Muhammad di Kitab Veda: Dusta Dr. Zakir Naik
 
Muhammad di Kitab Veda: Bantahan terhadap Pendapat Dr Zakir Naik
 

oleh Dr Radhasyam Brahmachari 

Siapapun yang pernah membaca buku sejarah hidup Nabi Muhammad yang ditulis 
penulis Muslim, telah mengetahui bahwa tugas terberat penulis adalah 
menjelaskan perkawinan2 Muhammad. Jika mereka membutuhkan sepuluh halaman untuk 
mengisahkan perkawinan2nya, maka mereka menulis lebih dari ratusan halaman 
untuk menghalalkan perkawinan2 itu. 

Mengapa ya Muhammad kawin berkali-kali di usianya yang telah lanjut? Para 
penulis Muslim tidak tahu harus menjawab apa. Tugas utama yang terpenting bagi 
para penulis ini adalah menyingkirkan unsur nafsu berahi sang Nabi dalam 
perkawinannya yang banyak itu. Penjelasan terbaik yang dikarang mereka adalah 
sang Nabi begitu baik hati sehingga dia menikahi para janda untuk menyediakan 
sandang pangan bagi mereka. Wah, hebat ya, sang Nabi ternyata berperan sebagai 
juru selamat bagi para janda. Tapi ternyata sukar menjelaskan perkawinan 
Muhammad dengan Zainab, istri dari anak angkatnya sendiri yang bernama Zaid. 
Hal ini karena Zainab bukan janda dan kejadian dia melihat Zainab jelas 
menunjukkan nafsu berahi Muhammad yang besar (yang dihalalkan pula oleh Allah 
SWT di Q 33:37). Kesulitan yang serupa juga dihadapi para penulis sewaktu 
menjelaskan perkawinan Muhammad dengan Safiya, Juwariyah, dan hubungan seksnya 
dengan Rayhana. 

Penjelasan2 yang dikarang penulis2 Muslim tentang perkawinan2 janggal sang Nabi 
dengan mudah diterima oleh para Muslim yang memang nalarnya mendadak macet 
begitu harus menilai perbuatan Nabinya secara obyektif. Tetapi, penjelasan2 
tersebut sangat tidak bisa diterima sama sekali oleh masyarakat beradab. 

Tugas terberat yang dihadapi penulis Muslim adalah menerangkan perkawinan 
Muhammad (53 tahun) dengan Aisha (6 tahun). Syed Amir Ali adalah penulis Muslim 
India yang menulis buku Spirit of Islam. Di buku ini, Pak Amir Ali menulis 
bahwa satu2nya tujuan sang Nabi mengawini Aisha adalah untuk meneguhkan 
hubungannya dengan Abu Bakr. Mungkin semua sudah tahu bahwa Muhammad dan Abu 
Bakr membuat persetujuan bahwa Muhammad akan memberikan anak perempuannya 
Fatima untuk dikawini Abu Bakr dan Abu Bakr akan memberikan anak perempuannya 
Aisha untuk dikawini Muhammad. Perkawinan seperti ini disebut Perkawinan 
Shighar, dan masih sering dilakukan dalam masyarakat Muslim. Mungkin kalian 
masih ingat dulu Osama bin Laden mengawini anak perempuan Omar, ketua Mujahidin 
Afghanistan, dan Omar mengawini anak perempuan Osama. Pak Ali menulis bahwa 
berdasarkan persetujuan, Muhammad akan mengawini Aisyah di tahun pertama hijrah 
di rumah Abu Bakr di Medinah. Tapi Muhammad menunda
 melakukannya. Setelah berbulan-bulan berlalu, Abu Bakr menanyakan hal ini pada 
Muhammad, dan Muhammad menjawab bahwa dia menunggu perintah dari Allah SWT akan 
hal ini, tapi perintah tidak kunjung datang. Meskipun tidak datang perintah 
apapun, Muhammad tetap mengawini Aisyah, dan dia tidak memberikan Fatima kepada 
Abu Bakr untuk dikawini. Dengan begitu penjelasan Amir Ali tidak masuk akal. 

