http://www.poskota.co.id/redaksi_baca.asp?id=1905&ik=32


Modal Cekak Kok Poligami 


Minggu 22 Februari 2009, Jam: 7:44:00 
Pegawai negri memang bergaji kecil, karenanya dilarang poligami. Yang mau 
nekad, harus punya penghasilan tambahan. Kalau tidak, nasibnya ya seperti 
Sarimun, 51, dari Lamongan (Jatim) ini. Baru setahun naik turun menikmati bini 
muda, diturunkan pangkatnya gara-gara ketahuan kawin lagi tanpa izin. 

Sesungguhnya, berpoligami memang menjadi hak semua lelaki anak bangsa. Cuma 
Islam mengingatkan, poligami sifatnya darurat dan itu pun harus mampu secara 
moril dan onderdil. Sebab bila mau jujur, sejatinya pelaku poligami mayoritas 
atas dasar nafsu semata. Omong kosyong yang beralasan untuk meningkatkan 
derajat kaum hawa. Jika itu motifnya, kenapa nenek-nenek jompo di Panti Werda 
Cipayung, Jakarta Timur, tak dikawini semua? Ini kan pahala dapat, paha keriput 
juga dapat! 

Sarimun seorang PNS yang bekerja di kantor Kelurahan Tumenggungan Kecamatan 
Kota Lamongan, semula juga tak pernah bermaksud poligami. Tapi Murtini, 45, 
istrinya yang cantik itu mendadak sakit berkepanjangan, seakan madal tamba 
(susah diobati). Sejak istrinya sakit, praktis Sarimun tak pernah lagi 
mendapatkan â?ojatahâ? harian yang menjadi haknya. Tiap hari ngaplo (bengong) 
tanpa kegiatan signifikan. Jadi persis dengan namanya, Sarimun adalah: saban 
hari ngalamun! 

Jika tidak ingat pidato Bung Karno dulu: jangan sekali-kali meninggalkan 
sejarah (jasmerah), mau rasanya menceraikan istri yang telah berhalangan tetap 
itu. Tapi Sarimun tak mau disebut lelaki habis manis sepah dibuang, sehingga 
meski kedinginan setiap malam, dia mencoba bertahan. Untuk meredam nafsunya 
yang selalu bergelayut, paling-paling dia lebih banyak berpuasa. Seban hadist 
Nabi mengatakan: bagi pria yang belum mampu menikah, sebaiknya berpuasa. 

Tapi asal tahu saja, puasanya orang belum pernah menikah lebih ringan dibanding 
bagi mereka yang sudah pernah menikah. Soalnya, lelaki bujangan kan belum 
pernah tahu bagaimana rasanya â?oduren jatohanâ? itu. Sedangkan bagi yang 
sudah kawin, tiba-tiba tak bisa lagi menikmati si duren montong yang tebal 
dagingnya, wah, wah, kiamat sugro (kecil) rasanya. Itu pula kemudian yang 
dirasakan oleh Sarimun yang sehari-hari bertugas sebagai Trantib di kelurahan 
Tumenggungan ini. 

Sampai kemudian ada janda muda tetangga yang memahami aspirasi urusan bawah 
Sarimun. Dia sangat kasihan melihat pegawai Trantib ini gencatan senjata 
berkepanjangan gara-gara istrinya sakit. Janda bernama Napsikah, 35, ini siap 
meladeni urusan ranjang Sarimun sak gendinge (sekuat tenaga), asal dikawin siri 
dulu. â?oSampeyan sendiri kalau naik motor pakai SIM, kan nggak takut disemprit 
polisi,� kata si janda beranalogi. 

Solusi itu segera ditelan oleh Sarimun yang sekian bulan katisen saban malam. 
Melalui seorang kiyai di pesantren Kembangbau, jadilah mereka menikah siri. 
Sejak itu badan oknum PNS ini kemrisik (anget) terus, karena Napsikah siap 
meladeni kapan saja. Celakanya, Sarimun kurang pengertian. Sudah diberi kelon, 
tapi tak mau memberi klepon. Napsikah pernah menuntut, tapi tak ditanggapi. 
Terpaksalah wanita itu â?obernyanyiâ? di kantor kelurahan Tumenggungan. 
Akibatnya, PNS modal cekak ini terkena pelanggaran disiplin PNS, dengan resiko 
pangkatnya diturunkan dari III-C menjadi III-B. 

Nggak apa, yang penting masih bisa â?onaik turunâ? bersama si janda. 

(JP/Gunarso TS) 

Kirim email ke