Menanti Teologi Politik Para Caleg 

Oleh: Syahrul Kirom *

Mulai zaman Orde Lama, Orde Baru, hingga pascareformasi, banyak masyarakat 
Indonesia yang hidup serba kesusahan dan kekurangan dalam mencukupi kebutuhan 
keluarga. Apakah elite politik tidak melihat realitas tersebut ? Apakah elite 
politik dan caleg hanya akan menebar janji dalam Pemilu 2009. Rakyat 
membutuhkan bukti yang nyata dari elite politik untuk menyejahterakan dan 
mengentaskan kemiskinan. Jika janji-janji politik tidak ditepati akan 
menyebabkan peradaban bangsa Indonesia semakin hancur.

Karena itu, menjelang Pemilu Legislatif 9 April 2009, caleg dan elite politik 
harus mulai membenahi sistem partai politik, etika, dan perilakunya kepada 
rakyat Indonesia. Jika tidak ada perubahan dalam moral elite politik, rakyat 
tidak akan memilih untuk Pemilu 2009. Sebab, pemilu yang diadakan lima tahun 
sekali tidak memberikan efek positif bagi kepentingan bangsa dan rakyat 
Indonesia.

Karena itu, kita membutuhkan teologi politik untuk membenahi perilaku moral 
elite politik, bukan tindakan politik secara ansich, yang mementingkan 
kepentingan partai politik dan kelompoknya. Tapi, bangsa Indonesia ini 
membutuhkan calon pemimpin yang mempunyai visi, beragama, dan etika politik 
yang baik kepada rakyat Indonesia untuk melahirkan suatu pandangan yang jauh 
lebih baik demi kepentingan dan kesejahteraan bangsa Indonesia. 

Dengan begitu, untuk membenahi pembusukan para elite politik dan calon 
legislatif, kita butuh teologi politik. Kehadiran Tuhan harus ada dalam alam 
pikiran elite politik dan caleg sebagai upaya preventif dalam membangun 
kesadaran etika politik untuk mencegah terjadinya subversivitas, seperti 
korupsi, money politics, penyimpangan kekuasaan, pengelembungan suara dalam 
Pemilihan Legislatif (pileg) 9 April 2009.

Ada beberapa faktor mengapa teologi harus dilibatkan dalam politik. Pertama, 
kehancuran bangsa Indonesia ini bisa juga disebabkan perilaku elite politik 
yang tidak memberikan pelayanan kepada rakyat Indonesia. Kita sering melihat 
perilaku elite politik yang tidak terpuji, misalnya, korupsi uang negara.

 

Menurut Johann Baptist Metz, teolog Jerman, mengusung gagasan teologi ke dalam 
politik bertujuan memberikan pendasaran teologis yang kuat terhadap elite 
politik dan calon legislatif. Hal itu dilakukan sebagai bentuk pendorong 
inisiatif dan iktikad yang baik dari elite politik dalam Pemilu 2009 terhadap 
rakyat Indonesia demi menyejahterakan dan memakmurkan kepentingan bangsa dan 
negara Indonesia. 

Kedua, dosa-dosa besar elite politik tampak sudah begitu besar terhadap rakyat 
Indonesia. Hal itu tampak sekali bahwa para wakil rakyat yang tidak pernah bisa 
mengentaskan kemiskinan dan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat 
Indonesia. Menurut Toshihiko Izutsu dalam karyanya, The Concept of Belief in 
Islamic Theology: A Semantical Analysis of Iman and Islam" (1994), bahwa dosa 
besar memang melanda umat Islam yang tak pernah berlaku jujur dan mengemban 
amanah rakyat, apalagi mengabdikan diri untuk rakyat Indonesia.

Ketiga, kehadiran Tuhan dalam sistem perpolitikan di Indonesia sangat penting 
sebagai upaya untuk membenahi moralitas elite politik dan sikap politisi yang 
sangat paradoksal dengan hati nurani rakyat. Misalnya, kasus korupsi yang 
sering melanda anggota DPR dan DPRD menjadi bukti nyata. Dengan melakukan 
praktik korupsi, berarti telah menyelewengan jabatan kekuasaan. Fenomena itulah 
yang sangat kita sayangkan. Sudah seharusnya wakil rakyat memberikan teladan 
yang baik kepada rakyat Indonesia.

Tak salah kiranya, maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, bahkan 
penyelewengan kekuasaan, yang dilakukan pejabat negara telah membiaskan makna 
dan hakikat politik sebagai alat yang luhur sesungguhnya. Bakkan, telah 
menjadikan politik sebagai sebuah alat kepentingan yang menjadikan manusia 
sebagai -meminjam bahasa Thomas Hobbes- homo homini lupus, manusia yang jahat 
dan rakus terhadap harta benda dan kekuasaan. 

Keempat, Michael Novak (1969) dalam A Theology for Radical Politics menyatakan 
secara eksplisit bahwa sudah seharusnya teologi politik dijadikan alat atau 
petunjuk dalam menyelenggarakan kekuasaan. Karena itu, politik sangat berkaitan 
dengan teologi sehingga menyangkut visi mendasar tentang kehidupan individu dan 
masyarakat Indonesia dalam sebuah negara-bangsa (nation-state).

 

Karena itu, -meminjam analisis Boni Hargens- dalam pesta Pemilu Legislatif 9 
April 2009 ini yang diharapkan rakyat adalah pemerintah ''hadir bagi rakyat'' 
bukan hanya ketika bencana melanda atau ketika pergolakan politik separatisme 
memanas, melainkan dalam keseluruhan proses berbangsa dan bernegara.. Dengan 
begitu, implikasinya bahwa rakyat tidak hanya ''dipandang berarti'' ketika 
suaranya dalam pemilu sangat berharga untuk membeli kursi kekuasaan. 

Melainkan juga, rakyat yang selamanya berharga karena kekuasaan merupakan 
wewenang politik yang didaulatkan oleh rakyat sebagai sarana untuk menciptakan 
keadilan (justitia) dan kebaikan umum (bonum commune). Karena itu, membumikan 
teologi politik merupakan langkah yang paling konstruktif dalam membangun 
peradaban bangsa Indonesia terhadap pesta demokrasi pada Pemilu 2009 agar 
menghasilkan calon pemimpin yang berkualitas, bertanggung jawab, beriman, dan 
bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa. 

*) Alumnus Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 
Jogjakarta 
 
http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=58876
http://media-klaten.blogspot.com/
 
http://groups.google.com/group/suara-indonesia?hl=id
 
salam
Abdul Rohim


      

Kirim email ke