Telah dimuat pada Harian Seputar Indonesia, 21 Oktober 2008 Membaca Pansus Orang Hilang Oleh Victor Silaen Sebuah isu politik sekonyong-koyong berembus dan mulai menyita perhatian kita hari-hari ini. Yakni, terbentuknya Panitia Khusus Penghilangan Orang secara Paksa (Pansus Orang Hilang) di DPR, yang diketuai oleh Effendi MS Simbolon dari Fraksi PDI Perjuangan. Rencananya Pansus Orang Hilang ini akan memanggil empat mantan jenderal: Wiranto, Prabowo, Sutiyoso, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dikarenakan keempat orang itu telah diketahui publik sebagai bakal calon presiden (capres), maka komentar-komentar sumbang pun muncul bahwa Pansus Orang Hilang tak lain hanyalah taktik politik untuk menjegal langkah mereka maju dalam Pemilu 2009. Jika dianalisa secara hitam-putih, terbentuknya Pansus Orang Hilang di DPR itu sebenarnya merupakan sesuatu yang baik dan patut didukung. Sebab, terkait sejumlah orang yang hilang di era Soeharto, Komnas HAM telah merekomendasikannya pada 10 November 2006. Namun pertanyaannya, mengapa baru ditindaklanjuti sekarang oleh DPR? Inilah politik, yang kerap tidak hitam-putih. Karena itulah kita patut membacanya dari sudut pandang yang lain, bahwa ada taktik politik yang tengah dimainkan para lawan politik keempat mantan petinggi militer di era Orde Baru itu. Sebab mudah diduga, jika kelak agenda-agenda Pansus ini bergulir, niscaya terjadilah ”kampanye hitam” atau pemburukan citra dari lawan-lawan politik keempat jenderal purnawirawan itu. Alhasil, popularitas mereka pun merolot drastis. Para bakal capres itu dirugikan, sebaliknya lawan-lawan politik mereka diuntungkan. Pertanyaannya, siapakah yang menjadi lawan-lawan politik keempat bakal capres itu? Logikanya tentu semua bakal capres di luar keempat nama tersebut. Kita bisa menyebut banyak nama. Namun, jika dilihat dari partai politik (parpol), maka yang berkepentingan tentulah parpol-parpol besar yang optimistik akan maju dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) nanti. Dengan pembatasan ini, maka yang tertinggal hanyalah Partai Golkar dan PDI Perjuangan. Partai Golkar hingga kini masih belum memastikan siapa yang akan diajukan menjadi bakal capresnya. Sedangkan PDI Perjuangan sudah, yakni Megawati Soekarnoputri. Inikah lawan politik yang tengah bermain taktik politik jegal-menjegal tersebut? Kemungkinan logisnya memang demikian. Apalagi rekam-jejaknya sudah ada. Dalam konteks Pemilu 2004, sekonyong-konyong Kasus 27 Juli dibuka kembali. Tak pelak waktu itu, orang banyak pun curiga bahwa ini tak lebih dari taktik busuk kelompoknya Megawati (selaku salah satu capres) dalam upaya memojokkan lawan politiknya di pentas rebutan tiket ke Istana Merdeka saat itu. Adapun lawan yang dimaksud adalah SBY, yang saat itu memang sangat popular dalam polling-polling peringkat capres-cawapres yang kerap dilakukan oleh sejumlah stasiun televisi swasta dan lembaga penelitian pasca-Pemilu Legislatif (Pileg) 5 April 2004. Tapi, kalau benar SBY yang dijadikan “sasaran tembak” dengan cara mencuatkan kembali kasus tersebut, agaknya sia-sia. Sebab, seperti yang dikatakan Sutiyoso, sang tersangka dalam kasus tersebut, SBY saat itu tidak dalam posisi yang sepatutnya dimintai pertanggungjawaban. SBY hanya Kasdam, sedangkan Sutiyoso adalah Pangdam Jaya. Jadi, benar kata Sutiyoso, dirinyalah yang layak dimintai pertanggungjawaban sebagai pemimpin tertinggi militer di DKI Jakarta saat itu.
