Tulisan ini juga disajikan dalam website http://kontak.club.fr/index.htm


Catatan A. Umar Said



                    Kualitas DPR sangat menyedihkan




Di bawah ini adalah kutipan dari dua editorial (disingkatkan) dari harian
Media Indonesia, yang mengangkat berbagai hal yang “gila” mengenai DPR, yang
mestinya (!!!) merupakan lembaga yang paling tinggi dan juga yang paling
“terhormat” di Republik kita. Tetapi, apa lacur, nyatanya DPR tidaklah
demikian halnya. Akibat berbagai kebrengsekan dalam cara kerjanya yang
bersumber pada sikap moral yang rendah serta  berbagai sikap politik yang
keliru, DPR menjadi sasaran kritik, celaan, cemooh, sindiran, cibiran,
ejekan, makian dan  umpatan dari banyak kalangan di masyarakat. Apa yang
ditulis dalam dua editorial tersebut hanyalah sekelumit kecil saja  dari
banyaknya kebobrokan atau kebrengsekan yang selama ini menyelubungi DPR.
Silakan baca editorial yang berjudul “Mengekang nafsu pemborosan DPR” (29
November 2008) dan “ Popularitas Murahan di DPR (19 November 2008) “, yang
disajikan berikut ini :



“RASIONALITAS publik lagi-lagi terganggu oleh ulah DPR. Di tengah masih
rendahnya kinerja dewan, lembaga itu justru meningkatkan anggarannya dari
Rp1,6 triliun pada 2008 menjadi Rp1,9 triliun pada 2009.  Argumen bahwa
peningkatan anggaran untuk lebih memacu kinerja anggota dewan sungguh jauh
dari nalar normal. Tengok saja Sidang Paripurna Pembukaan Masa Sidang II DPR
Tahun Sidang 2008-2009, Senin (24/11) lalu, yang cuma dihadiri 135 anggota
dari 550 anggota dewan.  Yang lebih mengganggu publik, dari total anggaran
DPR sebesar Rp1,9 triliun pada tahun depan, lebih dari Rp118 miliar
dialokasikan untuk kegiatan ke luar negeri. Angka itu dua kali lipat lebih
dari jumlah anggaran pada 2007 yang mencapai Rp53 miliar.



“Padahal publik tahu perjalanan ke luar negeri dengan bungkus studi banding
itu tidak lebih dari pelesiran belaka. Publik tidak pernah tahu substansi
dan manfaat dari studi banding ke luar negeri itu. Pemborosan anggaran DPR
tak cuma sebatas menyangkut studi banding. Renovasi gedung DPR yang menelan
biaya Rp33,4 miliar bisa menjadi contoh lain alokasi anggaran yang
serampangan. Ingatan publik juga belum lupa ketika DPR membuat mata anggaran
ecek-ecek, seperti tunjangan komunikasi, dana legislasi, dan pengadaan
laptop, yang mengundang banyak kecaman.  Itu semua bisa terjadi karena hak
yang melekat dalam diri dewan terus bertambah. DPR tak hanya punya kekuasaan
di lingkup pengawasan, anggaran, dan perundang-undangan. Tetapi, DPR juga
diberi hak mengelola keuangan sendiri.



“Ironisnya, segudang kekuasaan yang dimiliki itu tidak sebanding dengan apa
yang diberikan kepada negara dan rakyat. Minimnya kuantitas dan kualitas UU
yang dihasilkan DPR serta tiadanya target waktu yang jelas tentang kapan
sebuah RUU selesai, bisa menjadi indikator ukuran kinerja dewan.

Karena itu, sikap suka-suka DPR dalam menentukan jumlah dan mata anggaran
harus segera dihentikan. Apalagi banyak lubang pemborosan. Namun, pola
belanja lembaga negara yang suka-suka, apalagi sekadar pemborosan, haruslah
segera dihentikan.



“Politik anggaran lembaga negara bagaimanapun tidak boleh jauh dari
ekspektasi publik. Apalagi, di tengah kesulitan negara menghadapi krisis
global, anggaran DPR layak dikekang. “ (kutipan pertama selesai)



Sedangkan dalam editorial yang tanggal 19 November 2008 ditulis antara lain
sebagai berikut :




“DPR terus mempertontonkan diri sebagai lembaga yang doyan hura-hura. Gedung
DPR yang sudah megah itu kembali direnovasi dengan dana miliaran rupiah.



“Renovasi itu sendiri sudah dimulai pekan lalu. Proyek itu mencakup
pembenahan ruang kerja, penggantian lantai toilet, pembangunan 10 ruang
kerja baru, dan pengadaan furnitur yang menghabiskan dana Rp33,4 miliar.
Gagasan renovasi itu sebelumnya bahkan lebih gila. Semula akan dibangun dua
menara megah di sisi utara dan selatan dengan jalan penghubung seperti
menara Petronas di Malaysia. Dananya diperkirakan sekitar Rp1 triliun.
Namun, gagasan pembangunan menara itu urung dilaksanakan.



