Resensi Buku :Kholifah Bumi, Guru Mursyid sebagai Bapak Ruhaniyah
Pengarang : Muhammad Luthfi Al Ghozali
Penerbit : Abshor, Semarang
http://ponpesalfithrahgp.wordpress.com
Tahun :2007
Halaman : xx + 560. 14 x 20
Peresensi : Ferry Djajaprana
Pertama kali saya membaca sampul buku "Kholifah Bumi" atau dalam
Bahasa Arabnya yang sering ditulis dalam Al Quran "Khalifah Fi Al Ardh"
saya menduga isinya akan bercerita tentang hakikat manusia sempurna atau
Insan Kamil yang biasa dibahas oleh Syeikhul Akbar Ibnu Arabi, salah
seorang Sufi yang memiliki ekspresi spiritualitas dan intelektualitas yang
tinggi yang pembahasannya membuat pembacanya mengernyitkan dahi karena term
filsafat ataupun ekspresi sufistiknya menggunakan bahasa yang melambung
dan komplek. Namun, prasangka saya dibuatnya kecele karena yang dibahas
oleh Muhammad Luthfi Ghozali "Kholifah Bumi, Guru Mursyid Sebagai Bapak
Ruhaniyah" adalah kholifah dalam arti kata yang sesungguhnya sebagai peran
utama dalam pembahasannya dengan bahasa yang sederhana dan membumi sehingga
bisa diterapkan oleh para pencari atau pejalan spiritual yang sedang menuju
Allah (Salik) sebagai bahan acuan.
Untuk menyamakan persepsi judul buku tersebut saya langsung
menghubungi Sang Penulis dan mendapat konfirmasi bahwa yang dimaksud
Kholifah Bumi memang Sang Insan Kamil atau manusia sempurna.
Berbicara tentang manusia, manusia harus diperlakukan sebagai
standar penilaian bagi umat manusia yang lain. Secara historis, manusia
selalu mencari yang namanya manusia sempurna, dan manusia sempurna yang
dicari tersebut bisa saja berupa tokoh terkenal dalam sejarah, tokoh
legendaris ataupun tokoh spiritual. Kita dapat mengatakan bahwa yang
mendasari manusia mencari Manusia Sempurna adalah keinginan manusia itu
sendiri terhadap kesempurnaan, keterbatasan pencarian, dan adanya kesamaan
dengan Tuhan atau untu menghindarkan diri dari kelemahan dirinya.
Buku ini penting sebagai solusi bila dihubungkan dengan krisis
global, yang telah melahirkan krisis-krisis baru yang lebih besar daripada
sebelumnya. Sebagaimana kita ketahui krisis sekarang tidak lain adalah
perusakan sejumlah kesenian, kebiasaan atau tradisi, nilai transenden dalam
masyarakat, spiritualitas, kebahagiaan, keceriaan dan berbagai budaya
modern yang 'disamakan' dengan budaya Barat dalam pemahaman, pendapat dan
gaya hidup. Isi buku ini adalah berlandaskan pengalaman individu Sang
Penulis dalam upaya membangkitkan spiritualitas pembacanya dalam menghadapi
persoalan yang tidak terselesaikan dalam pencariannya. Membaca tulisannya
Luthfie Ghozali terasa bak menapak tilas perjalanan spiritual berupa
mujahaddah, riyadhah dan lainnya yang biasa dilakukan oleh para Sufi.
Di dalam buku setebal lebih dari 550 halaman, itu hanya dibagi
dalam dua bab saja, bab pertama amanat dan yang kedua khianat. Di dalam bab
awal, yang dibahas selain manusia sebagai kholifah bumi juga dibahas
tentang manusia di dalam tiga tahap kehidupan, dari alam ruh, alam dunia
sampai alam akhirat. Bab kedua membahas tentang khianat. Yang disebut
amanat adalah bila menjalankan perjanjian yang telah disepakati dan khianat
bila melanggar isi perjanjian. Konsekwensinya bagi yang amanat akan diberi
imbalan surga dan bagi yang khianat nerakalah balasannya. Rasanya buku ini
tepat untuk para Salik mubtadi, karena bila disejajarkan dengan para Sufi
klasik seperti Rabi'ah 'Adawiyah (713-801M) 1) surga neraka bukanlah yang
menjadi fokus pembahasan. Cinta membuat dia takwa dan karena cinta pula
yang membuat ia tidak mengharapkan ganjaran. Cinta Rabi'ah cinta abadi,
cinta yang membuatnya tidak takut apa saja walau kepada neraka sekalipun.
