http://www.gatra.com/artikel.php?id=122751
Menakar Neraca Pembayaran Kita Memasuki tahun 2009, hampir semua negara mengagendakan kelanjutan kebijakan fiskal. Inilah siasat pemerintah guna menyikapi pengaruh negatif rentetan krisis keuangan global. Pemerintah Indonesia pun bereaksi cepat dengan menurunkan harga bahan bakar minyak. Namun penurunan untuk ketiga kalinya itu ternyata belum efektif mendongkrak daya beli masyarakat. Di sisi lain, kita juga dihadapkan pada ancaman gelombang pemutusan hubungan kerja yang terus berlanjut akibat melemahnya perekonomian dunia. Jika dicermati, penanganan kebijakan ekonomi selama empat tahun terakhir ini lebih didasarkan pada politik anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang sarat dengan muatan politis dan birokratis. Akibatnya, pemerintah sering lamban dan kurang mampu merespons peluang besar dalam bingkai sosial, politik, dan keamanan yang stabil. Padahal, membukukan pertumbuhan double digit, seperti halnya Cina dan India, sangat berpeluang dimiliki negeri ini. Syaratnya, politik APBN yang durasinya sangat pendek (single years) dan berciri fire fighting approach harus segera ditinggalkan. Sejak 1998, APBN kita terbelengu oleh tingginya beban utang akibat rekapitalisasi obligasi perbankan. Belum lagi persoalan kemiskinan, pengangguran, dan tenaga kerja yang belum terselesaikan. Kondisi ini diperparah dengan masalah nilai tukar yang ''pseudo''-stabil. Sejatinya, persoalan nilai tukar ini tidaklah berkaitan dengan kebijakan yang dianut Pemerintah Indonesia, baik sebelum maupun sesudah krisis 1998. Selama ini, pemerintah menganut prinsip pengetatan likuiditas dengan menaikkan suku bunga, dengan harapan dapat mengurangi spekulasi mata uang. Lantas, bagaimana solusi atas berbagai persoalan tadi? Meski bukan jaminan obat mujarab, paling tidak kuncinya terletak pada optimalisasi manajemen utang pemerintah. Restrukturisasi utang, termasuk perubahan undang-undang untuk menjadikan pembayaran utang, misalnya, tidak lebih 15% dari total APBN, setidaknya akan mampu mengurangi beban akut perekonomian Indonesia. Berdasarkan studi empiris berbagai negara pasca-krisis Asia 1998, terbukti bahwa tidak ada satu pun sistem nilai tukar yang menjamin stabilitas nilai tukar. Cina dan India bisa menjadi contoh ekstremnya. Langkah Cina dengan free float-nya dan fixed exchange rate yang diterapkan India ternyata mampu menghasilkan stabilitas nilai tukar selama satu dasawarsa terakhir. Dengan itulah mereka berhasil menyerap investasi asing langsung sehingga memperkuat surplus neraca pembayarannya. Saya sepakat dengan analisis ekonom Iwan Jaya Azis, yang secara tegas menyatakan tidak ada hubungan antara kenaikan suku bunga dan nilai tukar. Justru hal penting yang harus dilakukan pada situasi krisis adalah penguatan ekonomi domestik dengan menjaga konsumsi rumah tangga, peningkatan produktivitas, dan daya beli masyarakat. Sesungguhnya penguatan itu sangat berpeluang didapatkan. Apalagi, tren pembentukan produk domestik bruto Indonesia menunjukkan bahwa komponen konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi terbesar, yang disusul oleh investasi, belanja pemerintah, dan perdagangan luar negeri (ekspor dan impor). Sedangkan komponen net ekspor yang merupakan penghasil devisa justru mengalami penurunan sejak dua tahun terakhir. Bahkan, pada triwulan ketiga 2008, kontribusinya mengalami kontraksi negatif sebesar 0,1%. Kisah sukses Cina dalam mengakumulasi cadangan devisa hampir dua kali lipat dalam tempo singkat mestinya menjadi pegangan bagi Indonesia ke depan. Bayangkan, hanya dalam kurun waktu dua tahun, cadangan devisa "negeri tirai bambu" itu meningkat US$ 1 trilyun menjadi US$ 1,975 trilyun pada akhir Desember lalu. Inilah konsekuensi logis dari besaran nilai net ekspor dan modal langsung ke dalam negeri yang fantastis. Tingginya kinerja pertumbuhan ekonomi tidak terlepas dari tingkat kepercayaan dunia usaha yang terefleksi pada stabilitas nilai tukar dan posisi cadangan devisa pemerintah. Adapun cadangan devisa merupakan konsekuensi surplusnya neraca pembayaran. Untuk menjaga neraca itu tetap surplus, penguatan investasi langsung dan pinjaman pemerintah serta kinerja ekspor setelah dikurangi impor harus diupayakan agar tetap positif. Untuk itulah, dalam situasi ekonomi yang carut-marut ini, Indonesia harus tegas memutuskan politik ekonominya yang berbasis ''resourced based economy''. Kebijakan politik pertanian, pertambangan, kehutanan, kelautan, pariwisata, dan pemberdayaan manusia menjadi jurus ampuh dalam membangun daya saing. Dengan politik ekonomi yang jelas itulah, kita akan mampu memperkuat daya saing ekspor, yang pada gilirannya memperbesar surplus neraca pembayaran. Sugiharto Chairman of Steering Committee The Indonesia Economic Intelligence [Perspektif, Gatra Nomor 11 Beredar Kamis, 22 Januari 2009]