Les Liaisons Dangereuses


Asvi Warman Adam
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 
JUDUL di atas, yang berarti ”hubungan-hubungan yang berbahaya”, adalah novel 
yang ditulis Pierre Choderlos de Laclos pada 1782, beberapa tahun sebelum pecah 
Revolusi Prancis. Novel itu kemudian difilmkan. Tentu saja hubungan asmara 
dalam karya sastra itu tidak identik dengan hubungan politik militer dalam 
sejarah Indonesia. Walaupun begitu terdapat kemiripan plot, intrik, ambisi, 
aliansi pura-pura dalam mencapai tujuan bersama, sungguhpun tersembunyi dendam 
kesumat di belakangnya. 
Tanggal 17 Oktober 1952 merupakan tonggak sejarah bukan saja bagi Jenderal 
Nasution, melainkan juga sejarah militer Indonesia. Ketika itu meriam diarahkan 
ke Istana, menekan Presiden Soekarno untuk membubarkan parlemen. Bung Karno 
menolak. Akibatnya, Nasution sebagai Kasad dinonaktifkan. Selama ”menganggur” 
ia menyusun tulisan tentang Dwifungsi ABRI. 
Nasution sangat terpukul oleh laporan BISAP (Biro Informasi Staf Angkatan 
Perang, Zulkifli Lubis) yang mengisahkan dialog Soekarno-Nasution. ”Kalau 
parlemen itu dibubarkan berarti saya jadi diktator,” kata Bung Karno. ”Kami 
akan dukung,” ujar Nasution. ”Kalau saya jadi diktator, akan saya pecat 
kalian,” tukas Bung Karno. Menurut Nasution, pembicaraan itu tidak pernah ada. 
Merasa difitnah, Nasution menganggap perlu menulis sejarah. 
Dalam perkembangan selanjutnya, krisis kepemimpinan dalam Angkatan Darat 
menyebabkan Nasution kembali dilantik jadi KSAD pada November 1955. Hubungan 
Soekarno-Nasution adalah hubungan ”butuh dan benci”. Menyadari tidak bisa 
mengalahkan popularitas Bung Karno, Nasution mulai sering menyuarakan ”revolusi 
belum selesai” agar seirama dengan sang Presiden. 
Sebelumnya, pada Pemilu 1955, Nasution telah mendirikan Ikatan Pendukung 
Kemerdekaan Indonesia (IPKI), yang diharapkannya menjadi ”partai tentara”. 
Usaha ini gagal, hanya empat orang yang terpilih. Sebab itu ia mengajukan 
”Jalan Tengah Tentara”, bukan sebagai peserta pemilu tetapi melalui politik 
pengangkatan. Tentara masuk golongan fungsional di parlemen. Ini dimungkinkan 
dengan UUD 1945. Karena itu, ketika ditanya wartawan, ”Tentara berada di balik 
skenario kembali ke UUD 1945 5 Juli 1959?”, Nasution menjawab, ”Betul. Itu 
memang kepentingan kami.” Perdebatan di Konstituante yang tak kunjung tuntas, 
beberapa pergolakan daerah—seperti Sumatera Tengah dan Sulawesi—memberikan 
kesempatan bagi Nasution untuk tampil sejalan dengan Soekarno.. Ia bagaikan 
orang kedua di republik ini. Sementara itu Soeharto baru meniti karier pada 
tingkat daerah.

 
Namun Soekarno kurang suka kepada Nasution dan mendekati PKI yang mendukung 
proyek Nasakom. Sejak 1962, Nasution disingkirkan dan menjadi jenderal tanpa 
pasukan. 
Menjelang 1965, polemik tentang revolusi semakin gencar dan berdasarkan itu 
disusun buku sejarah pergerakan nasional. Untuk melawan buku berhaluan kiri, 
pada 1964 Nasution membentuk tim dosen sejarah Universitas Indonesia (Nugroho 
Notosusanto dkk.) menyusun Sejarah Singkat Perjuangan Bersenjata Bangsa 
Indonesia. Ia juga membentuk Biro Chusus Sejarah Staf Angkatan Bersenjata, 
cikal bakal Pusat Sejarah ABRI. Lembaga ini kelak sangat berperan dalam membuat 
sejarah Orde Baru yang (ber)seragam. 
Kemudian meletuslah Gerakan 30 September 1965. Enam jenderal tewas, Soeharto 
tampil ke depan. Percobaan kudeta yang gagal itu dijadikan dalih bagi Soeharto 
untuk menghancurkan PKI, pesaing terberat tentara. Lalu ia menangkap 15 menteri 
pendukung Soekarno, membubarkan Tjakrabirawa, dan menempatkan pers di bawah 
kendali Pusat Penerangan AD, dan selanjutnya meraih kursi Presiden. 
Meskipun kompak membasmi PKI, dalam hal kekuasaan, terdapat rivalitas yang 
dalam antara Soeharto dan Nasution. Soeharto menyadari seniornya itu memiliki 
dukungan rakyat, terutama dari kalangan Islam. Setelah ia menjadi presiden, 
habis manis Nasution dibuang, walaupun MPRS berjasa besar menumbangkan 
Soekarno. 
Tindakan Soeharto dapat dilihat dari aspek psikologi-karakter seperti dilakukan 
Angus McIntyre. Soekarno dinilai over confident sedangkan Soeharto bersifat 
insecure dengan mekanisme pertahanan diri sangat tinggi. Dapat dimaklumi 
kegeraman Soeharto ketika terjadi Peristiwa Malari 1974. Perdana Menteri Jepang 
Tanaka yang melakukan kunjungan kenegaraan harus diantar dengan helikopter dari 
Istana Negara ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma karena Ibu Kota rusuh. Ia 
merasa ditusuk dari belakang oleh orang yang telah diangkatnya. Dalam kasus ini 
terungkap pula konflik antara Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Jenderal Ali 
Moertopo. Keduanya mengeluarkan ”dokumen” dan buku sejarah yang saling menuduh.