Penulis Bengali Muslim bernama M. Abdur Rahman mencoba menjelaskan dari sudut 
lain. Dia menekankan bahwa Muhammad mengawini Aisha sebagai bentuk tanggung 
jawab sosial yang besar. Di saat itu, para Muslimah Arabia butuh dididik 
tentang masalah seksual. Tapi karena Muhammad itu laki, maka dia tidak cocok 
untuk mengajari wanita tentang seks. Jadi dia mengawini Aisyah sebagai alat 
untuk mendidik Muslimah tentang seks. Wah, mulia bener nih tujuannya, tapi 
kenapa ya dia memilih anak kecil seperti Aisyah? Untuk menjelaskan hal ini, Pak 
Abdur Rahman berkata bahwa otak anak2 yang masih naif benar2 cocok untuk 
menerima pendidikan seks dan inilah sebabnya Muhammad menikahi Aisyah. Tapi 
herannya, baik Pak Amir Ali maupun Pak Abdur Rahman lupa mengatakan bahwa 
mengawini anak perempuan kecil memang merupakan kehendak Allah SWT. Allah 
mengirim pesan illahiNya pada Muhammad untuk mengawini Aisyah dalam beberapa 
mimpi. Dalam tiga malam berturut-turut, Jibril menunjukkan
 wajah Aisyah pada Muhammad dan berkata, “Inilah istrimu.” Di dua malam 
pertama, Muhammad tidak bisa mengenali wajah dalam mimpi tersebut, tapi di 
malam ketiga dia bisa melihat dengan yakinnya bahwa itu adalah wajah Aisyah. 
Jadi dia tidak punya pilihan selalin memenuhi perintah Allah SWT secepat 
mungkin. 

Tidak peduli apapun alasan, penjelasan, karangan yang diajukan, para penulis 
Muslim harus mencapai satu kesimpulan: Muhammad adalah orang termulia di dunia. 
Jika kesimpulan mereka meleset satu milimeter saja, maka nyawa mereka akan 
terancam. Para penulis ini juga menghadapi banyak kesulitan saat menjelaskan 
pembantaian massal yang diperintahkan Muhammad atas kaum Yahudi bani Qurayza di 
Medinah dan kaum Yahudi di Khaybar, pembunuhan atas kafir di bulan Rajab di 
Nakhla, dan seterusnya. Sudah jelas bahwa merupakan tugas yang sangat berat 
bagi para penulis Muslim untuk menjelaskan mengapa begitu banyak banjir darah 
dan pertikaian yang terjadi di sekeliling Muhammad yang katanya adalah manusia 
termulia tanpa dosa di dunia ini. 

Karena menghadapi berbagai macam tantangan moral dalam menulis sejarah hidup 
Muhammad menurut Islam, maka banyak penulis Islam yang memilih bahan tulisan 
yang lebih mudah tentang Muhammad. Contohnya, mengarang ramalan kedatangan 
Muhammad dari kitab2 suci non-Islam, seperti Alkitab, Zend-Avesta, dan terutama 
yang terpenting, dari kitab2 Sanskrit Hindu. 

Rig-Veda telah dikenal dan diakui seluruh dunia sebagai buku tertua yang 
ditulis manusia. Jika buku ini menyebut tentang Muhammad, tentunya ini akan 
sangat amat membantu memoles sang Nabi Arab sebagai sosok illahi. Tidak hanya 
itu saja, umat Hindu juga tentunya gampang dipengaruhi untuk murtad dan malah 
memeluk Islam. Karena itulah, mudah dimengerti mengapa Dr. Zakir Naik yang 
Muslim bersusah payah mengarang tentang disebutnya Muhammad di kitab Rig-Veda 
dan berbagai literatur Hindu. Tapi karena memang buktinya tidak ada, maka Pak 
Naik tidak punya cara lain selain mengajukan khayalannya sendiri untuk menipu 
kafir. 

Pertama-tama, kita harus melihat apa yang dikatakan Rig-Veda tentang Muhammad. 
Kita harus mengetahui ada dua kata Sanskrit yang berperang penting dalam 
anggapan Pak Naik, yakni 
(1) śaṃsata ; dan 
(2) narāśaṃsa . 

Menurut Pak Naik, huruf kedua śaṃsata berarti orang yang memuji. Dalam bahasa 
Arab, orang seperti itu disebut Ahammad, yang merupakan nama lain dari Nabi 
Muhammad. Karena itu, dimanapun dia menemukan kata śaṃsata, dia cepat2 
mengartikan kata itu berkenaan dengan Muhammad. Menurut Pak Naik, kata kedua 
berarti orang yang terpuji atau layak dipuji. Jadi, di manapun dia menemukan 
kata narāśaṃsa, dia menganggap kata itu menyatakan Muhammad. Bayangkan betapa 
konyolnya anggapan seperti ini. Berdasarkan argumennya, Pak Naik beranggapan 
bahwa setiap kata Indonesia dalam kamus Indonesia yang mengandung kata “layak 
dipuji,” pasti berhubungan dengan nama Muhammad. Lebih jauh lagi, anggapan 
bodoh seperti ini bisa diterapkan sebagai berikut: kambing berjenggot dan Zakir 
Naik berjenggot, jadi ini berarti Zakir Naik adalah kambing – begitulah 
kesimpulan berdasarkan argumennya. 