“Politik bunglon anggota dewan itu sudah berlangsung sejak lama. Setiap
muncul persoalan yang menjadi sorotan publik, acap kali pula anggota dewan
tampil sebagai pembela rakyat. Bahkan dengan embel-embel ancaman pembuatan
hak angket atau pansus, yang kemudian hilang tidak berbekas.

DPR hasil Pemilu 2004 memang menyedihkan. Dan jangan harap dengan kesadaran
sendiri mereka akan berhenti hipokrit, berhenti korupsi, berhenti menjadi
pahlawan kesiangan. Yang harus menghentikannya adalah rakyat. Yaitu jangan
pilih mereka pada Pemilu 2009. (Kutipan selesai. Cetak tebal dari penulis.
A. US).



Mutu DPR yang menyedihkan


Ketika membaca kutipan dua editorial tersebut di atas, agaknya kita bisa
menarik kesimpulan bahwa negara dan bangsa kita memang sedang menghadapi
berbagai penyakit parah, yang sangat akut atau gawat sekali. Apa yang
tercermin dalam tulisan itu menunjukkan betapa jeleknya atau betapa
rendahnya mutu professional dan mutu moral para anggota DPR kita pada
umumnya. Padahal, seperti yang kita ketahui, parlemen adalah badan
perwakilan rakyat yang tertinggi di Republik kita. Oleh karena itu, DPR juga
seharusnya terdiri dari wakil-wakil rakyat yang betul-betul mau dan bisa
sepenuhnya dan setulus-tulusnya mengabdi kepada kepentingan rakyat
terbanyak. Namanya saja gagah atau mentereng , “Dewan Perwakilan Rakyat”.



Tetapi, kita sudah melihat bahwa sejak negara dan bangsa kita dikangkangi
oleh rejim militer Orde Baru-nya Suharto dkk, maka sebenarnya DPR sudah
tidak pantas sama sekali menyandang nama “dewan perwakilan rakyat”. Selama
32 tahun Orde Baru, DPR pada hakekatnya hanyalah merupakan hiasan (dekorasi)
untuk memupuri muka buruk rejim militer Suharto supaya kelihatan demokratis,
atau supaya kelihatan punya legitimasi seperti kebanyakan pemerintahan
lainnya di dunia. DPR waktu itu juga hanyalah sebagai stempel dari golongan
jenderal-jenderal dan kolonel-kolonel yang mengangkangi  -- degan
bermacam-macam cara -- banyak kedudukan kunci di berbagai lembaga negara,
termasuk DPR dan partai-partai politik (terutama Golkar).



Kita semua masih ingat bahwa DPR selama Orde Baru  (jadi, dalam jangka waktu
yang panjang sekali !) bukanlah parlemen seperti yang biasanya bisa kita
lihat di berbagai negara di dunia. DPR selama Orde Baru telah dikuasai, atau
dikontrol, atau “diborgol” oleh golongan militer lewat kendaraan politiknya
yang bernama Golkar. Tidak banyak atau jarang sekali di dunia ada parlemen
yang bisa didominasi oleh golongan militer (dalam hal ini : Golkar) dengan
kursi antara 60 –70% dan selama lebih dari 30 tahun !!!. DPR “dekorasi”
semacam itu adalah hasil dari diselenggarakannya berkali-kali pemilu
sandiwara (yang dengan gagah diberi nama “pesta demokrasi”) dengan
kemenangan Golkar sekitar 60-70 % suara.



DPR yang sebenarnya tidak mewakili rakyat semacam inilah yang selama puluhan
tahun “tutup mulut, tutup kuping dan tutup mata” saja terhadap
peristiwa-peristiwa besar seperti pembunuhan massal sampai jutaan orang
tidak bersalah apa-apa, pemenjaraan dan penganiayaan ratusan ribu orang kiri
dan pendukung Bung Karno, dan berbagai pelanggaran HAM lainnya. Dan DPR
semacam ini pulalah yang telah menutup-nutupi atau “diam seribu bahasa” saja
terhadap segala kesalahan besar dan dosa-dosa berat Suharto (antara lain :
korupsi besar-besaran , kolusi dan nepotisme). Dan selama puluhan tahun pula
!



DPR sesudah pemilu 2009 yad


Setelah Suharto dipaksa turun dari jabatannya sebagai presiden, maka banyak
orang mengira (dan mengharapkan !!!) bahwa akan ada perubahan besar atau
perbaikan di bidang perwakilan rakyat, yang tercermin dalam pemilu dan
komposisi di DPR atau DPRD. Memang, ada perubahan di sana-sini, dan bahkan
ada yang cukup penting, yang menandakan perbedaan dengan pemilu yang
diadakan selama Orde Baru.



