http://www.waspada.co.id/Ragam/Analisis/Kikis-dikotomi-Islam-nasionalis.html
Kikis dikotomi Islam-nasionalis Wednesday, 08 October 2008 12:00 WIB SURIANI Pemilu 2009 memunculkan sejumlah hal baru. Partai politik kian berani 'membuka diri'. Mereka menyatakan sebagai partai terbuka. Ruh lama ditinggalkan demi menarik simpati pemilih pada pesta demokrasi. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), misalnya. Dulu, dia adalah partai nasionalis. Kini, PDIP membentuk organisasi sayap: Baitul Muslimin. Maksudnya jelas, menambah nuansa Islami yang dianggap kurang pada partai pimpinan Megawati Soekarnoputri ini. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga berubah. Mereka, empat tahun lalu, dikenal sebagai partai dengan basis Islam perkotaan yang kuat. Kini, mereka menyatakan diri terbuka untuk rakyat dari golongan dan agama apapun. Bahkan, dalam daftar calon legislatif sementara, mereka menempatkan figur nonmuslim. Demikian juga Partai Golkar di mata ketua umumnya, Jusuf Kalla. Saat menyambangi para caleg Golkar di Makassar, kemarin, Kalla mengatakan Partai Golkar adalah partai yang terbuka, nasionalis, dan juga relijius. "Bagaiman Golkar ke depan? Saya ingin gambarkan, betapapun, Partai Golkar memiliki kelebihan-kelebihan. Pertama, Golkar adalah partai yang terbuka, nasionalis, serta relijius," kata Kalla. Selama ini, Partai Golkar mendapat cap yang setali tiga uang dengan PDIP. Mereka partai yang beraliran nasionalis. Kalla mengemukakan bahwa Golkar adalah partai yang selalu berlandaskan pada azas-azas yang berlaku di masyarakat. Ia menampik anggapan bahwa Golkar adalah partai sekuler. Dia bercerita, pada sebuah acara debat, ada yang mengatakan Golkar sebagai partai sekuler. Kalla langsung meluruskannya. "Saya bilang, siapa yang sekuler? Golkar tidak pernah sekuler dalam arti tidak menghiraukan agama, kecuali duniawi saja. Sering saya berseloroh dengan teman, saya katakan Anda boleh (bergabung di) partai agama, tapi pimpinan Golkar ini sudah haji sembilan kali. Saya ini ketua HMI di bermacam-macam tingkatan," katanya. Kalla menegaskan, partai nasionalis atau Islami, jangan dilihat dari partainya, tapi orang-orang yang berada di partai itu. Ia menyebutkan berdasarkan suatu analisa politik di Indonesia, antara partai nasionalis dan partai yang berdasarkan agama, khususnya Islam, perbandingannya 60:40. Namun, untuk sekarang ini hal itu tidak memiliki batasan lagi. "Sekarang, hampir semua partai Islam sudah nasionalis. Lihatlah PAN dan PPP. Ada juga partai nasionalis ingin Islami. Termasuk PDIP yang punya Baitul Muslimin," terang Kalla. Kalla yang juga Wakil Presiden itu menilai, konstalasi politik menjadi seperti itu untuk menghadapi Pemilu 2009. Dia mengandaikan hal itu laksana menghadapi ujian. "Pertanyaannya, ujian itu ada tiga hal. Apa yang telah Anda lakukan lima tahun lalu? Apa yang akan Anda lakukan lima tahun ke depan? Serta, apa modal Anda pada saat sekarang ini?" ungkap JK di hadapan para caleg Golkar. Konsep partai nasionalis dan islami, menjelang Pemilu 2009, menjadi semakin tipis perbedaannya. Anis Matta, Sekjen PKS, sebelumnya terang-terangan ingin menghilangkan konsep artai Islam dan nasionalis. Dalam pandangannya, dikotomi seperti itu sering memicu disintegrasi bangsa. "Kita ingin melampaui dikotomi Islam-Nasionalis. Kita ingin dikotomi itu selesai. Semua perbedaan agama dan etnis selesai di internal masyarakat kita," jelasnya. Dia pun merasa lucu jika simbol kata 'umat' dan 'rakyat' sering dijadikan perbedaan. Rakyat dipakai parpol nasionalis, sementara partai Islam menggunakan umat. "Padahal, menurut kamus bahasa, kata rakyat dan umat, artinya sama dan diadopsi dari bahasa Arab," katanya. Dia kemudian menggambarkan sebuah hasil survei tentang tingkat relijiusitas masyarakat pemilih. Hasilnya, 77% pemilih PDIP mengaku sering melakukan ibadah dan kegiatan keagamaan. Angka itu lebih tinggi dibanding Partai Bulan Bintang (PBB) yang hanya 65%. "Artinya, soal relijiusitas masyarakat, sejatinya tak tergantung pada afiliasi partainya," tegas Anis.