Mengambil Hikmah Dari Yahudi-Yahudi "Nyeleneh"

Katagori : Counter Liberalisme
Oleh : Redaksi 16 Feb 2009 - 5:30 pm

Oleh Adian Husaini
Al-Quran menyebutkan bahwa kaum ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) memang tidak 
sama. Ada yang kemudian beriman kepada kenabian Muhammad saw. Jumalhnya sedikit 
(QS 2:88). Tetapi sebagian besar fasik. (QS 3:110). Di zaman Rasulullah saw, 
ada dua tokoh Yahudi yang terkemuka yang akhirnya memeluk Islam, beriman kepada 
risalah yang dibawa Nabi Muhammad saw. Keduanya, yakni Hushein bin Salam dan 
Mukhairiq, menjadi bahan cemoohan kaumnya sendiri. Jika sebelumnya mereka 
sangat dihormati, setelah masuk Islam, mereka dikucilkan.

Moenawar Khalil, dalam bukunya, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw (Jakarta: 
GIP, 2001), menceritakan, Hushein bin Salam kemudian diganti namanya oleh 
Rasulullah saw menjadi Abdullah bin Salam.

Dia pernah membuktikan bagaimana sikap kaumnya terhadap dirinya. Suatu ketika, 
kaum Yahudi datang kepada Rasulullah, saat Abdullah bin Salam sedang di sana. 
Dia berpesan kepada Rasulullah agar menanyakan kepada kaumnya, bagaimana 
pandangan mereka terhadap dirinya. Saat kaum Yahudi datang, Rasulullah saw 
bertanya pada mereka, bagaimana pandangan mereka terhadap Husein. Yahudi 
menjawab: "Ia adalah sebaik-baik orang kami dan sebaik-baik anak lelaki orang 
kami. Ia adalah semulia-mulia orang kami dan anak lelaki dari seorang yang 
paling alim dalam golongan kami, karena dewasa ini di kota Madinah tidak ada 
seorangpun yang melebihi kealimannya tentang kitab Allah (Taurat)."

Kaum Yahudi itu memuji-muji Abdullah. Kemudian Abdullah muncul dan mengajak 
kaum Yahudi untuk beriman pada kenabian Muhammad saw. Abdullah mengatakan 
kepada kaumnya, bahwa mereka sebenarnya telah memahami Muhammad adalah utusan 
Allah, sebab sifat-sifatnya telah disebutkan dalam Kitab mereka.

Mendengar ucapan Abdullah bin Salam, kaum Yahudi berbalik mencaci maki, dan 
menuduhnya sebagai pendusta. Sebab, dia sudah tidak lagi memeluk agama Yahudi. 
Ketika itu, turunlah wahyu kepada Rasulullah saw:

"Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku, bagaimanakah pendapatmu jika Al Qur'an itu 
datang dari sisi Allah, padahal kamu mengingkarinya dan seorang saksi dari Bani 
Israil mengakui (kebenaran) yang serupa dengan (yang disebut dalam) Al Qur'an 
lalu dia beriman, sedang kamu menyombongkan diri. Sesungguhnya Allah tiada 
memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim".(QS Al-Ahqaf ayat 10)

Setelah kabar keislaman Abdullah bin Salam tersiar di kalangan kaum Yahudi, 
maka mereka dengan congkak dan sombong mengata-mengatai, mencaci-maki, 
menghina, menjelek-jelekkan dan memusuhinya dengan sekeras-kerasnya. Pada suatu 
hari di antara pendeta-pendeta Yahudi ada yang berkata kepada yang lainnya dan 
perkataan itu sengaja ditujukan kepada Abdullah bin Salam, di antaranya: "Tidak 
akan seseorang yang percaya kepada Muhammad dan seruannya melainkan orang yang 
seburuk-buruknya dan serendah-rendahnya. Orang yang paling baik dan paling 
mulia dari golongan kita tidak akan berani meninggalkan agama pusaka nenek 
moyangnya dan mengikuti agama lain, dari golongan lain dan bangsa lain. Jadi, 
barangsiapa dari golongan kita sampai mengikuti agama Muhammad teranglah bahwa 
ia seorang yang sejahat-jahatnya di kalangan kita."

Abdullah bin Salam tidak mempedulikan caci maki keluarga dan kaumnya. Dia terus 
bertahan dalam Islam dan termasuk sahabat Nabi dari kaum Anshar. Ia meninggal 
tahun 43 H di Madinah, di masa Khalifah Mu'awiyah.

"Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku 
lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang 
mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari 
penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar 
dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk 
orang-orang yang saleh. Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka 
sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala) nya; dan Allah Maha 
Mengetahui orang-orang yang bertakwa." (QS Ali Imran ayat 113-115)

Abdullah bin Salam termasuk diantara kaum Yahudi yang nyeleneh, yang berani 
menentang tradisi kesombongan kaumnya sendiri. Di antara kaum Yahudi, ada juga 
yang berani mengkritik ajaran agamanya dan praktik-praktik kebiadaban kaumnya 
sendiri, meskipun mereka tidak sampai memeluk agama Islam. Salah satunya adalah 
Dr. Israel Shahak . Guru besar biokimia di Hebrew University ini memang bukan 
Yahudi biasa. Dia tidak seperti sebagaimana kebanyakan Yahudi lainnya, yang 
mendukung atau hanya bengong saja menyaksikan kejahatan kaumnya.


Suatu ketika, saat dia berada di Jerusalem, pakar biokimia dari Hebrew 
University ini menjumpai kasus yang mengubah pikiran dan jalan hidupnya. Saat 
itu, hari Sabtu (Sabath) Shahak berusaha meminjam telepon seorang Yahudi untuk 
memanggil ambulan, demi menolong seorang non-Yahudi yang sedang dalam kondisi 
kritis.

Di luar dugaannya, si Yahudi menolak meminjamkan teleponnya. Orang non-Yahudi 
itu pun akhirnya tidak tertolong lagi. Prof. Shahak kemudian membawa kasus ini 
ke Dewan Rabbi Yahudi – semacam majlis ulama Yahudi – di Jerusalem. Dia 
menanyakan, apakah menurut agama Yahudi, tindakan si Yahudi yang tidak mau 
menyelamatkan orang non-Yahudi itu dapat dibenarkan oleh agama Yahudi. 
Lagi-lagi, Prof. Shahak terperangah. Dewan Rabbi Yahudi di Jerusalem (The 
Rabbinical Court of Jerusalem) menyetujui tindakan si Yahudi yang mengantarkan 
orang non-Yahudi ke ujung maut. Bahkan, itu dikatakan sebagai "tindakan yang 
mulia". Prof. Shahak menulis: "The answered that the Jew in question had 
behaved correctly indeed piously."

Kasus itulah yang mengantarkan Prof. Shahak untuk melakukan pengkajian lebih 
jauh tentang agama Yahudi dan realitas negara Israel. Hasilnya, keluar sebuah 
buku berjudul Jewish History, Jewish Religion (London: Pluto Press, 1994). 
Dalam penelitiannya, ia mendapati betapa rasialisnya agama Yahudi dan juga 
negara Yahudi (Israel). Karena itulah, dia sampai pada kesimpulan, bahwa negara 
Israel memang merupakan ancaman bagi perdamaian dunia. Katanya, "In my view, 
Israel as a Jewish state constitutes a danger not only to itself and its 
inhabitants, but to all Jew and to all other peoples and states in the Middle 
East and beyond."

Sebagai satu "negara Yahudi" (a Jewish state), negara Israel adalah milik 
eksklusif bagi setiap orang yang dikategorikan sebagai "Jewish", tidak peduli 
dimana pun ia berada. Shahak menulis: "Israel 'belongs' to persons who are 
defined bu the Israeli authorities as 'Jewish', irrespective of where they 
live, and to them alone." Shahak menggugat, kenapa yang dipersoalkan hanya 
orang-orang yang bersikap anti-Yahudi. Sementara realitas pemikiran dan sikap 
Yahudi yang sangat diskriminatif terhadap bangsa lain justru diabaikan.

Kaum Yahudi, misalnya, dilarang memberikan pertolongan kepada orang non-Yahudi 
yang berada dalam bahaya. Cendekiawan besar Yahudi, Maimonides, memberikan 
komentar terhadap salah satu ayat Kitab Talmud: "It is forbidden to save them 
if they are at the point of death; if, for example, one of them is seen falling 
into the sea, he should not be rescued." Jadi, kata Maimonides, adalah 
terlarang untuk menolong orang non-Yahudi yang berada di ambang kematian. Jika, 
misalnya, ada orang non-Yahudi yang tenggelam di laut, maka dia tidak perlu 
ditolong. Israel Shahak juga menunjukkan keanehan ajaran agama Yahudi yang 
menerapkan diskriminasi terhadap kasus perzinahan. Jika ada laki-laki Yahudi 
yang berzina dengan wanita non-Yahudi, maka wanita itulah yang dihukum mati, 
bukan laki-laki Yahudi, meskipun wanita itu diperkosa. Tidak banyak orang 
Yahudi yang berani bersuara keras terhadap agama dan negaranya, seperti halnya 
Prof. Israel Shahak, sehingga dia memang bisa dikategorikan Yahudi yang 
nyeleneh.

