VIVAnews 20 Maret 2009

Mimpi besar Prabowonomics

Konsep ekonomi Prabowo mengundang kontroversi.

Ekonom berhaluan liberal meragukannya.

GAYANYA di panggung mirip-mirip Soekarno. Tangannya mengepal dan
diangkat-angkat. Orasinya tegas dan lugas. Sindirannya pun tajam. Meski
suara serak, calon presiden Prabowo Subianto tetap berusaha berteriak
lantang, meledak-ledak.

”Saudara-saudara, elit di Jakarta lupa. Negara kita punya kekayaan alam.
Kaya, kaya. Tetapi rakyat tidak mengalami perbaikan nasib. Sistem ekonomi
kapitalis saat ini hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Sebagian
besar tidak merasakannya. Orang tak punya uang tidak boleh hidup negeri ini.

Saya tahu isi hatimu. Kau inginkan pekerjaan yang baik dan halal. Kau ingin
beri makan istri dan anakmu. Betul Ingin sekolahkan anakmu. Betul Apa
Saudara mau jadi kacung terus Mau jadi bangsa miskin terus Mau anak-anak tak
sekolah

Saudara-saudara, mari buat perubahan besar. Perubahan untuk masa depan
anak-anakmu. Beri kesempatan pemimpin baru. Yang tak mampu minggir saja.
Kembali ke rumah, ajak saudara-saudara, teman-teman, semua, untuk perubahan”

Peluh membasahi baju mantan Komandan Pasukan Khusus yang tengah berkampanye
di Kota Padang tersebut. Di depan panggung, di bawah terik matahari, massa
berteriak, “Hidup Gerindra. Prabowo presiden! “ Ribuan orang berseragam
merah putih tumpek blek di lapangan Cimpago yang berada di bibir pantai.

***

Perubahan sistem ekonomi adalah misi besar yang digadang-gadang sang Ketua
Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Prabowo beralasan
kapitalisme- liberal adalah sistem ekonomi yang salah sehingga harus
dirombak. Resesi ekonomi global adalah bukti kegagalan pasar bebas tanpa
kendali, sistem kapitalisme tanpa kendali, katanya di seminar yang digelar
Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia, pada Rabu, 11 Maret 2009.

Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) itu sedang berada di atas
angin. Krisis keuangan dan resesi ekonomi global telah menimbulkan sorotan
tajam terhadap sistem kapitalis. Yang pedas dikritik bukan cuma kejatuhan
bursa saham Wall Street, simbol kapitalisme dunia. Di dalam negeri, kelompok
penentang kapitalisme- liberal semakin mendapat panggung.

Saat Prabowo meluncurkan buku “Membangun Kembali Indonesia Raya” pada Kamis
lalu, 12 Maret, suasana Hotel Dharmawangsa terasa marak. Sejumlah rektor,
profesor, elit partai dan wakil asosiasi binaan Prabowo hadir di ball- room
hotel yang disulap penuh nuansa merah itu. “Saya ingin mengubah vonis bahwa
negeri ini akan terus miskin” kata Prabowo.

Tepuk tangan membahana. Jenderal Prabowo yang dulu pernah dijauhi setelah
dinyatakan terlibat penculikan sejumlah aktivis pro-demokrasi, kini menjadi
magnet yang menyedot perhatian sementara kalangan.

Enam hari kemudian, 18 Maret, giliran kelompok Indonesia Bangkit meluncurkan
buku "Ekonomi Konstitusi" di Hotel Four Seasons, Jakarta. Di sini sejumlah
ekonom juga berkumpul. Terlihat ada Iman Sugema, Hendri Saparini, Revrisond
Baswir, Ichsanuddin Noorsy dan lainnya. Indonesia jangan pakai tim ekonomi
teh botol (teknokrat bodoh dan tolol), ujar Iman mengejek ekonom yang
berhaluan neoliberal mereka yang pro pasar bebas, rezim perdagangan tanpa
sekat negara, serta peran pemerintah yang minimal dalam sistem ekonomi.

Para ekonom ini dikenal menganut paham yang cenderung sosialis,
nasionalistis, dan menginginkan peran negara yang lebih besar sebagai
lokomotif perekonomian nasional.

