Jawa Pos

 Jum'at, 13 Februari 2009 ] 


Pejabat Korup dan Masyarakat pun Korup 


Beberapa waktu lalu ketika saya dan anggota Komisi I DPR mengunjungi kantor 
Kongres Amerika, kami membaca tulisan di depan ruangan kantor masing-masing 
anggota Kongres ucapan: Welcome, please come in. Jelas ini ucapan selamat 
datang dan ajakan mempersilakan tamu-tamu anggota Kongres, khususnya dari 
daerah pemilihannya, untuk datang memasuki kantor itu. 

Bahkan, ketika kami rapat dengan seorang anggota Kongres, di awal pembicaraan 
dia sudah minta maaf, jika ada tamu dari daerah pemilihannya, dia harus 
menghentikan rapat untuk menemui konstituennya. Begitulah hubungan antara 
rakyat dan pejabat yang mewakilinya. Ketika hal itu saya bicarakan kepada 
kawan-kawan, salah seorang anggota Komisi I mengatakan berani bertaruh bahwa 
anggota Kongres Amerika Serikat akan berpikir ulang jika menghadapi konstituen 
di Indonesia. 

Mengapa? Kata kawan tersebut, begitu menjadi anggota DPR, setiap hari ada saja 
proposal permintaan sumbangan dari berbagai kalangan yang sampai di mejanya. 
Dengan kata lain, hubungan antara wakil rakyat dan masyarakat konstituennya 
sudah direduksi dengan transaksi uang. No money no honey. 

Dalam masa menjelang kampanye dan apalagi pada waktu kampanye Maret nanti, 
urusan sogok-menyogok akan semakin nyata. Sekarang saja sudah banyak anggota 
masyarakat yang mendekati sejumlah caleg dengan janji memberikan dukungan 
sekian puluh ribu suara asal mendapat sejumlah imbalan, baik berupa uang atau 
barang. 

Sebaliknya tidak sedikit pula caleg yang mengobral janji memberikan santunan, 
sembako, uang, dan lain-lain janji kepada rakyat agar memilihnya. Semua ini 
memabukkan, baik yang berjanji maupun yang diberi janji. Caleg yang polos dan 
jujur dijamin kurang laku di pasaran. 

Politik Kepalsuan 

Fenomena yang berkembang seperti sekarang ini sesungguhnya sangat 
mengkhawatirkan lantaran melahirkan politik kepalsuan dan tokoh munafik. 
Kepalsuan yang saya maksud ialah sikap bermuka manis dan berwajah malaikat 
meski berhati dan berperilaku seperti setan. 

Akibatnya, sikap munafik yang muncul. Misalnya, berjanji setelah jadi anggota 
DPR/DPRD akan memberikan 100 persen gajinya untuk rakyat, suatu janji yang 
mustahil diwujudkan, sebab parpol saja sudah memotong sedikitnya 20 persen gaji 
anggota dewannya. Jadi, bagaimana caleg bisa berjanji memberikan gajinya 100 
persen untuk rakyat? Wajah munafik calon politisi ini makin bertambah panjang 
dan makin membuat masyarakat tidak percaya kepada mekanisme demokrasi.

Politik palsu ini di Indonesia bisa terjadi karena system checks and balances 
tidak berjalan dengan baik. Seharusnya masyarakat tidak dihadapkan pada pilihan 
buta dan seorang calon pemilih harus memperoleh informasi sejelas-jelasnya 
tentang caleg yang berkompetisi. 

Seyogyanya setiap caleg dikaji latar belakang, rekam jejak, dan kemampuannya. 
Amat disayangkan bahwa petunjuk penting ini tidak pernah diperoleh rakyat 
pemilih karena semua media tidak ada yang melakukannya. Walhasil, caleg yang 
berkarakter buruk pun akan bisa terpilih sepanjang memiliki uang untuk membeli 
baliho, banner, membayar iklan, dan sebagainya. 

Yang paling mengkhawatirkan saya ialah terjadinya cycle evil of corruption 
(lingkaran setan korupsi). Lantaran rakyat minta disogok sembako, uang, dan 
lain-lain bentuk pemberian material lain, pejabat yang bersangkutan terpaksa 
mengeruk duit dari berbagai macam sumber, khususnya melalui tindakan korupsi. 
Atau, bisa saja dia tidak mengambil duit negara, tetapi mendapat sponsor dari 
pengusaha hitam. Walhasil, akibatnya sama saja. Pejabat korup dan masyarakatnya 
juga korup. Negara banyak utang dan rakyat makin miskin pula. 

Bandingkan dengan capres Amerika Serikat Barack Obama yang mengusung slogan 
change we can believe in (perubahan yang bisa kita percaya). Masyarakat yang 
muak dengan rezim Republik George Bush tidak segan-segan membantunya dengan 
tenaga dan dana. 

Seorang teman saya warga Amerika Serikat di Jakarta dengan bangga mengatakan 
untuk kali pertama dia mau menyumbang pilpres meski sudah beberapa kali dia 
ikut mencoblos. Dia sangat senang Obama menang karena yakin bahwa kemenangan 
itu akan membawa perubahan yang signifikan. 

Di Indonesia, perkembangan politik makin mengkhawatirkan. Baik politisi maupun 
sebagian masyarakat sudah berpikir pragmatis. Asal ada uang, sang politisi akan 
disayang atau dipilih. Politisi bejat dan tidak berakhlaq akan tetap dipilih 
asal ada uang. 

Seseorang maju ke pencalegan bukan untuk memperjuangkan kepentingan publik, 
tetapi untuk kepentingan dirinya sendiri. Ideologi dan keyakinan perjuangan 
dikesampingkan. Bahkan, partai pun dipersewakan. Party for rent. Akibatnya 
fatal, moral politik runtuh dan korupsi akan merajalela. 

Pemilu yang dilaksanakan dalam semangat pragmatisme dan apalagi adanya politik 
uang akan menghasilkan produk yang sangat memprihatinkan. Orang berlomba 
berebut kursi DPR/DPRD sekadar mendapat kekuasaan belaka atau power for the 
sake of power. 

Tidak ada manfaatnya sama sekali menempatkan seseorang dalam suatu posisi 
terhormat sebagai pejabat publik jika tanpa ada misi tertentu. Dengan demikian, 
kita semua hendaknya memilih anggota legislatif yang bukan bermental korup dan 
bermoral bejat. 

Pergunakan hak pilih secara tepat dan benar. Jangan sampai selama lima tahun ke 
depan DPR dihuni manusia yang tidak bertanggung jawab. Cara mudah untuk 
mengidentifikasi calon mana yang akan benar-benar bekerja untuk rakyat ialah 
dengan memeriksa rekam jejaknya dan pernyataan publiknya. Semakin banyak dia 
berjanji dan apalagi janjinya tampak tidak masuk akal, semakin besar 
kemungkinan dia tidak bisa dipercaya ketika duduk dalam lembaga eksekutif. 

*. Djoko Susilo, anggota Komisi I DPR 

Kirim email ke