Merdeka dari Orang Pintar Oleh: Bashori Muchsin /Berusahalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil,/ /tapi berusahalah menjadi manusia yang berguna/. (Albert Einstein) *APA* yang disampaikan kimiawan terkenal itu cukup menggelitik. Kita (manusia) diingatkan untuk terus berusaha bukan menjadi sosok pelaku sejarah yang berhasil, tapi sebagai manusia yang berguna. Kita dikritik supaya tidak meniti di jalan orang-orang sukses, tetapi di wilayah orang-orang yang berguna. Kita disuruh agar tidak jadi pemburu dan pembaru keberhasilan, tetapi aktivis yang giat memproduk hal-hal yang berguna. Sudah tidak terhitung banyaknya kegiatan yang digelar di tengah masyarakat ini, namun "pergelaran" kegiatan itu tidak membawa kemanfaatan. Kegiatan tersebut bisa mengantar seseorang atau sejumlah orang mendapatkan label berhasil dan pintar, namun kegiatan itu gagal menghadirkan kegunaan bagi masyarakat dan bangsa. Cukup banyak aktivitas yang dilakukan seseorang atas nama kelompok, institusi kependidikan dan keagamaan, partai politik, atau lembaga-lembaga strategis berjustifikasi negara, kepentingan umum, pembangunan, kemiskinan, atau pemberdayaan masyarakat (/social empowering/), yang aktivitas tersebut bisa mengantar pelaksananya berhasil meraih keuntungan politik dan uang berlipat-lipat. Kalau bukan keuntungan politik dan uang, mereka berhasil meraih popularitas, menaikkan "prestasi dan prestise" di ranah strata sosialnya, atau berhasil memenuhi berbagai kebutuhan hedonismenya, melampiaskan perburuan kepentingan biologisnya, atau sukses jadi petualang hebat dalam mengumpulkan pundii-pundi kekayaannya. Mereka itu pun akhirnya menjadi penasbih gaya hidup dan berelasi sosial-politik dan bahkan keagamaannya dengan uang. Keberhasilannya dominan menggunakan kalkulasi pada seberapa besar uang bisa diperoleh atau mengalir kepadanya. Mereka tidak mendengar petuah Aristoteles yang mengingatkan "semakin tinggi penghargaan manusia terhadap kekayaan (uang), maka semakin rendahlah penghargaan manusia terhadap kesusilaan, keadilan, kemanusiaan, dan kejujuran." *** Di negeri ini, sudah banyak orang pintar yang bisa bermain dengan hebat, melalui aktivitas yang ditawarkan, dijual, dan dibarterkan kepada pihak lain. Seperti kolaborasi akademisi dengan birokrasi, atau politisi dengan penguasaha (korporasi), yang membuatnya terus bisa berhasil atau mendulang berbagai prestasi mentereng dan menghasilkan banyak uang. Mereka itu bisa menunjukkan kelincahan lewat kemampuan rasio yang digunakan untuk membuka peluang, menjalin dan menjaring kerja sama, menyusun berbagai pola proposal atau rencana kerja yang membuatnya sebagai sekumpulan "petualang" sukses, khususnya dalam mencairkan dan mengalirkan anggaran-anggaran publik yang jumlahnya tidak sedikit, bisa ratusan miliar hingga triliunan rupiah, baik yang bersumber dari APBN maupun APBD. Beda dengan orang miskin yang tidak berpendidikan tinggi atau tak terkondisikan benar-benar pintar, mereka mustahil bisa menyusun dan membuat proposal, rencana kerja, atau rumus-rumus ilmiah yang berharga mahal. Pasalnya, dengan kemampuan yang serba terbatas, tidak adanya akses kekuasaan, dan sangat sabarnya dalam menerima realitas ketidakberdayaan telah membuatnya tidak kenal, apalagi "berkawan" dengan uang besar. Orang miskin seperti itu mustahil, rasanya, bisa memperoleh stigma sebagai sosok atau golongan yang berhasil. Apa yang diperbuat lebih sering sekadar untuk bertahan hidup. *** Komunitas miskin Indonesia yang jumlahnya (ada yang menyebut) lebih dari 40 juta orang itu kesulitan menuai hak kemerdekaannya akibat sepak terjang orang pintar yang menghegemoninya. Mereka kesulitan mendapatkan hak kesejahteraan, pendidikan berkualitas, layanan kesehatan yang memadai, dan citra diri sebagai warga yang hidup di negara hukum, akibat perilaku orang pintar nakal atau kriminal yang mendesain dirinya menjadi "neokolonialis". Profil orang pintar "neokolonialis" tidak sulit ditemukan di berbagai strata sosial dan struktural. Mereka bisa berdiri dan berperan di tempat-tempat yang dikalkulasi atau direkayasa mampu mendatangkan keuntungan besar. Mereka menjadi arsitek yang sangat lincah dan cerdas dalam memburu dan mengumpulkan uang atau status ningrat yang menguntungkannya secara eksklusif. Mereka itulah yang disebut Enstein bukan kumpulan orang berhasil, namun gagal memberikan manfaat atau kegunaan publik. Mereka menjajah (merampas) hak milik masyarakat lewat proyek-proyek atau proposal yang dikomoditaskannya, yang membuat dirinya bisa menuai kesuksesan atau hidup makmur, namun apa yang dilakukan itu tidak berdampak membebaskan masyarakat miskin. Ketika seseorang atau sekelompok orang sudah hidup mapan, pintar, atau secara ekonomi tergolong sebagai pemilik modal kuat, yang kepemilikan ini dikembangkan menjadi kekuatan korporasi, yang dengan kepintaranya bisa berkolaborasi dengan elite kekuasaan atau kelompok pintar "nakal" untuk menggadaikan moral intelektualitasnya demi proyek yang di dalamnya ada hak-hak publik. Komunitas orang pintar telah bertualang sangat jauh, parah, dan sistemik. Mereka seperti petarung dan pemburu yang tak kenal lelah dan titik nadir dalam memburu, menjerat, dan menangkap buruannya. Aktivitas orang pintar yang terjerumus dalam kriminalitas hak-hak publik menjerumuskan masyarakat dan negeri ini, khususnya orang miskin, dalam keterjajahan kronis. Orang pintar seperti itu telah membentuk dan menghalalkan dirinya sebagai "neokolonialis" yang ke mana-mana hanya sibuk memproduk keterjajahan (akumulasi penderitaan). (*) http://media-klaten.blogspot.com/ http://seizetheday-cloth.blogspot.com/
__________________________________________________ Apakah Anda Yahoo!? Lelah menerima spam? Surat Yahoo! memiliki perlindungan terbaik terhadap spam http://id.mail.yahoo.com