Tetapi, alangkah besarnya kekecewaan banyak orang setelah melihat hasil
pemilu 1999 (diikuti oleh 48 parpol), atau pemilu 2004 (diikuti oleh 24
parpol). DPR yang sekarang ini, yang menjadi sorotan editorial Media
Indonesia tersebut di atas, adalah hasil dari pemilu 2004. Editorial
tersebut dengan tegas mengatakan bahwa DPR hasil pemilu 2004 sangat
menyedihkan.



Mengingat itu semua, mungkin sekali banyak orang  bertanya-tanya
bagaimanakah kiranya DPR hasil pemilu 2009 nanti. Dari apa yang sudah
terjadi selama ini agaknya sudah dapat diramalkan bahwa pemilu tahun 2009
juga tidak akan mungkin menghasilkan perubahan-perubahan besar dan mendasar
di negeri kita. Sebab, pada pokoknya, para peserta utama dalam pemilu tahun
2009 adalah mereka-mereka yang ikut juga dalam pemilu tahun 2004 (sebagian
juga ada yang ikut dalam pemilu 1999). Jadi, kecuali adanya
perubahan-perubahan kecil dalam program partai-partai yang akan ikut dalam
pemilu 2009, kita tidak bisa (dan tidak boleh) punya ilusi atau impian
kosong bahwa akan ada perbaikan besar-besaran dalam kehidupan politik,
sosial dan ekonomi  negeri kita yang serba semrawut seperti sekarang ini.



Yang tidak memungkinkan perubahan drastis atau perbaikan besar-besaran di
Republik kita dewasa ini  adalah karena kerusakan atau pembusukan yang
terlalu parah yang telah dibikin oleh rejim militer Suharto selama 32 tahun,
dan yang telah diteruskan sampai sekarang oleh berbagai pemerintahan
pasca-Suharto. Kerusakan besar atau pembusukan parah yang melanda negeri
kita dewasa ini adalah terutama di bidang moral, sebagai akibat atau produk
sistem politik atau ketatanegaraan Orde Baru.



Para pengamat politik dan sosial di Indonesia (termasuk tokoh-tokoh
terkemuka berbagai golongan masyarakat) yang bersikap jujur dan objektif,
bisa melihat dengan jelas bahwa kerusakan moral ini sudah melanda dengan
keganasan yang luar biasa di kalangan “elite” bangsa (baik sipil maupun
militer, termasuk kalangan terkemuka dalam partai-partai dan ormas).
Kerusakan moral ini sudah menyentuh pimpinan negara, MPR, DPR, Mahkamah
Agung, Kejaksaan Agung, TNI, Kepolisian, atau birokrasi negara pada umumnya.
Kerusakan moral ini merupakan salah satu sumber segala kejahatan dan
pelanggaran, yang antara lain berupa penyalahgunaan kekuasaan, penyelewengan
tugas, korupsi, kolusi, dan banyak penyakit lainnya.



Apa yang ditulis dalam editorial Media Indonesia hanyalah sebagian  kecil
(dan juga terbatas) dari apa yang selama ini sudah  dirasakan atau
difikirkan oleh banyak kalangan dan golongan dalam masyarakat luas. Dari
berbagai bahan yang disajikan media massa (pers dan TV) dapat dilihat bahwa
rakyat luas sudah makin kritis, bahkan tidak percaya,  kepada DPR yang
menunjukkan begitu banyak sikap dan tindakan yang  mengkhianati kepentingan
rakyat banyak (korupsi sekitar dana dari BI, korupsi sekitar hutan lindung,
korupsi pembuatan kapal, korupsi sekitar BLBI dll dll). Ketidakpercayaan
masyarakat kepada DPR adalah manifestasi dari ketidakpercayaan terhadap
partai-partai politik yang duduk dalam DPR (tidak semuanya, tentu saja).



Merosotnya kepercayaan terhadap DPR


Merosotnya citra DPR, yang disebabkan oleh kerusakan moral (di samping
banyaknya kesalahan-kesalahan politik) sangatlah menyedihkan atau
memprihatinkan sekali. Sebab DPR merupakan satu bagian yang penting dari
wajah muka bangsa dan negara kita Republik Indonesia. DPR juga salah satu
lembaga yang ikut menentukan dan mengkontrol baik buruknya penyelenggaraan
negara, di samping memikul tugas yang amat tinggi dan mulia, yaitu mewakili
dan membela kepentingan rakyat Indonesia yang berjumlah 230 juta orang ini
(nomor empat di dunia). DPR adalah salah satu cermin yang menunjukkan jati
diri bangsa kita. Jadi, kualitas DPR juga bisa menjadi ukuran kualitas
negara dan bangsa. Dan mengenai kualitas DPR ini, tulisan ini ikut
menyetujui pendapat yang menyimpulkan : sangat menyedihkan !!!