Ada sisi menarik dari tulisan buku ini karena dari daftar isinya hampir
sama dengan karya William C. Chittick, dalam karyanya "Imaginal Worlds, Ibn
al-'Arabi And The Problem of Religious Diversity" 2), khususnya pada point
pengetahuan diri dan fitrah manusia, ajal dan kehidupan akhirat. Yang
membedakan keduanya adalah dalam Ibn Arabi dibahas juga tentang
Annihilation and Subsistence (Fana dan Baqa), Tuhan dialami sebagai
penyingkapan Diri-Nya pada mahluk, guna menghantarkannya menuju keberadaan.
Ketika sifat-sifat manusiawi akan sirna dan sifat-sifat ketuhanan kekal.
Inilah maqam 'kekholifahan', atau bertindak sebagai wakil Tuhan di dalam
kosmos. Akan tetapi, dalam kebenaran inilah Tuhan bertindak, karena hamba
sepenuhnya termusnakan. Sementara dalam karya Luthfi Ghozali "kholifah
Bumi" khalifah adalah tokoh ideal yang patut ditiru perilakunya.
Untuk melengkapi buku ini, sedikit saya tambahkan beberapa
penjelasan terminologi tentang asal muasal kata khalifah. Kata khalifah
berasal dari kata ahlaf, yang menurut kamus Bahasa Arab-Inggris F.
Steingas 3) bermakna successor atau penerus/pengganti/wakil. Dalam
terminology tasawuf kata khalifah memiliki makna ganda 4), pertama
Khalifah Al Ma'nawiyah dan Khalifah Azh-Zhahiriyah.
Khalifah Al Ma'nawiyah merupakan konsep manusia dalam insan kamil,
di mana manusia memiliki jabatan di bumi sebagai manifestasi nama-nama dan
sifat-sifat Allah di muka bumi. Khalifah Al Ma'nawiyah menurut Ibn Arabi
adalah khalifah Allah, bukan khalifah Rosulullah, karena ia secara langsung
menjadi wakil Tuhan di muka bumi ini, yakni sebagai wadah tajjali-nya yang
sempurna.
Khalifah ma'nawiyah ini merupakan kedudukan yang permanen, karena
ini merupakan tujuan utama Tuhan dalam mengangkatnya sebagai khalifah. Oleh
karena itu setiap masa tidak pernah kehilangan manifestasi (Mazhar) Ilahi.
Sedangkan Khalifah Azh-Zhahiriyah merupakan jabatan dalam
pemerintahan yang secara lahir merupakan tugas memimpin atau mengendalikan
pemerintahan dalam suatu wilayah negara. Ibn Arabi menyebutnya Khalifah
Rosulullah, karena ia bertugas menggantikan Rosul Allah dalam
merealisasikan hukum-hukum yang ditinggalkannya. Khalifah Zhahiriyah,
fungsinya untuk melestarikan masyarakat dan negara dengan menciptakan
keadilan, ketentraman, dan kemakmuran dalam masyarakat. Artinya, khalifah
Zahahiriyah juga menunjang Khalifah Ma'nawiyah.
Dalam buku "Kholifah Bumi" yang dibahas adalah Khalifah
Ma'nawiyah (disingkat khalifah saja). Menurut Al Quran (QS 2:30) 5)
menyatakan perihal Nabi Adam sebagai perwujudan dari fitrah, atau sifat
primordial, dan sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Dengan demikian
maka sebenarnya pada dasarnya manusia berposisi sebagai khalifah Allah 6).
