Tulisan ini juga disajikan di website http://umarsaid.free.fr/
Njoto Dan Tragedi G30S (1) Berikut adalah tulisan pertama dari 17 tulisan dalam majalah mingguan Tempo yang terhimpun dalam edisi khusus « Njoto dan tragedi G30S » dan terbit dalam edisi 5-11 Oktober 2009. Edisi khusus ini terdiri dari 36 halaman (dari halaman 49 sampai 85). Tulisan-tulisan berikutnya akan disajikan berturut-turut dalam website http://umarsaid.free.fr/ - - - - - - - - - - - - - Peniup Saksofon di Tengah Prahara IA berbeda dari orang komunis pada umumnya. Ia necis dan piawai bermain biola dan saksofon. Ia menikmati musik simfoni, menonton teater, dan menulis puisi yang tak melulu pro-rakyat dan menggelorakan semangat perjuangan. Ia menghapus The Old Man and the Seafilm yang diangkat dari novel Ernest Hemingwaydari daftar film Barat yang diharamkan Partai Komunis Indonesia. Ia menghayati Marxisme dan Leninisme, tapi tak menganggap yang kapitalis harus selalu dimusuhi. Ia adalah Njotoyang namanya nyaris tak menyimpan pesona. Ia sisi lain dari sejarah Gerakan 30 September 1965. Kecuali buku-buku Orde Baru yang menyebut semua anggota PKI terlibat G30S, kebanyakan sejarawan tak menemukan keterlibatan Njoto dalam aksi revolusioner itu. Njoto memang tak lagi berada di lingkaran dalam Ketua PKI Dipa Nusantara Aidit menjelang kemelut 1965. Ia disingkirkan akibat terlalu dekat dengan Soekarno. Tapi sejarah resmi 1965 menunjukkan tak ada orang komunis yang setengah berdosa dan berdosa penuh. Di mata tentara, sang pemenang pertarungan, hanya ada komunis atau bukan komunis. Karena itu, sang pendosa harus ditumpas kelor. Njoto salah satunya. Ia diculik, hilang, dan tak kembali hingga kini. Jejak kematiannya tak terlacak. Menulis Njoto, setelah 44 tahun tragedi 1965, adalah ikhtiar untuk tak terseret logika tumpas kelor itu. PKI bukanlah sebuah entitas yang utuh. Sejarah selalu menyimpan orang yang berbeda. Njoto salah satunya. ------------------------------ Catatan A. Umar Said : Tulisan pembukaan atau pengantar edisi khusus « Njoto dan tragedi G30S » ini singkat, namun mengandung berbagai hal yang kiranya patut untuk sama-sama kita perhatikan. Dalam kata pengantar ini terdapat kata-kata « Kecuali buku-buku Orde Baru yang menyebut semua anggota PKI terlibat G30S », yang secara implisit mencemoohkan (atau menyatakan ketidaksetujuannya) terhadap apa yang selama puluhan tahun sudah diuar-uarkan oleh Suharto beserta pendukung-pendukungnya bahwa semua anggota PKI terlibat G30S. Selama 32 tahun rejim militer Orde Baru, secara besar-besaran, terus-menerus, dan melalui segala cara, jalan, dan bentuk, telah dipompakan (secara paksa juga), bahwa semua anggota PKI yang jumlahnya jutaan itu terlibat G30S. Oleh karenanya, jutaan di antara mereka perlu dibunuh, dipenjarakan dalam jangka panjang, atau disiksa dengan bermacam-macam cara, dan dipisahkan dari istri dan anak-anak mereka yang juga ikut menderita kesengsaraan yang berkepanjangan. Dalam sejarah dunia modern, tidak banyak rejim diktatur yang melakukan sikap yang begitu bengis dan begitu biadab terhadap kaum komunis seperti rejimnya Suharto. Bahkan jenderal pro-fasis Franco dari Spanyol yang memerintah selama sekitar 40 tahun pun tidak bertindak sejahat Suharto dan para jenderalnya. Juga Hitler, diktator fasis