Yahudi nyeleneh lainnya yang kemudian memeluk Islam bahkan menjadi Muslimah 
yang hebat adalah Margareth Marcus, yang kemudian mengganti namanya menjadi 
Maryam Jameela. Kisah hidup Maryam Jameela dapat dibaca dalam buku Surat 
Menyurat Maryam Jamilah –Maududi (Bandung: Mizan, cet. Ke-4, 1990).

Margareth Marcus termasuk orang Yahudi Amerika yang nyeleneh. Ketekunan dan 
kesungguhannya untuk mempelajari berbagai agama dan pemikiran-pemikiran modern 
akhirnya mengantarkannya menjadi seorang Muslimah, dan berganti nama menjadi 
Maryam Jameela. Ia kemudian dikenal sebagai seorang cendekiawan Muslim terkenal 
dan penulis banyak buku yang cukup bermutu. Sejak remaja, Margareth Marcus 
sudah berbeda dengan kebanyakan teman sebayanya. Dia sama sekali tidak 
menyentuh rokok atau minuman keras. Pesta-pesta dan dansa-dansa pun dia jauhi. 
Ia hanya tertarik dengan buku dan perpustakaan.

Ia bercerita tentang kisah ketertarikannya kepada Islam. Pada tahun kedua di 
Universitas New York, Margareth mengikuti mata kuliah tentang Yudaisme dan 
Islam. Dosennya seorang rabbi Yahudi. Pada setiap kuliah, sang dosen selalu 
menjelaskan, bahwa segala yang baik dalam Islam sebenarnya diambil dari 
Perjanjian Lama (Bibel Yahudi), Talmud, dan Midrash. Kuliah itu juga diselingi 
pemutaran film dan slide propaganda Zionis. Tapi, kuliah yang menyudutkan Islam 
itu justru berdampak sebaliknya bagi Margareth. Dia justru semakin melihat 
kekeliruan ajaran Yahudi dan semakin tertarik dengan Islam. Dalam suratnya 
kepada Abul A'la al-Maududi (seorang ulama besar Pakistan), Margreth menulis:

"Walaupun kenyataannya di dalam kitab Perjanjian Lama terdapat konsep-konsep 
universal tentang Tuhan dan cita moral luhur seperti yang diajarkan oleh para 
nabi, tetapi agama Yahudi selalu mempertahankan karakter kesukuan dan 
kebangsaan. Dan meskipun di dalamnya terdapat idealisme luhur, namun kitab suci 
agama Yahudi itu bagaikan buku sejarah orang Yahudi saja layaknya – sejarah 
ketuhanan dan kebangsaannya... Sebagian besar pemimpin Yahudi memandang Tuhan 
sebagai super agen real estate yang membagi-bagikan lahan untuk keuntungan 
mereka sendiri... Betapa pun unggulnya perkembangan ilmu pengetahuan dan 
teknologi Israel, namun saya yakin kemajuan material yang dikombinasikan dengan 
moralitas kesukuan bangsa "terpilih" ini adalah suatu ancaman yang amat besar 
bagi perdamaian dunia."

Margareth Marcus kemudian memilih Islam sebagai jalan hidupnya. Dalam salah 
satu tulisannya, Margareth menulis: "... saya percaya bahwa Islam adalah jalan 
hidup yang unggul dan merupakan satu-satunya jalan menuju kebenaran." Namun, 
Margareth mengaku keheranan, banyak orang Islam sendiri yang tidak meyakini 
keunggulan Islam. Ia menulis tentang hal ini:

"Berkali-kali saya bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa Islam yang belajar pada 
universitas-universitas di New York yang berusaha meyakinkan saya bahwa Kemal 
Attaturk adalah orang Islam yang baik, dan bahwa Islam harus menerima kriteria 
filsafat kontemporer, sehingga bila ada akidah Islam dan periabadatannya yang 
menyimpang dari kebudayaan Barat modern, maka hal itu harus dicampakkan. 
Pemikiran demikian dipuji sebagai "liberal", "berpandangan ke depan", dan 
"progresif". Sedang orang-orang yang berpikiran seperti kita dicap sebagai 
"reaksioner dan fanatik", yakni orang-orang yang menolak untuk menghadapi 
kenyataan masa kini."

Sebelum resmi menyatakan diri sebagai Muslimah, Margareth Marcus telah menulis 
berbagai artikel yang membela Islam di sejumlah jurnal internasional. Ia dengan 
tegas memberikan kritik-kritiknya terhadap paham-paham modern. Dalam suratnya 
kepada Maududi, 5 Desember 1960, ia menulis:

"Pada tahun lalu saya telah berketetapan hati untuk membaktikan kehidupan saya 
guna berjuang melawan filsafat-filsafat materialistik, sekularisme, dan 
nasionalisme yang sekarang masih merajalela di dunia. Aliran-aliran tersebut 
tidak hanya mengancam kehidupan Islam saja, tetapi juga mengancam seluruh umat 
manusia."