Endang S Thohari dari Institute Garuda Nusantara kelompok-pemikir yang
didirikan Prabowo turut hadir di sana. Menurut Endang, mereka tengah bahu
membahu menggusur paham neoliberal. Berjuang bisa di mana saja, yang penting
tujuannya sama. Dibekingi Prabowo, upaya kelompok ini terus bergulir.

Prabowo menyatakan tak main-main dengan gagasan besarnya. Ia mengisahkan,
tekadnya menggebu setelah dia dipensiun paksa pada 1998. Saat itu ia banting
setir jadi pengusaha membantu adiknya, Hashim Djojohadikusumo, yang berkibar
sebagai pengusaha minyak di Kazakhstan.

Saat tinggal di Amman, Yordania, dia terperangah membaca sebuah laporan Van
Zorge, konsultan politik dan bisnis di Jakarta mengenai kekayaan Indonesia
yang menguap dari Bumi Pertiwi. Menurut taksirannya, dalam tempo 10 tahun
sejak 1997, tak kurang dari US$ 250 miliar devisa ekspor telah terbang ke
luar negeri.

Prabowo seperti mendapat amunisi kembali. Sejak 2003, dia sibuk berkeliling
mengkampanyekan dampak buruk sistem kapitalisme- liberal. Setahun kemudian
dia menulis buku berjudul “Kembalikan Indonesia” yang mengecam habis-habisan
sistem ekonomi liberal.

Putra begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo itu terus merangsek. Dia lalu
menghimpun para ekonom, ahli pertanian, pengusaha dan pakar industri. Selama
belasan bulan sejak 2007, Prabowo terlibat dalam berbagai diskusi intensif
dengan kalangan ini. Dia kerap mengundang Kwik Kian Gie, Sri Edi Swasono,
Bungaran Saragih (mantan menteri pertanian), Prasetyantoko (ekonom
Atmajaya), Hendri Saparini, dan lainnya.

Kwik dan Prasetyantoko mengaku memang sering diundang Prabowo. “Saya
beberapa kali datang ke rumahnya untuk diskusi dan memberi masukan” ujar
Kwik kepada VIVAnews, “Apa yang diiklankan Prabowo itu sama dengan pemikiran
saya”

Untuk menerjemahkan pandangannya, Prabowo dibantu Hashim, Rachmat Pambudy
(ekonom IPB), Endang S Thohari (doktor Prancis ahli pedesaan), Widya Purnama
(mantan Direktur Utama Pertamina), dan Rauf Purnama (mantan Direktur Utama
PT Asean Aceh Fertilizer). Mereka semua tergabung dalam Institut Garuda
Nusantara.

***

Konsep ekonomi ala Prabowo ini kini populer disebut Prabowonomics kemudian
dituangkan dalam buku “Membangun Kembali Indonesia Raya” setebal 209
halaman. Isinya mengelu-elukan konsep pembangunan ekonomi berbasis ketahanan
pangan, kedaulatan energi, serta industri nasional yang bernilai tambah.
Prabowo memimpikan perekonomian yang berlandaskan sumber daya domestik
seperti sumber alam, sumber daya manusia, dan sumber dana serta pasar
domestik yang besar, 230 juta penduduk Indonesia.

Di atas itu, Prabowo menjanjikan sejumlah program maha ambisius. Di bidang
pangan, dia berikrar akan membuka sawah dan kebun jagung masing-masing
sejuta hektare, membangun pabrik pupuk urea, menambah pasokan bahan bakar
gas, serta membangun infrastruktur desa.

Di bidang energi, dia berpromosi bakal mengganti bahan bakar minyak fosil
dengan sumber energi nabati. Belum habis, dia juga berjanji akan membuka 4,4
juta ha kebun aren untuk bahan baku produksi bio-etanol, membangun pabrik
bio-etanol berbahan baku singkong, serta mendirikan pembangkit tenaga panas
bumi.

Untuk sektor industri, dia bilang bakal menggeber industri makanan, tekstil,
sepatu, agroindustri, serta sumber alam yang bernilai tambah, seperti migas,
tambang, energi dan komoditas. “Kita jangan cuma ekspor buah coklat dan biji
sawit mentah-mentah, tetapi sudah dibuat pabrik bernilai tambah di sini”
kata Endang.

