Kesadaran kolektif (Collective conciousnes and collective awareness) harus
dipisahkan terminologinya. Di Indonesia dari generasi ke generasi hanyalah ada
pada kesadaran rendah. Baik kesadaran politik, bernegara dan bermasyarakat atau
bahkan kesadaran beragama. Generasi tua hanya mengandalkan kampanye (politik),
orasi dan bentuk bentuk penyadaran yang artifisial dan miskin makna. Kesadaran
tinggi hanya didapat dari kedalaman penjiwaan dan kejiwaan bahkan dapat
mencapai dimensi TUHAN dalam proes refleksinya. Perlu diadakan
perhitungan/penghisaban kapasitas negara yang holistik baik aspek kapasitas
kemanusiaan, kebudayaan dan potensi kepemimpinan peradaban. Yang tujuannya
memberi arah yang dan tujuan yang pasti akan masa depan. Pemimpin negara harus
terus meng"engcourage" agar semua dapat berhitung secara bersama-sama
dan proporsional. Kegagalan dan keabsurdan kebijakan negara selama ini karena
kelernahan kapasitas berhitung dalam makna yang hakiki
tadi seara kolektif. Sebagai ilustrasi memberi makanan mie kepada saudara kita
di papua dan kebijakan sejenis sering terjadi. Kesadaran bersama/kolektif ini
dimulai dari proses berhitung secara benar dalam kehakikian. Konflik yang ada
dan akan ada haruslah menjadi "Creative Distrution" kekacauan/krisis yang
menstimulus kreatifitas yang juga hakiki sebagai bangsa. Selama ini
kekacauan/krisid saja yang ada tanpa atau nir kretifitas. Politik bukanlah
lahan antagonistik tetapi lahan bagi yang "terbaik" dalam segala aspek.
Kesadaran tinggi didapat dengan memberi dan menerima pengalaman kehakikian dan
bukan sekedar kampanye rendahan dengan slogan idealitas pembanguan yang tradisi
jahiliyah ini masih dipegang oleh generasi terdahulu.
Resume dikusi kepemimpinan kaum muda "Sayembara kepemimpinan SOSPOL" di
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (almamaterku) Depok 6 November 2008.
Terima kasih buat Dony Gahral (Filsafat) dam Ibnu Hamad (Komunikasi).
Dari Harry Samputra Agus (alumni HUKUM) yang insyaAllah siap menjadi presiden
RI mendatang.