Sebenarnya, kata2 Sanskrit śaṃsata dan narāśaṃsa adalah kata2 bagi Dewa atau 
Tuhan, yang memang layak dipuji. Menurut Sāyana, penulis tafsir Veda yang 
paling terpercaya, kata narāśaṃsa berarti seorang dewa atau makhluk illahi yang 
layak dipunji oleh manusia. 

Untuk lebih jelasnya, mari kita bahas apa yang dikatakan Zakir Naik. Menurut 
Zakir Naik, ayat2 (1/13/3), (1/18/9), (1/106/4), (1/142/3), (2/3/2), (5/5/2), 
(7/2/2),  (10/64/3) dan (10/182/2) dari kitab Rig-Veda mengandung kata 
narāśaṃsa dan dengan begitu adalah tentang Muhammad dan ayat (8/1/1) Rig Veda 
mengandung kata śaṃsata (Ahmmad), atau nama lain Muhammad. Dalam tulisanku 
terdahulu yang berjudul “Allah in the Vedas: The Treachery of Dr Zakir Naik” 
(Allah dalam Veda: Kebohongan Dr. Zakir Naik), aku telah tunjukkan jenis2 dusta 
yang dikarang Dr. Naik. Di sini dia sekali lagi berdusta dan mengatakan bahwa 
kata śaṃsata itu untuk manusia yang memuji, dalam bahasa Arab artinya sama 
dengan Ahammad dan karenanya menyinggung tentang Muhammad. Beginilah bunyi ayat 
Rig Veda (8/1/1): 

Mā cidanyadvi śaṃsata sakhāyo 
mā riṣṇyata l 
Indramitstot ā vṛṣaṇaṃ sacā sute 
muhurukthā ca śaṃsata ll (8/1/1) 
terjemahan: 
Muliakan hanya dia, wahai teman2; sehingga jangan kesedihan menggelisahkanmu. 
Hanya puji Indra yang perkasa saat sari buah dikucurkan, dan katakan pujianmu 
berulang-kali. 
(terjemahan: R T H Griffith; The Hymns of the Ṛgveda, Motilal Banarsidass 
Publishers, Delhi; 1995, p-388). 

Jadi kata śaṃsata (layak dipuji) di ayat di atas berhubungan dengan Dewa Indra, 
dan bukan manusia yang memuji (Ahammad) seperti yang dikatakan Dr. Zakir Naik. 

Mari lihat ayat2 lain yang mengandung kata narāśaṃsa. Di Rig-Veda, ayat 
dinyatakan sebagai (x/y/z), di mana x berarti Mandala, y berarti Sukta, dan z 
berarti ayat atau Ṛk. Ayat (1/13/3) di Rig-Veda, seperti yang telah dijelaskan, 
termasuk dalam Sukta ke-13 dari Mandala pertama. Harus dipahami bahwa setiap 
Sukta Rig Veda dipersembahkan bagi seorang dewa. Dewa dalam Sukta ke-13 dari 
Mandal ke-1 adalah Agni (Dewa Api). Ayat ini berbunyi: 

Narāśaṃsamiha priyamasminajña upahvaye l 
Madhujihvat haviṣkṛtam ll (1/13/3) 
terjemahan: 
Wahai Narāśaṃsa, yang manis lidah, sang pemberi dari persembahan, aku 
sembahyang bagi persembahanku 
(ref. ibid, hal. 7). 

Karena Agni adalah Dewa yang dibahas di seluruh Sukta ke-13, maka tidak 
diragukan bahwa kata narāśaṃsa (yang layak dipuji oleh manusia) dalam ayat 
tersebut adalah tentang Dewa Agni. Jadi sudah jelas bahwa kata narāśaṃsa di 
sini bukan berarti manusia yang layak disembah, seperti yang dikatakan Dr. 
Zakir Naik. 



The verse (1/18/9) of the Rig-Veda says: 

Narāśaṃsaṃ sudhṛṣṭamamapaśyam 
saprathastam l 

Divo na sadmakhasam ll (1/18/9) 

- I have seen Narāśaṃsa , him most resolute, most widely famed, as ‘twere the 
Household Priest of heaven (tr: ibid, p-11). The 18th Sukta, to which the verse 
belongs, is dedicated to Brahmaṇaspati, the Priest of heaven and hence the word 
narāśaṃsa (praiseworthy to man) in this verse refers to Brahmaṇaspati, the 
Priest of heaven. 

