Harian SUARA KARYA
Mewaspadai Upaya Menggugat Pancasila
Oleh HD Haryo Sasongko

Selasa, 17 Juni 2008
Belakangan ini Pancasila yang menjadi dasar negara kita, sebagai falsafah
bangsa kita, dan merupakan perekat persatuan nasional kita, telah terluka.
Tindak kekerasan, baik fisik maupun mental, atas nama agama, demokrasi,
pemilihan kepala daerah (pilkada) hingga pembagian jatah bantuan langsung
tunai (BLT), telah membuat Pancasila seolah-olah kehilangan eksistensinya.

Masih adakah Pancasila? Bisakah Pancasila dijadikan dasar negara, sebagai
acuan (dasar hukum) untuk memvonis seseorang yang telah melanggar hukum atau
melakukan kejahatan yang melawan hukum dengan sebutan "antipancasila" atau
"bertentangan dengan Pancasila"?

Berkait dengan Pancasila ini, ada hal menarik yang patut dikutip di sini,
yakni pernyataan Ridwan Saidi, seorang "tokoh Betawi" yang menegaskan bahwa
Pancasila itu bukan dasar negara kita. Dalam UUD 1945, menurut pendiri
Partai Masyumi Baru itu, Pancasila tak pernah disebutkan secara verbal. Tak
ada kata "Pancasila" di sana.

Sila-sila yang disebut dalam Piagam Jakarta itulah yang kemudian dikenal
sebagai Pancasila. Karena itu, menurut Ridwan Saidi, Piagam Jakarta itulah
konstitusi kita. Masih menurut Ridwan Saidi, Pancasila hanya opini orang
saja yang dikaitkan dengan Pembukaan UUD 1945. Sebelumnya memang pernah
disebut-sebut dalam pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 sebagaimana tercatat
dalam notulen. Tetapi notulen tidak bisa dijadikan konstitusi.

Sementara itu Mahendradata, pakar hukum yang belakangan sering tampil
berkait dengan insiden Monas 1 Juni lalu, menegaskan bahwa Pancasila
hanyalah produk penafsiran yang muncul dalam Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P-4), padahal aplikasi konstitusionalnya adalah Piagam
Jakarta. (Haridadi Sudjono: "Globalisasi" hal 220-221).

Uraian kedua tokoh tersebut menjadi menarik, karena ketika kita sibuk
mengungkap terjadinya tindak kekerasan yang dinilai bertentangan dengan
Pancasila sebagai dasar negara, di pihak lain justru menegaskan bahwa
Pancasila bukanlah konstitusi kita.

Selama ini kita saksikan, ikuti, rasakan dan kita renungkan terjadinya
berbagai tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama, dengan berbagai
kemasannya. Ada kesan kuat sepertinya semua itu didasari oleh aspirasi untuk
menggantikan Pancasila dengan Piagam Jakarta sebagai tujuan utamanya.

Sedangkan untuk mencapainya, seribu satu macam jalan bisa dipakai,
disesuaikan dengan berbagai momentum yang muncul ke permukaan. Dan, ini
merupakan bagian dari matarantai grand-design gerakan transnasional di mana
Indonesia merupakan salah satu negara di antara beberapa negara di Asia
Tenggara yang dijadikan sasaran guna penegakan Khilafah Islamiyah.

Hal itu sudah terlihat dengan penerbitan peraturan daerah (perda) di
beberapa wilayah yang bermuatan syariat Islam. Dan, ini sudah merupakan
realisasi setahap demi setahap dari Piagam Jakarta. Sebagaimana kita
ketahui, berbeda dengan Pembukaan UUD 1945, dalam Piagam Jakarta masih
tercantum kata-kata "...dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya..." di mana tujuh kata ini kemudian dihapus dalam
Pembukaan UUD 1945.

Apabila Piagam Jakarta diberlakukan sebagai konstitusi (sebagaimana
dikehendaki oleh Ridwan Saidi dan Mahendradata tersebut), maka syariat Islam
tak perlu lagi di-"perda"-kan karena sudah menjadi konstitusi nasional.

Tetapi itu merupakan konsepsi yang tidak sesuai dengan kondisi konkret
masyarakat Indonesia yang serba pluralistik. Justru karena itu pulalah sejak
awal kelahirannya Piagam Jakarta tidak pernah menjadi konstitusi nasional.
Tujuh kata tersebut tidak ada dalam Pembukaan maupun batang tubuh UUD 1945.

Konflik horizontal antara FPI (Front Pembela Islam) dengan AKKBB (Aliansi
Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan), misalnya, merupakan
gambaran adanya benturan antara yang bercita-cita menegakkan syariat Islam
dengan yang ingin tetap mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara di
negeri ini. Antara yang ingin menegakkan Khilafah Islamiyah yang bersifat
transnasional dengan yang menginginkan tegaknya pluralisme demokrasi yang
bersifat nasional.

Akar permasalahan ini tidak akan pernah terselesaikan kalau kalangan
fundamentalis yang sering mengimplementasikan cita-citanya dengan cara
radikal tidak mau mengakui dan menerima kenyataan akan kemajemukan bangsa
Indonesia dalam segala hal: suku, agama, ras, etnis, keyakinan, dan lain
sebagainya.

Dengan kondisi seperti ini, maka konstitusi yang kita perlukan adalah yang
dapat mengakomodasi semua pihak. Tidak ada satu pun yang dominan karena
hukum agamanya atau tradisi sukunya dijadikan konstitusi nasional yang
menundukkan hukum agama dan tradisi suku lainnya. Dan, itulah Pancasila
serta UUD 1945.

Dalam orasinya memperingati "Seabad Kebangkitan Nasional dan Hari Lahir
Pancasila," di Jakarta, belum lama ini, mantan Presiden KH Abrurrahman Wahid
menegaskan, "Pancasila disusun untuk mengedepankan semangat kebangsaan dan
kepentingan bangsa yang lebih besar di atas kepentingan golongan atau
kelompok masyarakat. Justru karena mengakui adanya perbedaan-perbedaan, maka
negara harus melindungi hak setiap warga negara, termasuk dalam berkeyakinan
dan beragama, yang mayoritas atau minoritas."

Oleh karena itu, adanya pandangan bahwa keberadaan Pancasila selama ini
bukan merupakan konstitusi negara, bahkan Pancasila dianggap tidak pernah
ada karena hanya merupakan opini dan produk penafsiran atas Piagam Jakarta,
merupakan pandangan yang membahayakan dan juga menyesatkan.

Apalagi, kalau menghendaki Piagam Jakarta diposisikan sebagai dasar negara
sebagai pengganti Pancasila. Bukan tidak mungkin tindak kekerasan atas nama
agama semakin meluas karena adanya rasa unggul atau superioritas pada mereka
yang agamanya disebut-sebut dalam Piagam Jakarta dan akan dijadikan sebagai
enforce power (kekuatan pemaksa). Tanpa Piagam Jakarta pun kecenderungan itu
sudah terjadi.***

Penulis adalah Ketua Kelompok Kajian Humaniora untuk Demokrasi dan Lintas
Agama


-- 
**********************************
Memberitakan Informasi terupdate untuk Rekan Milist dari sumber terpercaya
http://reportermilist.multiply.com/
************************************

Kirim email ke