Ketidakjujuran Parpol soal Dana Kampanye 






APApun ideologinya—sosialisme,liberalisme, konservatisme, nasionalisme, 
marhaenisme, islamisme—jika terkait soal dana kampanye, tingkah laku 
partai-partai politik (parpol) di Indonesia sama saja. 


Tidak mau terbuka, kalau tidak dapat dikatakan tidak jujur. Sampai batas akhir 
waktu penyerahan laporan awal dana kampanye, Senin (9/3), belum ada satu parpol 
pun yang memberikan laporan awal dana kampanye yang memenuhi syarat sesuai 
Peraturan KPU No 1/2009 (SINDO, 9/3). Ini juga bertentangan dengan UU No 
10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, khususnya Pasal 129 
ayat (7). 

Ayat itu menyatakan ”Pembukuan dana kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud pada 
ayat (6) dimulai sejak 3 (tiga) hari setelah partai politik ditetapkan sebagai 
peserta pemilu dan ditutup 1 (satu) minggu sebelum penyampaian laporan 
penerimaan dan pengeluaran dana kampanye kepada kantor akuntan publik yang 
ditunjuk KPU.

” Tengoklah saldo awal yang dimiliki parpol yang dilaporkan ke KPU.Partai 
Gerindra merupakan yang terbesar, Rp15,695 miliar, disusul Partai Demokrat 
Rp7,027 miliar, PKS Rp6,088 miliar, Partai Hanura Rp5 miliar, dan PPP Rp1,63 
miliar. Lalu PKB Rp1,543 miliar,PDIP Rp1,001 miliar, Partai Barisan Nasional 
dan Partai Patriot masingmasing Rp1 miliar. Kemudian PDS Rp900 juta, PAN Rp743 
juta, PBR Rp340 juta,Partai Golkar Rp156 juta, dan yang terkecil Partai PNI 
Marhaenisme,Rp670.000. 

Mengenai saldo, apa pun posisinya, sesuai aturan hukum parpol harus memberikan 
informasi berapa jumlah sumbangan dari para individu yang masing-masing tak 
boleh lebih dari Rp1 miliar per individu dan dari perusahaan yang tak boleh 
melebihi Rp5 miliar per perusahaan, dari siapa pula sumbangan itu diberikan 
(Pasal 131 ayat (1),ayat (2) dan ayat (3)). Dari saldo itu orang akan 
bertanya-tanya,apakah angka yang diberikan partai-partai politik itu akurat, 
serius, atau main-main—asal ada laporan keuangan semata.

 

Mari kita hitung secara serius tapi santai, berapa jumlah pengeluaran 
partaipartai politik untuk belanja iklan kampanye? Dari data AC Nielsen saja 
secara kumulatif belanja iklan pemerintah dan partai-partai politik naik 66% 
dari Rp1,327 triliun pada 2007 menjadi Rp2,208 triliun pada 2008. Jika 
partai-partai politik, calon anggota legislatif, atau bakal calon (balon) 
presiden memasang iklan di televisi lokal, seperti Bali TV,GTV,Banten 
TV,Semarang TV,dan sebagainya, per spotyang berdurasi 30 detik biayanya 
Rp300.000. 

Kalau di satu stasiun televisi lokal, partai/individu memasang lima kali 
sehari,angkanya sudah mencapai Rp1,5 juta per hari. Kalau memasang iklannya di 
televisi nasional, angkanya sangat fantastis, antara Rp16 juta sampai Rp20 juta 
per spot! Hitung saja pengeluarannya jika dia memasang di lima stasiun televisi 
nasional yang per harinya mencapai 5–10 spot, lalu kalikan dengan 30 hari per 
bulan! Kalau memasang iklan di radio Jakarta agak murah,yaitu antara 
Rp125.000–250.000 di satu radio per spot.

Untuk radio lokal bisa lebih murah lagi, sekitar Rp1,5 juta per bulan, yang 
termurah. Jika partai atau calon presiden memasang iklan di koran Ibu Kota, 
yang termahal bisa mencapai Rp200 juta per halaman sekali pasang. Hitung juga 
berapa biaya belanja iklan jika partaipartai politik memercayakan pembuatan dan 
pemasangan iklannya kepada perusahaan periklanan dalam bentuk total 
communications, yaitu berupa billboard, radio, media cetak, program televisi, 
baliho, poster, sosialisasi ke daerah, dan sebagainya.Angkanya bisa mencapai di 
atas Rp10 miliar. 