Tim Prabowo percaya sektor-sektor itu mampu menggenjot pertumbuhan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2008, sektor pertanian menyumbang
14,68 persen produk domestik bruto (PDB). Ini masih kalah dari sektor
industri pengolahan. Namun, jika agroindustri digabung, maka sektor
pertanian akan menjadi penyumbang terbesar kue ekonomi nasional.

Supaya program itu berjalan, Prabowo mengajukan sejumlah resep. Di antaranya
adalah mengerahkan BUMN sebagai lokomotif pembangunan di sektor-sektor yang
menyerap banyak tenaga kerja. Kebijakan fiskal dan moneter akan dipusatkan
ke sana. Pembayaran hutang luar negeri dijadwal ulang untuk menambah
persediaan dana untuk melumasi berbagai program raksasa itu. Selain itu, ini
dia, lahan kritis akan dibagi-bagikan ke petani.

”Pemerintah jangan cuma jadi wasit, tetapi harus turun tangan jadi lokomotif
ekonomi” kata Prabowo. Dia memberi contoh pemimpin China Deng Xiaoping yang
menjadikan lembaga pemerintah dan BUMN sebagai motor penggerak, sehingga
ekonomi mereka bertumbuh di atas 10 persen.

Dengan berbagai konsep ini, tim Prabowo hakulyakin pada 2011 ekonomi
nasional bakal tumbuh 8-9 persen. Tak cuma itu, dua tahun kemudian mereka
bermimpi angka pertumbuhan akan melesat ke level di atas 10 persen. Jika itu
terjadi, begitu mereka bermimpi, saat Republik berulang tahun ke-100 pada
2045, pendapatan per kapita Indonesia akan mencapai, jangan kaget, US$ 60
ribu atau Rp 720 juta per tahun.

***

Bagi kubu ekonom pro-Prabowo, ambisi itu mereka nilai realistis. Hendri
Saparini, Iman Sugema, Dradjad Wibowo, Kwik Kian Gie, dan Revrisond Baswir,
menilai Prabowonomics bisa dilaksanakan asal ada perubahan paradigma
ekonomi.

”Argentina yang penduduknya lebih sedikit bisa tumbuh 8 persen” kata
Dradjad. Meski juga mengaku bersepakat, Revrisond toh buru-buru
mengingatkan, Yang penting, jangan cuma jadi jargon kampanye saja.

Tanggapan berbeda datang dari kubu ekonom neo-liberal. Mereka mengritik
program Prabowo bak mimpi di siang bolong. Para ekonom jebolan Universitas
Indonesia, seperti Muhammad Ikhsan, Chatib Basri, Adrian Panggabean, serta
Purbaya Yudhi Sadewa dari Danareksa, meragukan target pertumbuhan ekonomi 10
persen itu. Terlalu ambisius, kata Ikhsan. Adrian dan Chatib mempertanyakan
bagaimana angka itu dihitung.

Yudhi juga mewanti-wanti rencana Prabowo merestrukturisasi utang luar
negeri. Jika dilakukan, menurutnya itu akan jadi pertaruhan besar bagi
Indonesia. Resikonya besar. Pasar modal, obligasi dan kurs rupiah akan
hancur, kata Kepala Ekonom Danareksa Research Institute ini. Jadi, kalau tak
bayar utang, ekonomi Indonesia akan hancur.

Untuk sementara ini, Prabowonomics masihlah sebatas mimpi yang dianggap
menjanjikan oleh sementara kalangan, dan dikecam sebagai ilusi oleh sejumlah
pihak yang lain. Buktinya masih harus ditunggu. Itu pun jika purnawirawan
jenderal berbintang tiga ini berhasil menang pemilu. Maka tak ada yang lebih
tepat ketika Prabowo, masih dengan suara serak, merayu para pemilih di Kota
Padang, “Agar konsep ini jalan, perlu kehendak politik. Karena itu, saya
minta mandat dari rakyat”
VIVAnews (Heri Susanto, Elly Setyo Rini, Nur Farida Ahniar, Umi Kalsum)



      

Kirim email ke