http://batampos.co.id/opini/opini/negara_dan_perlindungan_konsumen/

Selasa, 14 Oktober 2008 


Negara dan Perlindungan Konsumen 
Oleh: AJ Susmana
Alumnus Fakultas Filsafat 
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 


Realitas bahwa sebagian rakyat  kita memakan sisa-sisa makanan entah dari 
restoran, rumah makan, atau potongan-potongan makanan yang terbuang sebenarnya 
bukanlah hal baru. Itu pun sudah menjadi pengetahuan umum rakyat (miskin) 
perkotaan apalagi bagi aktivis pengorganisasian dan pendampingan rakyat miskin 
perkotaan. 

Jauh sebelum Soeharto jatuh, di tahun 1990-an, menu dari sisa-sisa makanan yang 
terbuang dan dikumpulkan atau dicampuradukkan menjadi satu itu di sebagian 
kalangan anak jalanan, yang juga disebut Tikyan, sangat populer dinamakan Oyen. 
 

Tanpa peduli pada ancaman penyakit yang ada dalam Oyen, Oyen mau tak mau 
menjadi menu makan (ter) favorit bagi anak jalanan, dan para kere lainnya yang 
setiap hari harus bergulat dengan rasa lapar tanpa jaminan yang pasti darimana 
makanan pengganjal perut bisa diperoleh. 

Soal seluk-beluk Oyen dan kehidupan anak jalanan bisa dibaca di bulletin anak 
jalanan, Jejal, JErit JAlanan, dari Yogyakarta, yang diterbitkan komunitas 
Girli atau Riwayat Hidup dan perjuangan Heri Bongkok: Perjuangan dan 
Penindasan, yang diterbitkan oleh YLPS Humana, Yogyakarta tahun 1995.  

Tidak diragukan memang, sebagian masyarakat sendiri sudah memberi stigma pada 
anak-anak jalanan dan para kere itu sebagai gelandangan tak berguna dan sampah 
masyarakat yang tak bisa punya kehidupan dan tak bisa dididik menjadi warga 
negara yang baik.

 Dengan demikian, turut melanggengkan anak-anak jalanan dan para kere itu 
terus-menerus menjadi orang-orang terbuang, jauh dari standar normal kehidupan 
warganegara dan kemanusiaan umumnya. 

Tentu ini adalah problem sosial yang tak bisa didiamkan. Negara harus 
bertanggung-jawab pada pemenuhan kemanusiaan para gelandangan, kere dan 
anak-anak jalanan lainnya sebagaimana amanat UUD Dasar 1945: fakir miskin dan 
anak yang terlantar dipelihara oleh negara. 

Dari kehidupan anak jalanan, para kere dan rakyat miskin perkotaan itu bisa 
dipahami betapa susah mereka menghadapi hidup dari hari ke hari bahkan dalam 
soal kebutuhan yang sangat primer: makan. Sementara itu kehidupan lain yang 
sangat foya-foya dengan makanan dapat ditemukan dengan mudah. Di balik 
gedung-gedung megah, atau di belakang restoran mewah, rakyat yang lapar antre 
menadah limbah dan sisa-sisa makanan yang terbuang. Sebagian lagi mengais-ngais 
di tong sampah, jalanan dan gerbong-gerbong kereta api.  

Namun, sisa-sisa makanan, termasuk daging yang tak lagi muat di perut 
kekenyangan alias Oyen yang dulu cukup menjadi lingkaran para tikyan atau para 
gelandangan dan kere itu akhirnya menembus lingkaran yang lebih luas: 
masyarakat perkotaan yang semakin dimiskinkan dan membutuhkan berbagai jenis 
kebutuhan yang bisa dimurahkan karena gaji dari kerja tak cukup mengikuti 
perkembangan harga-harga pasar. Inilah peluang bisnis baru, tak peduli 
kesehatan  perut konsumen yang rata-rata juga termasuk golongan orang susah.  

Media cetak dan elektronik yang gencar memberitakan penjualan olahan daging 
sisa (yang kadang sudah membusuk) di pasaran semakin membuat rakyat kecil 
dengan gaji pas-pasan semakin mual, muak dan bingung: makanan apa yang sehat, 
bersih dan layak untuk dikonsumsi? Mau tak mau pikiran pun melayang-layang pada 
gerai-gerai bersih tapi mahal semacam Carrefour dan sejenisnya tapi tentu saja 
kantong tak cukup, sementara di warung jalanan yang sering memberikan harga 
murah, sudah terbayang tentang pemberitaan daging tikus sebagai campuran bakso 
atau daging sisa restoran busuk yang sudah diolah kembali dengan menggunakan 
zat-zat yang bisa berbahaya bagi kesehatan tubuh. Begitu mengerikan dan 
menjijikkan. 

Situasi seperti ini tentu tak baik bagi perkembangan usaha makanan dari para 
pengusaha kecil yang sedang merintis dan kadang memang penuh kejujuran dalam 
proses produksinya. Di pihak lain, jelas bahwa selama ini perlindungan 
konsumen, hanya diperuntukkan bagi kelas menengah ke atas. 

Apa yang dimakan rakyat kecil, tak diurus dengan baik kecuali ada temuan-temuan 
yang itu pun justru menimbulkan banyak kecurigaan karena masalah yang muncul 
seringkali tak diusut dengan tuntas. Di sisi lain adalah mematikan usaha-usaha 
kecil yang jujur atau setidak-tidaknya membikin rakyat was-was terhadap makanan 
murah yang beredar di masyarakat yang pada kenyataannya memang membutuhkan 
harga murah dan mengarahkan pola konsumsi rakyat pada gerai-gerai "bersih" yang 
dijamin "kesehatan" nya.  

Bisa jadi rakyat pun lantas mengambil kesimpulan: Yang mahal pasti bersih dan 
sehat sedangkan yang  murah? Hmmm.pasti ada apa-apanya dan tak bermutu; 
sebagaimana juga di bidang-bidang lain: kesehatan, pendidikan, transportasi. 

Sementara yang kita butuhkan dalam soal pelik ini adalah pengawasan yang 
professional sekaligus berdedikasi terhadap rakyat dan publik yang membutuhkan. 
Tanpa itu, profesionalitas akan kehilangan arah dan jauh dari cita-cita bangsa 
yang hendak menyejahterakan, memakmurkan dan melayani rakyat sebagaimana 
cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia 63 tahun yang lalu.  

Bukankah gerai-gerai asing, termasuk dalam hal kesehatan dan pendidikan, (untuk 
sementara ini) dijamin akan lebih bermutu dan lebih professional dalam melayani 
publik dengan berbagai sertifikasi yang sudah diperoleh? Tapi apakah semua 
gerai-gerai asing itu dapat dijangkau rakyat? Atau, malah justru akan semakin 
memiskinkan rakyat karena rakyat terjebak dalam pola konsumsi neoliberal? 

Kirim email ke