Ketika Saat Ajal Menjemput!

      
---------------------------------
  
  Suatu saat seorang Thera bernama Tissa tinggal di Savatti. Pada suatu hari, 
ia menerima seperangkat jubah yang bagus dan merasa sangat senang. Ia bermaksud 
mengenakan jubah tersebut keesokan harinya. Tetapi pada malam hari ia meninggal 
dunia. 
  Karena melekat pada seperangkat jubah yang bagus itu, ia terlahir kembali 
sebagai seekor kutu yang tinggal di dalam lipatan jubah. Karena tidak ada orang 
yang mewarisi benda miliknya, diputuskan bahwa seperangkat jubah tersebut akan 
dibagi bersama oleh bhikkhu-bhikkhu yang lain. 
  Ketika para bhikkhu sedang bersiap untuk membagi jubah di antara mereka, si 
kutu sangat marah dan berteriak, "Mereka sedang merusak jubahku!" Teriakan ini 
didengar oleh Sang Buddha dengan kemampuan pendengaran luar biasa Beliau. Maka 
Beliau mengirim seseorang untuk menghentikan para bhikkhu, dan memberi petunjuk 
kepada mereka untuk menyelesaaikan masalah jubah itu setelah tujuh hari. Pada 
hari ke delapan, seperangkat jubah milik Tissa Thera itu dibagi oleh para 
bhikkhu. 
  Kemudian Sang Buddha ditanya oleh para bhikkhu, mengapa Beliau menyuruh 
mereka menunggu selama tujuh hari sebelum melakukan pembagian jubah Tissa 
Thera. Kepada mereka, Sang Buddha berkata, 
  "Murid-murid-Ku, pikiran Tissa melekat pada seperangkat jubah itu pada saat 
dia meninggal dunia, dan karenanya ia terlahir kembali sebagai seekor kutu yang 
tinggal dalam lipatan jubah tersebut. Ketika engkau semua bersiap untuk membagi 
jubah itu, Tissa, si kutu akan merasa sangat membencimu dan ia akan terlahir di 
alam neraka (niraya). Tetapi sekarang Tissa telah bertumimbal lahir di alam 
dewa Tusita, dan sebab itu, Aku memperbolehkan engkau mengambil jubah 
tersebut.” 
  "Sebenarnya, para bhikkhu, kemelekatan sangatlah berbahaya, seperti karat 
merusak besi di mana ia terbentuk, begitu pula kemelekatan menghancurkan 
seseorang dan mengirimnya ke alam neraka (Niraya). Seorang bhikkhu sebaiknya 
tidak terlalu menuruti kehendak atau melekat dalam pemakaian empat kebutuhan 
pokok."

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 240 berikut : 
  Bagaikan karat yang timbul dari besi,
  bila telah timbul akan menghancurkan besi itu sendiri,
  begitu pula perbuatan-perbuatan sendiri yang buruk
  akan menjerumuskan pelakunya 
  ke alam kehidupan yang menyedihkan.
  
  [sumber: Kisah Tissa Terra, Dhammapada, Mala Vagga(Noda-noda)]
    
---------------------------------
  
  Kisah Tissa Thera di atas sungguh merupakan kisah yang mengesankan! 
  Aku menduga (mungkin lebih tepatnya menuduh!) bahwa Tissa Thera dahulunya 
bukanlah seorang yang kaya raya! Sebuah baju bagus tidak akan menggerakan 
seorang seperti Aburizal Bakrie ataupun seorang Bill Gate yang tajir abis itu!
  Tidak hanya baju bagus, terkadang baju lama yang biasa-biasa pun dapat 
menimbulkan rasa sayang yang berlebihan ketika si pemakai merasa nyaman 
memakainya.
  Kemelekatan dan perasaan sayang/menyukai yang berlebihan tidaklah mengenal si 
kaya atau miskin, berkuasa atau tidak. Buktinya, banyak anggota Dewan terhormat 
dan pejabat-pejabat negeri ini terkapar di bawah selangkang dan/atau suapan 
materi yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. 
  Kemelekatan hanya mengenal nafsu keinginan sebagai satu-satunya sahabat 
karib. Waktu bukanlah sparing partner untuk uji konsistensi dan komitmen. 
Lamanya waktu untuk mempertahankan konsistensi dan komitmen adalah relative 
bagi setiap mahluk.
  Saat belum menjadi seorang Bikkhu, Tissa Thera mungkin saja merasa bahwa 
kesempatannya untuk merubah keberuntungan dan kesejahteraan dalam hal materi 
adalah sangat kecil terjadi di kehidupannya itu. Saat Ia mengenal Buddha dan 
ajarannya, mungkin saja Ia melihat bahwa menjadi Bikkhu merupakan sesuatu 
peluang yang menguntungkan baginya. 
  Toh, selama ini Ia bukanlah seorang yang berpunya jadi apa lagi yang 
memberatkannya? Ia mungkin saja berharap bahwa tindakan menjadi Bikkhu paling 
tidak akan mengamankan posisinya kelak dikelahiran kembali, yaitu ketika gagal 
mencapai Nirwana maka kelahiran berikutnya tidak lebih buruk lagi daripada 
menjadi seorang Manusia
  Namun kecerobohan pikiran sesaat menjelang ajal menjemput membuatnya malah 
lahir kembali sebagai seekor kutu! 
    