Dalam buku yang ditulisnya, berjudul Islam versus the West, Maryam Jemeela 
memaparkan bahwa antara Islam dan Barat terdapat perbedaan yang fundamental. 
Sehingga, menurutnya, tindakan imitatif atau penjiplakan terhadap pandangan 
hidup Barat yang berbasiskan materialisme, pragmatisme, dan filsafat sekular, 
akan berujung pada pemusnahan Islam. (The imitation of Western ways of life 
based on their materialistic, pragmatic, and secular philosophies can only lead 
to the abandonment of Islam).

Untuk lebih menekuni dan tenang dalam menjalankan Islam, Maryam Jameela 
kemudian memilih untuk berhijrah ke Pakistan, setelah mendapat izin dari kedua 
orang tuanya. Maryam Jameela pun termasuk sedikit diantara kaum Yahudi yang 
memiliki sikap kejujuran dan keberanian untuk menerima Islam. Jadi, bisa 
dikatakan, dia juga nyeleneh.

Yahudi lain yang kemudian bersikap tidak biasa adalah Leopold Weiss yang 
kemudian berganti nama menjadi Muhammad Asad. Bukunya yang sangat bagus untuk 
dibaca berjudul Islam at the Cross Road (Islam di Simpang Jalan). Sebagaimana 
Maryam Jameela, dalam buku ini, Asad juga memaparkan dengan jitu bagaimana 
karakteristik peradaban Barat dan bagaimanma seharusnya kaum Muslim menghadapi 
serbuan pemikiran dan budaya Barat.

Muhammad Asad mencatat, bahwa Peradaban Barat modern hanya mengakui penyerahan 
manusia kepada tuntutan-tuntutan ekonomi, sosial, dan kebangsaan. Tuhannya yang 
sebenarnya bukanlah kebahagiaan spiritual melainkan keenakan, kenikmatan 
duniawi. Mereka mewarisi watak nafsu untuk berkuasa dari peradaban Romawi Kuno. 
Konsep "keadilan" bagi Romawi, adalah "keadilan" bagi orang-orang Romawi saja. 
Sikap semacam itu hanya mungkin terjadi dalam peradaban yang berdasarkan pada 
konsepsi hidup yang sama sekali materialistik. Asad menilai, sumbangan agama 
Kristen terhadap peradaban Barat sangatlah kecil. Bahkan, saripati peradaban 
Barat itu sendiri sebenarnya 'irreligious'. (… so characteristic of modern 
Western Civilization, is as unacceptable to Christianity as it is to Islam or 
any other religion, because it is irreligious in its very essence).

Asad juga mengingatkan, bahwa bahaya terbesar yang dihadapi kaum Muslim di era 
modern adalah peniruan model hidup Barat. Dia katakan: Peniruan model hidup 
Barat – secara individual dan sosial – oleh kaum Muslimin, tidak diragukan lagi 
merupakan bahaya terbesar bagi kehidupannya. Atau, tepatnya, bagi kebangkitan 
kembali peradaban Islam."

Juga, menurut Asad, umat Islam harus memiliki kebanggaan terhadap peradabannya 
sendiri dan tidak memutuskan kehidupannya dengan sejarahnya sendiri. Sebab, 
tulisnya, "No civilization can prosper or even exists, after having lost this 
pride and the connection with its own past." (Tidak ada satu peradaban yang 
dapat berkembang, atau bahkan eksis, jika telah kehilangan kebanggaan terhadap 
peradabannya sendiri dan terputus dengan masa lalunya sendiri).

Itulah sejumlah contoh Yahudi-yahudi yang nyeleneh, yang menyimpang dari 
tradisi kaumnya. Biasanya mereka tidak popular di antara kaum Yahudi sendiri. 
Maryam Jameela menyebutkan ada seorang temannya, Yahudi di AS, yang memeluk 
Islam dan kemudian dipaksa oleh orang tuanya untuk kembali ke agama Yahudi.

Islam telah meluruskan ajaran Yahudi yang membanggakan ideologi darah 
(keturunan). Islam berdasarkan pada keimanan dan ketaqwaan. Siapa pun yang 
bertaqwa, itu yang mulia. Bangsa apapun dia. Ras apa pun dia. Yahudi atau bukan 
Yahudi sama saja. Yang penting Islam. Ideologi darah seperti yang dipraktikkan 
kaum Yahudi adalah ideologi "Iblis". Umat Islam wajib meluruskan ideologi 
semacam ini. Kesombongan dan kedengkian telah menghalangi banyak kaum Yahudi 
untuk menerima kebenaran Islam. [Depok, 13 Februari 2009/hidayatullah.com]


Kirim email ke