Penggalan tulisan di bawah diharapkan menggugah hati nurani dan menantang kita 
semua untuk berbuat lebih bagi kemanusiaan. Naskah lengkap dapat dibaca di:
http://wisata-buku.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1364&Itemid=1502
 
salam,
bhirawa_m
penganut buddhisme
 
 
Semenjak Timor Timur lepas dari cengkeraman Portugis, aroma kecemasan tidak 
seketika berakhir. Timor Timur harus menghadapi sejumlah agenda kekejaman dari 
para tentara Republik Indonesia. Terbilang, kekejaman yang paling banyak 
membawa korban adalah periode September-Oktober 1999. Periode ini adalah masa 
di mana Timor Timur melakukan jajak pendapat. Awalnya, jajak pendapat dilakukan 
setelah Presiden BJ. Habibie mengeluarkan sebuah referendum pada 27 Januari 
1999. Dalam referendum tersebut BJ. Habibie menawarkan dua opsi yaitu 
memberikan otonomi khusus atau melepas Timor Timur dari NKRI.
 
Setelah referendum dikeluarkan, pada 4 September 1999 hasil jajak pendapat 
diumumkan. Ternyata 78,5% dari 98% rakyat Timor Timur yang memberikan suara, 
menyatakan memilih merdeka dan lepas dari wilayah NKRI. Hal ini membuat pihak 
RI kebakaran jenggot. Aksi kekerasan akhirnya terjadi di mana-mana. Terhitung 
mulai dari pembunuhan, pembumi-hangusan, penjarahan, penyiksaan, pengungsian 
besar-besaran sampai aksi pemerkosaan banyak dilakukan oleh TNI dan para milisi 
(pasukan bentukan TNI) terhadap rakyat Timor Timur. Mereka juga sering 
melakukan pembantaian massal tanpa ampun. Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak 
Asasi Manusia (KPP HAM) Timor Timur yang dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi 
Manusia (Komnas HAM) melaporkan setidaknya lebih dari seribu orang pada kurun 
waktu September-Oktober 1999 yang menjadi korban pembunuhan.
 
Di awal April dan akhir September 1999, banyak orang Timor Timur mengalami luka 
akibat serangan milisi, khususnya di wilayah Covalima, Bobonaro, Ermera, 
Liquiça, dan Dili. Laporan dari FOKUPERS juga menyebut ada 182 kasus 
pelanggaran hak asasi manusia berdasar gender. Kasus ini meliputi perkosaan, 
penculikan, dan beberapa kasus perbudakan. Keadaan juga semakin parah ketika 
250.000 orang Timor Timur dipaksa diangkut ke Indonesia, sebagian besar ke 
wilayah Timor Barat. Mereka tidak boleh pulang ke kampung. Jika ada yang 
membangkang, nyawa siap melayang. Nasib tragis serupa juga menimpa lebih dari 
200.000 orang Timor Timur. Mereka dipaksa melarikan diri ke gunung-gunung. 
Praktis kelaparan segera menjadi jurang maut karena masa itu adalah masa 
kemarau. Sangat sulit ditemukan makanan alami. Akhirya pelan-pelan mereka pun 
mati mengenaskan (hal 149).
 
 



      

Kirim email ke