Suara Merdeka
15 November 2008


Tajuk Rencana
Mendung Korupsi di Langit Hukum

Rencana pemanggilan mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza 
Mahendra oleh Kejaksaan Agung sebagai saksi terkait dugaan korupsi dalam Sistem 
Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum), Selasa mendatang, menjadi bagian dari 
warna langit penegakan hukum masalah korupsi. Kesan yang kita tangkap, makin 
banyak pejabat tinggi atau mantan pejabat tinggi mudah berurusan dengan proses 
peradilan. Tak peduli punya akses kuat ke pusat kekuasaan, seperti dalam 
penetapan status tersangka Aulia Pohan yang sehari-hari adalah besan Presiden 
Susilo Bambang Yudhoyono.

Namun kita juga menangkap kesan perlakuan berbeda ketika Satgas Penanganan 
Tindak Pidana Korupsi Kejakgung menahan Romli Artasasmita, awal pekan ini, yang 
langsung ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi Sistem Administrasi 
Badan Hukum. Selama ini kita mengenal Pakar hukum Universitas Padjadjaran itu 
galak mengkritisi perkara-perkara korupsi. Kita mendukung tiap upaya penegakan 
hukum, namun bandingkanlah penangkapan Romli, misalnya dengan tarik ulur 
rencana pemanggilan Yusril. Bandingkan pula bagaimana proses rumit dalam 
penetapan Aulia Pohan sebagai tersangka.

Tindak kejahatan korupsi tentu tidak akan pernah membedakan pelaku, karena tiap 
orang yang memegang kekuasaan - dalam level apa pun - punya potensi untuk 
terlibat. Penangkapan Romli Artasasmita mengingatkan pada Achmad Ali, guru 
besar Sosiologi Hukum Universitas Hasanuddin yang juga pernah ditetapkan 
sebagai tersangka kasus korupsi, namun kemudian bebas karena tidak terbukti. 
Tidaklah berlebihan jika perbandingan kecepatan proses penanganan tokoh-tokoh 
kritis itu lalu mengundang pertanyaan, apakah ada skenario tertentu untuk 
melemahkan semangat melawan korupsi?

Makin trengginas aparat dan lembaga hukum kita dalam penanganan kasus-kasus 
korupsi, makin terbuktilah komitmen negara dan pemerintah. Namun semangat itu 
tentu perlu dikemas dengan "bahasa proses" yang tidak membeda-bedakan orang. 
Bagaimanapun, di luar pertimbangan-pertimbangan lembaga seperti Kejaksaan atau 
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam tiap langkahnya, masyarakat tentu 
menyoroti berbagai proses yang berlangsung, perbandingan penanganan antara satu 
kasus dengan kasus lainnya, serta mungkin kejanggalan-kejanggalan yang dilihat 
dan dirasakan dari kacamata awam.

Kita tidak tahu bagaimana nasib pengakuan politisi Agus Condro Prayitno, yang 
menerima lembar-lembar cek perjalanan senilai Rp 500 juta terkait dengan 
pemilihan deputi Gubernur Bank Indonesia. Penyebutan sejumlah nama di lembaga 
legislatif oleh Agus Condro kepada KPK sejauh ini belum ditindaklanjuti sebagai 
laporan yang sebenarnya terbuka. Amatan publik dengan perbandingan, atau 
kejanggalan semacam itu juga sering terhubung dengan kemungkinan-kemungkinan 
konsiderans yang beraspek politik. Itulah mungkin yang tanpa kita sadari 
membedakan antara keadilan "rasa awam" dengan keadilan "rasa institusi".

Mudah-mudahan skeptisitas itu tidak benar: ada skenario pelemahan semangat 
antikorupsi, tebang pilih karena pertimbangan orang, kuatnya kepentingan 
politik, dan sebagainya. Juga harus didorong dengan proses-proses yang makin 
wajar, sehingga tidak muncul "beda rasa keadilan" antara awam dan lembaga 
hukum. Komitmen penegakan hukum untuk melawan korupsi membutuhkan dukungan kuat 
rakyat, sebaliknya rakyat juga butuh bahasa pembuktian dengan proses-proses 
hukum yang adil, tidak pilih-pilih justru untuk melawan tiap upaya yang bisa 
melemahkan semangat pemberantasan kejahatan luar biasa itu. 

Kirim email ke