Selain Nabi Adam, yang dijadikan contoh sebagai Insan Kamil
(manusia sempurna ) adalah Nabi Muhammad. Pandangan ini didasarkan pada
hadits Qudsi "Lau Laka, Wa Lau Laka, ma Kholaqtu al Alam-Kulaha", yang
artinya "Kalau bukan karena engkau, (ya Muhammad) tidak akan kuciptakan
alam semesta". Kata Nabi dalam hadits tersebut ditafsirkan oleh para Sufi
bahwa itu adalah Nabi Muhammad, kemudian ditafsirkan lagi sebagai manusia
sempurna (insan Kamil), yaitu bentuk manusia yang telah mencapai
kesempurnaannya, yaitu ketika ia telah mengaktualkan potensi kemanusiaannya
7). Pandangan ini dianut oleh beberapa Sufi terkenal seperti Ibn Arabi
(w.1240), Shadr Al Din Al Qunyawi (W. 1274), Jalal Al Din Rumi dan Abd Al
Karim Al Jilli. Rumi menganalogikan hal ini bahwa manusia itu ibarat buah,
walaupun buah timbul setelah batang dan ranting, tetapi tumbuhan tersebut
secara keseluruhan memang diciptakan untuk menghasilkan buah tersebut.
Sebagaimana dalam buah memiliki kandungan mineral dan mengandung seluruh
unsur pohonnya, demikian juga manusia. Selain memiliki unsur mikrokosmos,
tetapi juga makrokosmos, karena manusia telah mencapai tujuan
penciptaannya. Sebagai hasil evolusi paling akhir, manusia adalah paling
sempurna dalam bentuk. Fungsi dan kompleksitasnya. Dalam bahasa Al Quran
disebut "Ahsan Al Taqwim".
Dibandingkan dengan mahluk lainnya, manusia juga memiliki
perbedaan yaitu kecakapan berbicara (al nuthqah) atau dengan rasionalitas
('aql). Serta dikarunia akal dan roh yang membuat manusia berada di atas
makhluk biologis yang lain.
Dalam kaitannya dengan Tuhan, manusia adalah wakil Tuhan di muka
bumi (Khalifah Fi Al Ardh). Yang sangat dimuliakannya. Sebagai khalifah,
tugas manusia adalah menyampaikan berita dari dunia gaib agar dapat
dipahami dan dirasakan manfaatnya oleh seluruh manusia. Tetapi, karena
tidak semua manusia pada prakteknya bisa menerima "pesan Ilahi" ini, maka
Tuhan mengutus para Nabi dan Rosulnya untuk membawa kabar tersebut. Setelah
nabi tidak diturunkan lagi, karena Nabi yang terakhir adalah Muhammad SAW,
maka pesan diteruskan oleh para wali Allah, Shahabat, Al Muqarrabin dan
para Sufi, Mursyid dan Kholifahnya, ini mungkin yang dimaksud Luthfi
Ghozali di dalam bukunya "Kholifah Bumi, Guru Mursyid sebagai Bapak Rohaniyah".
Adapun bentuk kongkrit pemuliaan Tuhan terhadap manusia adalah
tanggung jawab-Nya untuk menciptakan segala sarana dan prasarana yang Dia
ciptakan di Bumi ini, yang pada gilirannya bukan saja memungkinkan manusia
hidup, tetapi menjalankan fungsinya sebagai wakil dan khilafah-Nya di muka
bumi ini untuk manusia, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab suci-Nya,
agar segala rencana Tuhan dalam menciptakan manusia sebagai khalifah-nya
bisa terlaksana dengan baik.
Tanpa banyak komentar, saya menilai karya ini sangat patut untuk
dibaca, direnungkan dan dihayati oleh setiap manusia modern yang telah
merasakan krisis spiritual dalam hidupnya. Karena selain langka, karya ini
dapat memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang manusia dan
kedudukannya yang mulia di dalam planet bumi ini.
Selamat membaca!
Ciputat, 9 April 2009
Ferry Djajaprana
*)Pecinta Mistik Islam
Bibliography :
1) Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1996
2) William C. Chitick. Imaginal Worlds, Ibn al 'Arabi and The Problem of
Religion Diversity, State University of New York Press, 1994, P. 59
3) F. Steingass, A Learner's Arabic English Dictionary, Gaurav Publishing
House, Delhi,1986
4) Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin. Kamus Ilmu Tasawuf, Wonosobo, 2005
5) QS. Al Baqoroh : 30 "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman pada para
malaikat 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi". Mereka berkata "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?". Tuhan berfirman "Sesungguhnya Aku mengetahui yang tidak kamu
ketahui".
6) Cyril Glasse. Ensiklopedi Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002
7) Mulyadhi Kartanegara. "Menyelami Lubuk Tasawuf", Penerbit Erlangga,
Jakarta, 2006