Jika dilakukan oleh konsultan politik, bisa mencapai ratusan miliar rupiah yang 
mencakup survei,konsultasi, dan pemasangan iklan.Beberapa lembaga survei 
ditengarai tidak lagi melakukan survei secara independen, melainkan bagian dari 
konsultasi politik. Apa yang digambarkan di atas baru belanja iklan partai. 
Bagaimana pula belanja iklan pemerintah yang dapat dikategorikan iklan 
terselubung yang dikemas dalam iklan layanan masyarakat,seperti Program 
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang dikelola Kantor Menko 
Kesra, atau acara kuliah subuh bersama Menteri Negara Pemuda dan Olahraga..

 

KPK dan Bawaslu harusnya mencermati berbagai iklan parpol dan pemerintah itu 
serta dari mana dananya. Kalau terbukti ada pelanggaran, tanpa pandang bulu 
harus ada tindakan hukum. 

Bribes and Kickbacks 

Dalam politik berlaku premis ”There is no Free Lunch,” alias tidak ada makan 
siang gratis. Bantuan atau sumbangan kampanye politik, baik dari perseorangan, 
kelompok, perusahaan, dan/ atau badan usaha nonpemerintah tidak mungkin 
”bersifat tidak mengikat” seperti termaktub dalam Pasal 130 UU No 10/2008. 

Orang menyumbang pasti ada tujuan politik, hukum, atau ekonominya, seperti 
untuk posisi politik, posisi di jajaran birokrasi, posisi di perusahaan milik 
publik, untuk keuntungan ekonomi semisal tender proyek jika yang disumbang 
menang mendapatkan perlindungan hukum dan sebagainya. Sebagian bentuk sumbangan 
kampanye itu dapat dikategorikan sebagai bribes and kickbacks, yaitu 
kedekatannya dengan kekuasaan dapat menyebabkan orang, kelompok, atau 
perusahaan melakukan praktik korupsi. 

Awalnya mereka memberi umpan terlebih dulu melalui sumbangan kampanye, 
belakangan mereka meminta konsesi ekonomi, dukungan politik, atau perlindungan 
hukum dari mereka yang disumbang, baik yang mendapatkan kursi di eksekutif atau 
pun legislatif. Karena itu naif jika kasus korupsi hanya menyudutkan anggota 
DPR dan kurang terfokus pada pejabat tinggi atau tertinggi negara. Indonesia 
Corruption Watch (ICW), Transparency International,KPK,Bawaslu, PPATK, harus 
jeli memantau apakahpraktik bribesandkickbacksjuga terjadi pada Pemilu 2009 
ini? 

Apa mungkin juga terjadi adanya transfer uang dari perorangan, kelompok, 
badan-badan nonnegara atau institusi negara asing, yang membantu satu atau 
beberapa kandidat presiden? Kita juga pasti akan menemukan 
kejanggalan-kejanggalan yang menggelikan seperti pada Pemilu 2004,yaitu 
seseorang yang sepatutnya mendapatkan dana bantuan langsung tunai (BLT) justru 
tercatat sebagai penyumbang partai dengan dana yang aduhai besarnya! Semua itu 
terjadi karena partai-partai politik tidak mau mengungkap jati diri para 
penyumbang yang sesungguhnya.

 

Bukan mustahil di antara penyumbang besar itu adalah mereka yang ”merampok” 
uang negara dengan tidak membayarutang-utangnya kepada bank-bank pemerintah 
dan/atau masih tersangkut kasus BLBI.Adalah tidak adil dan merupakan kejahatan 
politik jika para konglomerat hitam itu kemudian mendapatkan ”karpet merah”ke 
Istana Merdeka dan Istana Negara ketika salah satu pasangan yang mereka sumbang 
terpilih menjadi presiden dan wakil presiden.(*) 

IKRAR NUSA BHAKTI 
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI 
 
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/219718/38/


 
http://media-klaten.blogspot.com/
 
http://groups.google.com/group/suara-indonesia?hl=id
 
salam
Abdul Rohim


      

Kirim email ke