Selama lebih dari 40 tahun (32 tahun selama Orde Baru ditambah 10 tahun
pasca-Suharto, sampai sekarang) DPR sudah memperlihatkan kualitasnya (atau
mutunya)  yang sebenarnya, Dan kita bisa memperkirakan bahwa DPR yang akan
datang (sebagai hasil pemilu 2009) tidak mungkin berbeda jauh dari yang
sekarang atau yang masa-masa lalu. Selama Golkar dan golongan-golongan yang
pro Suharto dan anti-Bung Karno masih  menduduki pos-pos kunci dalam
berbagai lembaga negara, tidaklah mungkin sama sekali adanya perubahan besar
dalam DPR. Ini berarti bahwa negara dan bangsa akan tetap terus dikangkangi
oleh Golkar beserta sekutu-sekutunya. Dan alangkah menyedihkannya bahwa
Golkar (beserta sebagian gologan militer dan pendukung-pendukung Orde Baru
lainnya) yang merupakan perusak Pancasila (yang asli dan murni)  akan tetap
bisa meneruskan pengkhianatannya terhadap perjuangan bangsa menuju
masyarakat adil dan makmur seperti yang dicita-citakan oleh Bung Karno
bersama rakyat banyak.



Mengingat itu semuanya, perlulah kiranya bagi seluruh kekuatan demokratis di
Indonesia, untuk menggiatkan atau mengobarkan berbagai aksi dan kegiatan –
melalui macam-macam cara, saluran, dan bentuk) untuk tetap menelanjangi
kebusukan dan kebobrokan di DPR. Sebab perjuangan extra-parlementer melawan
ketidakberesan dalam DPR berarti sekaligus juga berjuang terhadap berbagai
macam praktek kotor dan tidak bermoral di kalangan partai-partai politik
(antara lain : komersialisasi jabatan, pengumpulan dana haram untuk caleg).
Berjuang terhadap sikap tidak bermoral di kalangan anggota DPR berarti juga
membersihkan lembaga tertinggi rakyat ini dari segala borok dan penyakit
yang sudah menjangkiti bangsa sejak lama dan pada taraf yang akut sekali
pula.



DPR perlu dikontrol ketat oleh rakyat


DPR kita sekarang mempunyai kekuasaan yang besar, luas dan kuat. Karena itu,
kecenderungan untuk menyalahgunakan kekuasaan juga besar sekali Di samping
tugas utamanya membuat undang-undang DPR juga mempunyai fungsi untuk
mengontrol jalannya pemerintahan. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya ini
bisa saja terjadi banyak kesalahan, penyelewengan dan pelanggaran, baik
secara kolektif atau perorangan sebagai anggota.



Itulah sebabnya, DPR yang begitu besar kekuasaannya itu perlu juga
dikontrol. Karena namanya saja “dewan perwakilan rakyat”, maka sudah
semestinya atau sudah seharusnya bahwa rakyat berhak juga mengkontrol DPR.
Kontrol rakyat terhadap DPR adalah mutlak perlu, dan merupakan kewajiban
yang sah dan luhur bagi masyarakat.



Kontrol terhadap DPR dapat dilakukan oleh berbagai gerakan
extra-parlementer, ornop dan LSM, organisasi buruh, tani, pegawai negeri,
pemuda, mahasiswa, perempuan, dengan mengadakan aksi-aksi bersama atau
sendiri-sendiri. Berbagai macam aksi dan kegiatan terus-menerus untuk
mengkontrol DPR bisa menjadi pendidikan politik  dan bisa diharapkan menjadi
jalan untuk meninggikan kesadaran politik berbagai golongan masyarakat.
Meningkatnya kesadaran politik masyarakat ini akhirnya bisa memungkinkan
terpilihnya partai politik yang pro-rakyat. Dan besarnya dukungan terhadap
partai-partai  politik yang pro-rakyat adalah syarat penting untuk
kemungkinan terselenggaranya pemilu yang menghasilkan DPR yang pro-rakyat.
Yaitu DPR yang benar-benar pantas dan juga berhak disebut sebagai  “dewan
perwakilan rakyat”, dan bukannya lagi sebagai “dewan  penipu rakyat” seperti
yang sering terdengar selama ini.



Paris, 11 Desember 2008.







No virus found in this outgoing message.
Checked by AVG.
Version: 7.5.552 / Virus Database: 270.9.16/1841 - Release Date: 10/12/2008
09:30

Kirim email ke