The verse (1/106/4) of the Rig-Veda says: 

Narāśaṃsaṃ vajinṃ vajayinniha 
kṣayadvīraṃ pūṣaṇaṃ summairī mahe l 

Rathaṃ na durgādvasava sudānavo 
viśvasmānno ahaṃso niṣpipartana ll (1/106/4) 

- To mighty Narāśaṃsa, strengthening his might, to Pūṣaṇa , ruler over men, we 
pray with hymns. Even as a chariot from a difficult ravine, bountiful Vasus, 
rescue us from all distress (tr: ibid, p-69). The 106th Sukta of 1st Mandala, 
to which the verse belongs, is dedicated to Viśvadevas, and hence the word 
narāśaṃsa (praiseworthy to man) in this verse refers to Viśvadevas. 

The verse (1/142/3) of the Rig-Veda says: 

śuci pāvako adbhuto madhvā 
yajñaṃ mimikṣati l 

Narāśaṃsasthrirā divo devo 
deveṣu yajñiyaḥ ll (1/142/3) 

-He wondrous, sanctifying, bright, sprinkles the sacrifice with mead, thrice, 
Narāśaṃsa from the heavens, a God mid Gods adorable (tr: ibid, p-9. The 142nd 
Sukta, to which the versae belongs, is dedicated to to deity Āprī, and hence 
the word narāśaṃsa in this verse refers to Āprī. Most of the scholars agree 
that Āprī is the other name of Agni and hence the word narāśaṃsa in this verse 
refers to Agni, the god of fire. 

The verse (2/3/2) of the Rig-Veda says: 

Narāśaṃsaḥ prati dhāmānyañjan tisro div prati mahṇā svarciḥ l 

Ghṛtapruṣā manasā havyamundanmūrdhanyajñasya sanamaktu devān ll (2/3/2) 

- May Narāśaṃsa lighting up the chambers, bright in his majesty through 
threefold heaven, steeping the gift with oil diffusing purpose, bedew the Gods 
at chiefest time of worship (tr: ibid, p- 132). Like the earler one, 142nd 
Sukta of 1st Mandal, this present 3rd Sukta of 2nd Mandala, is dedicated to the 
deity Āprī or Agni and hence the word narāśaṃsa in this verse refers to Agni 
the the Fire God. 

The Verse (5/5/2) of Rig-Veda says: 

Narāśaṃsaḥ suṣūdatīmṃ yajñamadābhyaḥ l 
Kavirhi madhūhastāḥ ll (5/5/2) 

- He, Narāśaṃsa, ne’er beguiled, inspiriteth this sacrifice; for sage is he, 
with sweets in hand (tr: ibid, p- 240). This 5th Sukta of 5th Mandala is also 
dedicated to Āprī or Agni and hence the word narāśaṃsa in this verse refers to 
Agni the Fire God. 

The verse (7/2/2) of Rig-Veda says: 

Narāśaṃsasya mahimānameṣamupa 
stoṣāma yajatasya yajñaiḥ l 

Ye sukratavaḥ śucayo dhiyandhāḥ 
svadanti devā ubhayāni havyā ll (7/2/2) 

- With sacrifice to these we men will honour the majesty of holy Narāśaṃsa – to 
these the pure, most wisw, the thought-inspires, Gods who enjoy both sorts of 
our oblations (tr: ibid, p- 334). Again this 2nd Sukta of 7th Mandala is 
dedicated to Āprī or Agni, and hence the word narāśaṃsa in this verse refers to 
Agni the Fire God. 

The verse (10/64/3) of the Rig-Veda says: 

Narā vā śaṃsaṃ pūṣṇamagohyamagni 
deveddhamabhyarcase girā l 

Sūryāmāsā candramasā yamaṃ divi 
tritaṃ vātamuṣasamaktumaśvinā ll (10/64/3) 

- To Narāśaṃsa and Pūṣaṇ I sing forth, uncocealable Agni kindled by the Gods. 
To Sun and Moon, two Moons, to Yama in the heaven, to Trita, Vāta, Dawn, Night 
and A śvins Twain (tr: ibid, p- 578). This 64th Sukta of 10th Mandala is 
dedicated to Viśvadevas, and the word narāśaṃsa in this verse refers to 
Viśvadevas. 