---------------------------------
  
  Pertolongan sang Buddha-lah merupakan faktor terpenting yang menyebabkan si 
kutu tidak jadi masuk Neraka dan malah terlahir kembali di alam Tusita. 
  Di alam Tusita, panjangnya usia Dewa adalah 576 juta tahun manusia. Di mana 
400 tahun manusia (360 hari) adalah setara dengan 1 hari di alam Dewa Tusita, 
dan Dewa-dewa itu hidup selama 4000 tahun di alam Tusita. [A.i.214; iv.261; 
A.i.213; iv.253] 
  Kita mungkin berkata bahwa 7 (tujuh) hari melakukan komitmen adalah sebentar 
apabila dibandingkan dengan seumur hidup kita (misal: tujuh puluh tahun) tapi 
bagi seekor kutu seperti pada kisah di atas, maka 7 (tujuh) hari sudah berarti 
seumur hidup!
  Misalkan si kutu di atas mempunyai karma perbuatan yang mengakibatkan ia 
selalu terlahir kembali sebagai seekor kutu sebanyak 3600 kali maka itu adalah 
setara dengan Ia dilahirkan kembali sebagai manusia dengan cukup hanya 1 kali 
saja! 
  Nah, bandingkan dengan keuntungannya apabila dilahirkan menjadi Dewa alam 
Tusita! 7 (tujuh) hari bagi mahluk yang berusia 576 juta tahun adalah setara 
dengan ± 2800 tahun bagi manusia!
  Tissa Thera yang akhirnya terlahir menjadi Dewa di alam Tusita setidaknya 
sudah ’menghemat’ 8.2 juta kali kelahirannya kembali sebagai manusia atau 
29.6 milyar kali kelahirannya kembali lagi sebagai kutu! 
  Saat ini, Sang Buddha sudah tidak ada lagi di dunia, tidak ada lagi 
pertolongan yang didapat seperti pada kisah Tissa Thera di atas. Namun demikian 
ucapan sang Buddha masih terekam utuh sampai dengan saat ini. Jadi, kita 
tidaklah sepenuhnya ditinggalkan sendirian. 
  Tissa Thera yang sekarang ada di alam Tusita dan juga Kita masih punya 
kesempatan! Kita-lah yang dapat menolong diri kita sendiri dengan penuh 
kewaspadaan menjaga konsistensi pikiran dan perbuatan kita!. 
  Hitung-hitungan waktu ala ‘glodok’ tersebut di atas tidak menyatakan hal 
lain kecuali keuntungan waktu relative atas buah perbuatan kita sendiri. 
  Bukan lamanya waktu yang diperlukan namun waktu yang singkat yang diwaspadai. 
  Tidak ber-preferensi terhadap apapun untuk waktu sejenak dua jenak adalah 
suatu hal yang mudah, mempertahankan konsisten berprilaku untuk seumur hidup 
bukanlah hal yang mudah, namun mewaspadai gerak pikiran sungguhlah suatu hal 
yang sulit!
  Ucapan Sang Buddha di kisah Tissa Thera di atas sudah menjelaskan satu 
petunjuk penting, yaitu pikiran yang melekat saat ajal menjemput! 
  Waspadalah! Waspadalah! Waspadalah! Waspadalah!
    
---------------------------------
  
--
Posted By [Wirajhana eka] to Pojokan Wirajhana at 8/07/2008 09:55:00 PM
  http://wirajhana-eka.blogspot.com/2008/08/ketika-saat-ajal-menjemput.html

       

Kirim email ke