Bagaimanapun, terlepas dari suka atau tak suka dengan Sutiyoso, kita patut mengacungkan jempol atas kebesaran jiwa yang ditunjukkan oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu dengan cara mengatakan “dirinya” dan “bukan orang lain” yang patut bertanggungjawab. Sebab, bukankah selama ini kita sudah kerap menyaksikan para pemimpin militer yang selalu lari dari tanggungjawab dengan cara menunjuk orang lain (terutama anak buahnya), ketika suatu kasus yang diduga melibatkan dirinya sedang diproses di pengadilan? Entahlah, ini bisa dikategorikan sebagai budaya kita atau bukan. Yang jelas, selama ini, kebanyakan orang Indonesia memang lazim “menunjuk ke bawah” ketika sesuatu yang buruk diduga bakal menimpa dirinya. Beda sekali dengan kelaziman yang berlaku di beberapa negara lain, karena yang di bawahlah yang selalu “menunjuk ke atas” ketika sesuatu yang buruk sedang terjadi dan bisa menimpa siapa saja. Dan yang menariknya, yang di atas juga terbiasa untuk secara sportif dan gentle menerima lemparan tanggungjawab itu. Sebuah contoh nyata dapat dilihat pada kasus tentara Amerika Serikat (AS) yang menzalimi para tawanan perang Irak, beberapa tahun silam. Bukankah yang menjadi bulan-bulanan kegeraman rakyat AS lantaran hal itu adalah Presiden Bush dan bukan panglima angkatan bersenjata atau (apalagi) para tentara AS sendiri yang sedang bertugas di Irak? Kembali pada Kasus 27 Juli, ada suatu hal menarik yang layak dicermati. Di satu sisi, SBY yang dijadikan “sasaran tembak” itu sekaligus juga menjadi “sang tertindas”. Apalagi jika kasus itu diteruskan proses hukumnya, dan di ujungnya kelak ia divonis bersalah. Tapi, ada dua persoalan yang harus diperhatikan sekaitan itu. Pertama, apakah proses pengadilan dalam kasus ini bisa berjalan cepat, khususnya jika dikaitkan dengan Pilpres 2004? Kedua, apakah SBY nanti terbukti sebagai salah satu pihak yang bersalah dan karena itu dijatuhi hukuman oleh pengadilan? Boleh jadi karena diyakini bahwa proses pengadilan kasus-kasus politik di negara ini lebih kerap berjalan lambat daripada berjalan cepat, maka upaya mengangkat kembali Kasus 27 Juli itu seiring waktu pupus begitu saja. Mungkin memang disadari bahwa memanggil para saksi terkait kasus tersebut tidaklah mudah. Mantan presiden Soeharto, misalnya, saat itu dinyatakan “sakit permanen”. Belum lagi jika pengadilan juga harus memanggil Megawati (Ketua Umum PDI “yang tertindas” saat itu, yang markasnya diserang di hari Sabtu kelabu 27 Juli 1996) sebagai saksi. Di sisi lain, posisi “sang tertindas” yang dialami SBY pun seiring waktu berbuah berkah bagi dirinya. Ia makin populer sebagai pemimpin harapan masa depan, hingga akhirnya mampu mengalahkan Megawati secara telak dalam dua putaran Pilpres saat itu. Inilah yang mestinya dipikirkan secara kritis oleh para politisi dari kelompok maupun kekuatan politik yang merasa khawatir akan popularitas SBY, Wiranto, Sutiyoso, dan Prabowo. Pertama, bahwa kerja-kerja politik seharusnya bukan hanya bertujuan meraih kekuasaan sebesar-besarnya, tetapi juga memberi sosialisasi politik yang baik kepada publik. Karena itu, bekerjalah sekeras mungkin seraya tetap mengedepankan etika politik. Kedua, artikulasikanlah pelbagai isu politik penting dan perjuangkanlah menjadi agenda-agenda politik dengan membuat skala prioritas dan memperhatikan konteks situasinya. Kasus orang-orang yang hilang di tahun 1998 itu memang penting dituntaskan. Namun, tidakkah ini akan menimbulkan kekacauan politik menjelang Pemilu 2009? Sebab, kelak jika Pengadilan HAM Ad hoc dibentuk, saksi yang satu niscaya meminta saksi-saksi lainnya dipanggil. Sementara di antara sederet saksi yang patut dipanggil itu ada yang sudah meninggal, ada yang menjadi wakil rakyat maupun calon wakil rakyat, dan lainnya. Sementara di sisi lain masa kampanye Pemilu 2009 tengah berlangsung, sehingga kampanye-kampanye hitam maupun negatif bukan tak mungkin akan bergulir deras di tengah publik. Alhasil, animo publik untuk berpartisipasi dalam pemilu nanti semakin berkurang. Sehingga, alih-alih demokrasi kian berkualitas dan hukum ditegakkan, yang terjadi justru baku jegal penuh intrik dengan cara mengungkap pelbagai kasus pelanggaran berat hak asasi manusia di masa silam. Pengungkapan kasus-kasus tersebut memang penting dan perlu, namun bukan untuk kepentingan politik kelompok-kelompok tertentu, melainkan demi kebenaran dalam sejarah politik Indonesia. Karena itu, yang teramat penting diperjuangkan adalah terbentuknya komisi kebenaran dan rekonsiliasi, dengan memperjuangkan undang-undangnya di DPR yang baru nanti. * Dosen Fisipol UKI dan pengamat sospol. (www.victorsilaen.com)