 
Hal serupa terjadi pada 1998. Sebelumnya sudah muncul wacana ”jenderal hijau” 
versus ”jenderal merah-putih”, sungguhpun pembedaan itu tidak nyata. Rivalitas 
antara Prabowo dan Wiranto diibaratkan seorang pengamat asing sebagai 
pertarungan antara ”scorpion general” yang berimbas kepada kerusuhan Mei 1998. 
Sementara Soekarno dinilai over confident sedangkan Soeharto insecure, 
kelihatannya secara paradoksal—setelah membaca buku Sintong Panjaitan—Prabowo 
memiliki keduanya. Berayahkan tokoh nasional serta menantu presiden, rasa 
percaya diri Prabowo sangat tinggi. Sebagai perwira muda, ia menghadap Sintong 
selaku Komandan Kopassus dan mempertanyakan mengapa ia dipindahkan ke Kostrad, 
sesuatu yang tidak mungkin dilakukan prajurit lain. Ketika menjabat 
Pangkostrad, Prabowo melalui Presiden Soeharto menganulir pengangkatan Mayjen 
Suwisma menjadi Komandan Jenderal Kopassus yang sudah diputuskan Dewan Jabatan 
dan Kepangkatan Tinggi dan mengalihkannya kepada Muchdi Pr. 
Namun berbagai peristiwa yang tercatat dalam buku ini memperlihatkan juga ia 
penuh curiga. Pada 1983 ia menyaksikan senjata yang akan disalurkan ke Pakistan 
untuk membantu pejuang mujahidin Afganistan dan mencurigainya sebagai upaya 
kudeta yang akan dilakukan Benny Moerdani. Hal serupa terjadi pada 1988, ketika 
Prabowo menggalang kekuatan agar tidak terjadi kericuhan pada sidang MPR. 
Menurut Kivlan Zen, Prabowo telah menyiapkan masing-masing satu batalion 
Kopassus, Infanteri Linud 328, Infanteri 303, 321, dan 315 untuk melakukan 
kontra-kudeta bila terjadi gerakan inkonstitusional. 
Penculikan aktivis pada 1997 dilakukan untuk mengamankan Pemilu 1997 dan Sidang 
Umum MPR 1998 agar tidak ada kemungkinan gangguan dari kelompok radikal. Namun 
Sintong menyayangkan para anggota Tim Mawar itu dihukum sedangkan Prabowo yang 
memberikan perintah lisan dibiarkan bebas. 
Buku Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando diluncurkan pada 11 Maret 2009, 
bertepatan dengan peringatan Supersemar—yang menurut mantan Ketua Komisi 
Nasional Hak Asasi Manusia Marzuki Darusman, yang menjadi pembedah buku itu, 
dapat dipelesetkan menjadi ”Sudah Perlu Sebut Mana yang Benar”. Buku Sintong 
melengkapi buku yang sebelumnya ditulis oleh B..J. Habibie, Wiranto, Prabowo 
(termasuk biografi ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo), Kivlan Zen, dan Fadli 
Zon. Sementara dalam buku mantan presiden Habibie beberapa hal masih 
samar-samar, Sintong memperjelasnya. Sintong memerintahkan seorang petugas 
berpakaian sipil untuk meminta Prabowo mencopot senjatanya ketika akan menemui 
Presiden Habibie, Mei 1998. Sintong belajar dari sejarah bahwa di Korea Selatan 
pernah seorang jenderal bintang tiga menemui presiden di Istana dan langsung 
menembaknya dengan pistol.

 
Dari sisi lain, buku ini bercerita tentang versi lain misteri pelanggaran hak 
asasi manusia berat. Misalnya kasus pembunuhan massal Santa Cruz—yang dicap 
oleh penulis buku Hendro Subroto sebagai pemberontakan—dan penculikan aktivis 
serta kerusuhan Mei 1998. Marzuki Darusman skeptis para jenderal itu dapat 
diseret ke pengadilan, namun paling tidak buku ini mengajak publik untuk tidak 
melupakannya. Urusan internal Angkatan Darat telah diangkat Sintong menjadi 
urusan publik. 
Pentingnya sejarah untuk melegitimasi kekuasaan telah disadari oleh Nasution 
dan Soeharto. Pada masa Orde Baru penulisan sejarah dilakukan secara sepihak. 
Dalam era reformasi, perang kesaksian sejarah yang terbuka berkecamuk dan belum 
berakhir sampai hari ini. Masyarakat dapat membandingkan dan menilai kebenaran 
masing-masing versi. Namun, yang jelas, berbagai pelanggaran hak asasi pada 
masa lampau, apa pun dalihnya, perlu diungkap agar tidak terulang pada masa 
mendatang. 
Walaupun pada era reformasi tentara tidak berpolitik praktis, mereka tetap 
ingin mempunyai pengaruh politik, paling tidak para purnawirawan militer. Siapa 
yang diinginkan kelompok tentara, atau minimal siapa yang harus ditolak, 
barangkali itulah pesan yang ingin disebar kepada publik lewat buku Sintong 
Panjaitan ini.
 
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/16/KL/mbm.20090316.KL129816.id.html

 
http://media-klaten.blogspot.com/
 
http://groups.google.com/group/suara-indonesia?hl=id
 
salam
Abdul Rohim


      

Kirim email ke