut dikemukakan di tengah pernyataan serius tentang 
pernyataan politiknya, karena pernyataan tersebut mempunyai implikasi yang 
tidak sederhana di lapangan. 

Setidaknya ada tiga hal yang bisa dicermati dari isu tersebut. Pertama, akan 
timbul rasa curiga di kalangan internal TNI/Polri terhadap oknum yang tidak 
jelas identitasnya itu. Kondisi ini bisa berpengaruh pada soliditas dan 
loyalitas kinerja mereka dalam melaksanakan tugas di lapangan. Kedua, bagi 
oknum petinggi TNI/Polri yang merasa tertuduh, namun tidak dapat dibuktikan 
kesalahannya, akan memunculkan rasa ketidaksukaan mereka kepada Presiden. Hal 
ini akan berkaitan dengan mata rantai komando yang dipegangnya dan loyalitas 
terhadap Presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus panglima tinggi TNI. 

Ketiga, bagi masyarakat sipil, pernyataan tanpa klarifikasi ini akan 
menimbulkan pemahaman bahwa janji TNI untuk tetap netral hanyalah omong kosong 
belaka. Hal ini akan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap upaya yang telah 
dilakukan TNI yang berniat menjadi TNI yang profesional sesuai amanat UU.

Namun, saya tetap percaya bahwa TNI akan tetap netral dalam Pemilu 2009. 
Setidaknya ada tiga indikator yang membuat TNI tetap netral. Pertama, adanya 
perangkat kebijakan yang mengatur tentang larangan TNI untuk berpolitik 
praktis, sehingga netralitas terjaga. Kedua, Panglima TNI Jenderal TNI Djoko 
Santoso dalam berbagai pidatonya juga menegaskan hal yang sama, seperti saat ia 
masih menjabat KSAD. Dalam amanatnya pada HUT ke-63 TNI, Djoko Santoso 
menegaskan reformasi adalah proses yang tiada akhir bagi TNI. Karenanya, 
reformasi internal TNI akan terus dilakukan menuju kesempurnaan, yakni mencapai 
postur TNI yang solid, profesional, tangguh, modern, berwawasan kebangsaan, 
disegani lawan, mencintai dan dicintai rakyat, sehingga mampu mengemban sebagai 
komponen utama pertahanan negara. 

Ketiga, sikap TNI sendiri hingga kini masih netral. Hal itu tercermin pada 
polling terhadap 100 anggota TNI dan 100 kalangan sipil melalui metode 
wawancara, fokus grup diskusi, dan kuesioner, dengan menggandeng beberapa 
kalangan, termasuk Pusat Studi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (Pusdi HAM) 
Surabaya. 

Terkait netralitas TNI, masyarakat sipil harus melakukan pengawasan dan kontrol 
demokratis. DPR dan masyarakat sipil akan menagih janji Presiden dan Panglima 
TNI untuk menjaga netralitas TNI. 

Dalam konteks reformasi TNI di bidang perpolitikan, netralitas TNI harus 
dilihat sebagai bagian kebijakan menyeluruh reformasi TNI yang telah dimulai 
sejak 1998, ketika TNI mulai mencanangkan paradigma baru TNI, termasuk terhadap 
tiga agenda reformasi TNI yang belum terselesaikan, yakni tentang bisnis TNI, 
peradilan militer dan peningkatan kesejahteraan. Semoga Presiden SBY bisa 
memenuhi janji dan komitmen politiknya. Kita tunggu saja. *

Kirim email ke