SUARA MERDEKA 16 November 2008 GAGASAN
Otokritik Pendidikan Dokter di Indonesia Pendidikan dokter dinilai tidak demokratis, demikian judul di harian ini 20 November 2008. Ketua PB IDI dr Prijo Sidipratomo Sp Rad (K) berkata, "Sudah bukan masanya mahasiswa hanya menghafal teori, akan lebih baik ketika dosen memberikan sebuah kasus kepada mahasiswanya. Nantinya dengan cara berkelompok mereka diharuskan memecahkan kasus tersebut.Hal ini belum diterapkan karena kendala ruangan dan tutor yang banyak. Tudingan ini rasanya tidak akademik tapi bombastik. Menghafal adalah tahap awal dari proses penguasaan (kompetensi) ilmu pengetahuan untuk kemudian mengingat dan masuk lebih jauh ke dalam hirarki ranah kognitif (nloom), dari tahu menjadi paham. Kemudian dapat menerapkan (aplikasi) meningkat lagi mampu membuat analisis dan seterusnya naik ke sintetis dan terakhir kemampuan melakukan evaluasi. Sedang studi kasus adalah tahap akhir dari upaya pembelajaran instruksional. Ini sudah berada pada tingkat aplikasi s.d evaluasi. Pada tahap ini mahasiswa sudah pandai mengaplikasikan konsep/teori yang tentu mampu menganalisis terhadap kasusnya. Selanjutnya melakukan sisntesis untuk membuat konsep penyelesaian secara mandiri. Kalau mahasiswa disuruh mengerjakan secara kelompok, adalah teknik pembelajaran. Sepintas ketua PB IDI ini meniadakan teori "Hirarki Kompetensi Bloom" tapi menganut aliran "Belajar Bertolak dari Masalah" di mana upaya pembelajarannya tidak jelas benar referensi/benchmark-nya. Yang konvensional adalah belajar memecahkan masalah dengan menggunakan konsep dan teori valid (menguasai teori dulu baru praktik) Ini subjeknya manusia, bukan materi. Teori pendidikan yang pas untuk Indonesia yang binnheka tunggal ika adalah teori "Rekonstruksionisme", di mana pendidikan merupakan institusi sosial dan bagian dari masyarakat serta untuk masyarakat. Ada kurikulum inti dan lokal berbasis disiplin akademik yang disebut 'Kurikulum Inti Pendidikan Dokter Indonesia (KIPDI) yang secara periodik ditinjau agar tetap sesuai dengan kemajuan iptek sertan tuntutan masyarakat. Sudah ada KIPDI I dan II dan pasti harus diperbaharui agar tetap aktual sehingga seharusnya telah muncul KIPDI III. Tetpi yang terjadi, suatu kediktatoran. KIPDI III tidak dilahirkan tapi tempatnya digusur tanpa alasan realistik-akademik; Atas nama KBK kurikulum yang berbasis disiplin akademik di KIPDI diganti dengan "blok-blok komposit ilmu" dari KBK. Perlu diketahui KIPDI yang berbasis disiplin akademik (sekitar 27 mata kuliah) yang jelas eksistensinya, digusur oleh KBK yang berbasis sekitar 26 blok-blok komposit ilmu yang tidak jelas What, why & how-nya: Susah memahami, apalagi aplikasi - analisis - sintesis dan evaluasinya. Membingungkan, Tidak jelas referensi dan benchmark-nya. Contoh komposit ilmu itu yang dipakai sebagai basis KBK adalah "Pengembangan Kepribadian Profesional, Dasar-dasar Yankes Primer dan Kedokteran Keluarga, Struktur Tubuh Organ dan Fungsinya, Bantuan Hidup Dasar" dan lainnya. Semua itu tidak jelas struktur, sistematika dan materinya. Apalagi proses pembelajaran dan evaluasinya. Jangan ditanya bagaimana penyesuaian dan pengembangannya. Di mana hari esok itu pastilah akan berbeda dengan hari ini. KIPDI berbasis disiplin akademik sepeti Fisika Medik, Biologi, Biokimia, Anatomi ,Fisiologi, Patologi Anatomi Mikrobiologi, Farmakologi, di mana materi, struktur sistematika dan validitasnya jelas. Literatur, referensi tersedia Mau diambil banyak, bebas merdeka sesuai strategi terapan kontektualnya. KIPDI berbasis disiplin akademik ini telah menghasilkan banyak terobosan ilmu pengetahuan dan melahirkan banyak pakar yang siap dalam pengamalan/tranformasi dan pengembangan ilmunya dalam tonggak pendidikan learning: to know, to do, to be, to live together, how to learn and through out life(Unesco). Sistem KBK dengan blok-bloknya akan menghilangkan bagian/departemen di Fak Kedokteran sehingga lahan pengembangan kader/pakar dan displin akademik itu sendiri akan pudar atau hilang. Fak Kedokteran tinggal menjadi produsen dokter yang belum teruji kemampuan dan kualitasnya. Para staf pengajarnya baru dalam tahap tahu tentang KBK, belum memahami apalagi aplikasi, analisis sintesis dan evaluasinya. Tidak tahu teori pendidikan mana yang digunakan, strategi apa yg dilaksanakan apalagi filosofi (why & how-nya). Dalam laporannya Prof Rufus Clark ke World Bank membuat kesimpulan tentang KBK sbb; "...the NCBC (National Competency - Based Curriculum) exhibit serious deficiencies ..." (Standard Competencies of Medical Doctor in Indonesia , Assosiation of Indonesian Medical Education Institution,October 2005). Tetapi toh tetap dipaksakan dilaksanakan. Tidak saja pendidikan dokter tidak demokratis tapi juga tidak ilmiah akademik. Kalau KIPDI direformasi, harus dilakukan secara bertahap sehingga asimilatif dan akomodatif. Mari jaga pendidikan dokter tetap ada sifat/orientasi humanistiknya. Jangan terjerembab ke dalam materialistik teknoekonomi semata. Mohon maaf atas kritikan ini. I Nasution (08122906616) Mantan Guru Besar FK Undip Jl Tentara Pelajar 96, Semarang