The verse (10/182/2) of Rig-Veda says: 

Narāśaṃso na avatu prayāje śaṃ no 
astvanuyajo habeṣu l 

Kṣipadaśtimapa durmati hannathā 
karadyajamānāya śam ṣoḥ ll (10/182/2). 

- May Narāśaṃsa aid us at Prayāja; blest be out Anuyāja at invokings. May he 
repel the curse, and chase ill-feeling, and give the sacrificer peace and 
comfort (tr: ibid, p- 650). The 182nd Sukta of 10th Mandala, to which the above 
verse belongs, is dedicated to Vṛhaspati, and hence the word narāśaṃsa refers 
to Vṛhaspati, the Priest of the Gods. 

Another verse (1/53/9) of the Rig-Veda says, 

Tvametāñjanarājño dvirdaśābandhunā 
suśravasopajagmaṣaḥ l 

ṣaṣtiṃ sahasrā navatiṃ nava śruto ni 
cakreṇa rathyā duṣpadā vṛṇak ll (1/53/9) 

-With all-outstripping chariot-wheel, O Indra, thou far-famed, hast overthrown 
the twice ten Kings of men, with sixty thousand nine-and-ninety followers, who 
came in arms to fight with friendless Suśravas (tr: ibid, p-36). To narrate the 
incident, Sayana, the renowned commentator of Rig-Veda, says that twenty kings 
with a force, 60,099 strong, attacked the King Suśrava (Prajapati) and Indra 
alone defeated them and frustrated their ambition (the Vayu-Purana also 
narrates the incident). 

Most of the scholars agree that Rig-Veda was composed more than 5000 years BC, 
and hence the incident narrated in the verse (1/53/9) took place more than 7000 
years ago. And Muhammad conquered Mecca in 630 AD. But Zakir Naik has proceeded 
to link the incident with Muhammad’s capturing Mecca, which any sane man, 
except a Muslim, would feel shy to undertake. To give his mischief a shape, 
Zakir Naik has, firstly replaced the word Suśrava with Suśrama and says that 
the word Suśrama stands for one who praises, and hence equivalent to Ahammad in 
Arabic, the other name of Muhammad. And he claims that the verse narrates 
Muhammad’s conquering Macca, as the then population of the city was about 
60,000 and Muhammad had invaded Mecca with 20 of his closest followers. It is 
not difficult for the reader to discover the absurdity of the claim and the 
treachery of Zakir Naik. 

The verse (8/6/10) of the Rig-Veda says, 

Ahamiddhi pituṣpari 
medhamṛtasya jagrabha l 
Ahaṃ sūrya ivājrani ll (8/6/10) 

– I from my Father have received deep knowledge of the Holy Law: 
I was born like unto the Sun (Tr: ibid, p- 396). 

In this verse the word ahamiddhi stands for “I have received”. But as the word 
spells like Ahammad, the other name of Muhammad, Zakir Naik claims that the 
verse mentions Muhammad, which only a lunatic can do. 

Thus we have studied all the verses of the Rig-Veda which, according to Zakir 
Naik, mention Muhammad. It has been said above that the Sanskrit word narāśaṃsa 
stands for a deity or God who is praiseworthy to man and not a man who is 
praiseworthy to other men, as claimed by Zakir Naik. So, according to the 
asinine logic of Zakir Naik, whenever someone uses the word “praiseworthy”, it 
should be taken granted that he mentions Prophet Muhammad. I therefore ask Dr 
Naik, what he would say if a washerman tells that his donkey is praiseworthy, 
or someone tells that his pet dog is praiseworthy, or someone tells that his 
pair of shoes are praiseworthy ? 

However, the genius of Dr Naik has been able to discover the word narāśaṃsa in 
other Vedas as well like Atharva-Veda and Yajurveda and is projecting them as 
mentioning of Muhammad. Though it is sheer wastage of time to deal with the 
utterances of an insane blockhead like Zakir Naik, we hope to discuss those 
matters in future.

_________________




Dasar kepercayaan iman muslim dibangun diatas dusta,kebohongan dan teror 
pembunuhan yang biadab dimana saat zaman dan waktu sudah berubah kebenaran yang 
ada diungkapkan dan tidak bisa dihalangi ataupun dibendung serta kejahatan 
pembunuhan sudah dapat diantisipasi dan diminimalkan maka saat itu juga ambang 
kehancuran islam akan terjadi dan pada saatnya islam akan lenyap dan ini pasti 
terwujud. 
Feifei_fairy
 


      Get your preferred Email name!
Now you can @ymail.com and @rocketmail.com
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/sg/

Kirim email ke