Nazi Jerman dan pemerintahan fasis Jepang, tidak melakukan kekejaman yang begitu luas terhadap begitu banyak orang dan dalam waktu yang begitu panjang (selama 32 tahun). Disebutkan juga dalam kata pengantar itu : « Tapi sejarah resmi 1965 menunjukkan tak ada orang komunis yang setengah berdosa dan berdosa penuh. Di mata tentara, sang pemenang pertarungan, hanya ada komunis atau bukan komunis. Karena itu, sang pendosa harus ditumpas kelor. Njoto salah satunya. Ia diculik, hilang, dan tak kembali hingga kini. Jejak kematiannya tak terlacak » Kalimat-kalimat di atas juga dapat dibaca sebagai ejekan terhadap « sejarah resmi » dan tentara yang menganggap bahwa semua komunis harus ditumpas kelor, tidak peduli « setengah berdosa » atau « berdosa penuh ». Jelaslah bahwa anggapan bahwa semua komunis harus ditumpas kelor itu tidak berdasarkan nalar yang benar atau berlandaskan fikiran yang tidak sehat (dalam bahasa kasarnya, maaf, sinting !), Apalagi, sekali lagi apalagi , kalau diingat bahwa menurut bukti-bukti sejarah selama ini ternyatalah dengan jelas sekali bahwa jutaan orang komunis yang sudah dibunuh atau dipenjarakan selama puluhan tahun itu tidak berdosa apa-apa sama sekali, dan juga tidak terlibat G30S. Besarnya kejahatan dan beratnya dosa Suharto (dan pendukung-pendukungnya) ini lebih jelas kelihatan lagi sekarang , kalau diingat bahwa dibunuhya SEORANG saja yang tidak berdosa sama sekali -- tidak peduli siapa pun ! -- sudah merupakan kejahatan besar yang diberitakan di suratkabar dan televisi, dan pelakunya dihukum berat.sesuai dengan hukum yang berlaku. Kita semua tidak bisa membayangkan berapa besarnya dosa Suharto (beserta pembantu-pembantu setianya) yang sudah membunuh dan menyuruh bunuh jutaan orang yang tidak bersalah apa-apa , dan dengan sewenang-wenang, serta dengan cara-cara yang sadis pula ! Njoto, Wakil Ketua II CC PKI, yang sebagian dari sosoknya ditampilkan dengan cara-cara yang menarik dalam edisi khusus ini adalah salah satu di antara jutaan orang yang diculik atau ditangkap secara sewenang-wenang dan kemudian dibunuh secara gelap. Dengan menyajikan edisi khusus tentang Njoto ini tim redaksi Tempo nampak jelas bersikap tidak mau mengikuti arus pandangan « tumpas kelor » atau « gebyah uyah » saja terhadap orang-orang komunis atau anggota PKI. Segi lain yang penting adalah bahwa dengan edisi khusus Njoto ini sebagian kecil dari kebenaran sejarah bisa diungkap dengan baik. Cerita tentang hubungan Sutarni dan Njoto tidak saja mengandung segi-segi human interest yang menarik sekali, tetapi juga mengandung pesan moral yang kuat sekali. Dan yang juga lebih-lebih penting lagi adalah bahwa edisi khusus ini memungkinkan banyak orang melihat bahwa Njoto (dan kader-kader PKI lainnya) adalah manusia biasa, dan orang komunis yang seperti orang lainnya juga, tetapi yang bisa juga mempunyai kelebihan-kelebihan yang luar biasa dalam perjuangan untuk membela kepentingan rakyat. Karenanya, setelah selesai membaca seluruh edisi khusus Njoto tersebut, orang akan bisa bertanya-tanya mengapa orang semacam dia harus dibunuh oleh militernya Suharto? Kalau ada orang-orang yang bertanya-tanya semacam itu dapatlah kiranya dikatakan bahwa edisi khusus ini sudah membuat jasa yang besar sekali bagi sejarah bangsa. Paris, 17 Oktober 2009