SERIAL TATA RUANG JAKARTA Merindukan Jakarta Bebas Macet Pada 2014 Jalan arteri akan diperluas.
Pengantar: Setahun Lagi, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta periode 2005-2010 akan berakhir. Tempo akan menulis berbagai permasalahan yang menyangkut tata ruang Jakarta dalam beberapa tulisan. Berikut ini adalah tulisan keempat. Japan International Corporation Agency (JICA) memperkirakan Jakarta akan macet total pada 2014. Lembaga Jepang itu mengasumsikan pertumbuhan jumlah kendaraan mencapai 11 persen, sedangkan luas jalan bertambah kurang dari 1 persen setahun. "Saat ini pertumbuhan jalan hanya 0,01 persen per tahun," kata Kepala Dinas Tata Ruang Jakarta Wiriyatmoko. Setiap hari, setidaknya ada 138 kendaraan baru yang turun ke jalanan Jakarta. Seharusnya penambahan kendaraan baru diimbangi dengan penambahan jalan sepanjang 800 meter. Penelitian JICA juga menunjukkan peningkatan waktu tempuh berkendaraan yang rata-rata lebih lama 50 persen jika dibandingkan dengan waktu tempuh berkendaraan pada 1985. Dari Kalideres ke Gadjah Mada yang berjarak 14,6 Kilometer, dulu bisa ditempuh dalam 29,5 menit, tapi kini perlu 51,7 menit. Kerugian ekonomi akibat macet ditaksir Rp 12,8 triliun per tahun. Pada 2020, kerugian diperkirakan sudah mencapai Rp 65 triliun. Penelitian lain yang dilakukan oleh Departemen Perhubungan menunjukkan bahwa 94 persen jalan arteri di Jakarta sudah melebihi kapasitas. Pada jam sibuk, laju kendaraan rata-rata hanya 12 kilometer per jam. Menurut Wiriyatmoko, rata-rata kecepatan laju kendaraan di Jakarta hanya 26,38 kilometer per jam. Masalah pun kian buruk saat hujan deras. Genangan air memenuhi jalanan. Kemacetan kian parah. Beralih fungsinya sejumlah ruang terbuka hijau dituding menjadi penyebabnya karena berkurangnya daerah resapan air. Wiriyatmoko mengatakan, faktor penyebab kemacetan tidak semata masalah tata ruang. Faktor lainnya adalah sarana, prasarana, sistem transportasi umum, dan perilaku pengguna jalan. Dari sisi tata ruang, kesalahan bisa terjadi pada perencanaan tata ruang dan beralih fungsinya suatu kawasan yang tak sesuai dengan perencanaan. Menurut dia, banyak kawasan yang berubah fungsi dari permukiman menjadi kawasan komersial sehingga rawan macet, contohnya di Kemang. "Berubahnya fungsi kawasan berdampak social cost seperti kemacetan," katanya. Agar arus lalu lintas di kawasan komersial bisa lancar, tentunya harus ada jalan yang lebih luas dan penyediaan lahan untuk parkir. "Perubahan fungsi harus diikuti pendukung," katanya. Dari sisi sarana, luas jalan di Jakarta hanya 4 persen dari luas wilayah. "Idealnya 10 hingga 15 persen," katanya. Pembangunan jalan baru masih jauh di bawah kebutuhan. Wiriyatmoko menambahkan, banyak rencana jalan yang belum terealisasi. "Jika outer ring road selesai, hal itu akan banyak membantu beban tol dalam kota," tuturnya. Demi memperlancar arus lalu lintas ke kota lain di sekitar Jakarta, kata Wiriyatmoko, jalan arteri akan diperluas. Jalan Raya Bogor rencananya akan diperlebar dari 20 meter menjadi 34 meter (Cililitan-JORR), dan 52 meter (JORR-perbatasan Jakarta). Jalan Daan Mogot ke Tangerang akan diperlebar 10 meter menjadi 40 meter. Adapun Jalan Hamengku Buwono IX dari yang sekarang lebarnya 30 meter akan diperluas menjadi 50-70 meter. Ari Muhammad dari World Wild Fund Indonesia mengatakan, masalah kemacetan tak akan selesai jika pemerintah masih berpegang pada paradigma konvensional. "Membangun jalan sebanyak apa pun tak akan cukup karena kendaraan pribadi terus bertambah," tuturnya. Ia berpendapat, untuk memecah kemacetan, seharusnya pemerintah mendukung transportasi nonmotor. Pengamat tata kota, Nirwono Joga, sepakat terhadap gagasan itu. "Pedestrian dan jalur sepeda harus dibangun agar orang bisa nyaman tidak memakai kendaraan bermotor," ujarnya. |SOFIAN 4 Skenario untuk Mengurangi Kemacetan Skenario 1: Jaringan Full Development. Diasumsikan, jalan tol akses Tanjung Priok, jalan tol Cikarang-Tanjung Priok, jalan tol Depok-Antasari, berbagai jalan tembus, jalan sejajar, missing link, dan jalan lingkar luar Jakarta sudah tersambung. Kemacetan hanya dapat turun 2,32 persen. Kecepatan rata-rata laju kendaraan di Jakarta meningkat 3,80 km/jam, yakni dari 26,48 km/jam menjadi 30,18 km/jam. Skenario 2: Jaringan full development + Pembangunan 6 koridor jalan tol dalam kota. Pengembangan dari skenario 1 plus 6 koridor jalan tol dalam kota. Kemacetan dapat turun 18,66 persen. Kecepatan laju kendaraan meningkat menjadi 33,76 km/jam. Skenario 3: Skenario 2 + pengembangan angkutan umum. Pengembangan dari skenario 2 plus pembangunan angkutan umum massal seperti busway, monorel, subway, dan perbaikan angkutan kereta api Jabodetabek. Penurunan kemacetan sekitar 44,7 persen. Kecepatan rata-rata laju kendaraan meningkat menjadi 36,51 km/jam. Skenario 4: Skenario 3 + penerapan traffic restraint. Pengembangan skenario 3 plus pemberlakuan kawasan pembatasan lalu lintas pada berbagai pusat bisnis. Menurunkan kemacetan hingga 55,3 persen. Kecepatan rata-rata laju kendaraan bisa mencapai 38,88 km/jam. Sumber: Dinas Tata Ruang DKI SOFIAN http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/04/16/Metro/krn.20090416.162589.id.html -- ********************************** Memberitakan Informasi terupdate untuk Rekan Milist dari sumber terpercaya http://reportermilist.multiply.com/ ************************************