Pengajar Iya, Penulis Juga

BNI-Kompas Gramedia Goes to Campus di Universitas Bengkulu mengundang Frans 
Parera dan Anwar Holid untuk mengisi sesi penulisan buku untuk para dosen 
universitas itu pada Rabu, 2 Desember 2009.

BENGKULU - "Kalau ada ilmu tentang menulis kreatif yang benar-benar efektif, 
saya pasti bersemangat jadi orang pertama yang mempraktikkannya, biar karya 
saya juga cepat bertambah banyak," kata Anwar di hadapan sekitar empat puluhan 
dosen yang hadir. 

"Roy Peter Clark bilang, 'Penulisan itu kemampuan yang bisa Anda pelajari.' 
Saya menyimpulkan pada dasarnya menulis itu merupakan kerja personal yang butuh 
pendekatan tertentu, namun tetap bisa dipelajari. Artinya, penulis harus 
menemukan sendiri cara terbaiknya ketika berkarya. Seorang penulis bisa saja 
hidup di tengah kerumunan komunitas, mendapat masukan,  dukungan, atau kritik 
dari kawan dan koleganya, tapi begitu mulai duduk menulis, dia harus 
melakukannya sendirian. Dalam kasus tertentu menulis memang merupakan kerja 
sama dua orang atau lebih maupun orang lain mengetikkan dikte seseorang, sesuai 
isi kepala atau cerita dirinya."

Biasanya menulis mengenal dua cara: pertama, menulis 'otomatis' (menulis bebas, 
free writing). Penulis melakukannya secara langsung, mengandalkan intuisi, 
mengalir begitu saja, asumsinya segala ide (gagasan) sudah terbayang dalam 
kepala. Dengan menulis otomatis, penulis diharapkan lebih bisa ekspresif 
menumpahkan atau melampiaskan perasaan. Penulis fiksi tidak hanya kerap 
menggunakan cara ini, penulis nonfiksi pun---ketika menggarap biografi, 
melakukan investigasi, atau mengisahkan ekspedisi---suka meminjam teknik ini. 
Penulis seolah-olah telah punya bayangan akan bercerita apa, dan itulah yang 
dia kejar dan terus dia tuangkan ke dalam kertas atau komputer. 

Kedua, menulis dengan menyusun outline (garis besar) atau storyline lebih dulu; 
biasanya para jurnalis menggunakan teknik ini. Mula-mula penulis menentukan 
poin per poin subjek yang ingin dijelajahi, dan sambil berusaha menuntaskan 
paragraf demi paragraf, mereka mengolah data (bahan, informasi, wawancara, 
temuan lapangan) yang sebelumnya dikumpulkan. Dari sana juga dia menentukan 
alur tulisan, termasuk sudut pandang maupun keberpihakan (kecenderungan) 
penulis. Setelah jadi, kemudian mengolah sekali lagi agar menjadi artikel yang 
mantap dan memuaskan. Bagi penulis, outline bermanfaat untuk membimbing 
penulisan agar tetap dalam jalur benang merah yang padu; bagi sebagian orang, 
cara ini memudahkan, karena segala kebutuhan menulis sudah tersedia. 

Di dalam Writing Tools (2006) Roy Peter Clark menyarankan agar penulis memecah 
proyek penulisan yang besar dan menyita energi jadi bagian-bagian kecil agar 
lebih mudah diselesaikan. Di awal penulisan draft, tulislah sebebas mungkin, 
kendurkan kritik terhadap diri sendiri, jelajahi segala kemungkinan terhadap 
subjek yang ingin dikejar. Jauh lebih penting disiplin menyelesaikan draft dulu 
daripada mengejar kesempurnaan  teks. Memoles dan mengedit tulisan merupakan 
urusan belakangan setelah seluruh isi kepala tercurahkan sederas-derasnya. Baru 
setelah merasa puas dan tuntas, periksalah hasilnya---kalau bisa bersama orang 
lain, lebih khusus lagi dengan editor.

Agar target penulisan lebih segera tercapai, amat penting untuk menulis sedikit 
demi sedikit secara rutin setiap hari. Konsistenlah dengan kebiasaan itu. Misal 
Anda hanya bisa menulis selama satu jam setiap hari setelah shalat subuh, 
lakukanlah. Kasarnya: bila Anda bisa menulis satu halaman bersih setiap hari, 
pada hari ke-365 minimal Anda punya sebuah draft naskah yang sudah cukup untuk 
dibaca ulang atau ditilik-tilik lagi kemungkinan penerbitannya.

BILA sudah siap menawarkan naskah pada penerbit, carilah penerbit yang 
kira-kira cocok untuk naskah Anda. Bila Anda menulis buku ajar (textbook), 
penerbit perguruan tinggi lebih cocok buat Anda. Perguruan tinggi di Indonesia 
sudah banyak yang memiliki unit penerbit. Kalau naskah Anda lebih pantas 
dikonsumsi publik luas, jangan sungkan menawarkannya pada penerbit umum atau 
penerbit dengan kecenderungan khusus.

Frans Parera sangat menekankan pentingnya perkembangan penerbit universitas 
(university press). Dia memprovokasi para pengajar agar menjadi penulis 
saintifik (scientific writer). Universitas Bengkulu sendiri telah memiliki unit 
penerbit, yaitu UNIB Press, aktif sejak 2008, dan telah menerbitkan sejumlah 
judul. Sebagian pengajar pernah menerbitkan buku, menulis naskah buku ajar, 
tembus di jurnal ilmiah internasional, juga menjadi blogger. Namun masih ada 
yang rancu membedakan penerbit dan percetakan, sampai bertanya, "Kalau saya mau 
menerbitkan buku, berapa biaya yang harus saya keluarkan?"

"Berhubunganlah baik-baik dengan editor," saran Anwar. "Editor itu mewakili 
penerbit, bertugas menilai kelayakan naskah, memberi masukan baik terhadap isi 
naskah maupun bahasa, termasuk apa naskah itu punya peluang pasar atau tidak. 
Editor yang baik pasti sangat bermanfaat untuk mematangkan naskah. Sepengalaman 
saya bekerja sama dengan para editor, mereka berdedikasi betul untuk 
menghasilkan naskah yang berisi, memberi masukan cara menjelaskan sesuatu dan 
seterusnya sampai naskah itu pantas dikonsumsi khalayak."

Penerbit biasanya punya dua cara untuk mendapatkan naskah. Pertama menyeleksi 
tawaran naskah yang masuk ke kantor mereka; kedua mencari penulis yang mau 
mengerjakan tema-tema usulan mereka---karena bermaksud mengisi pasar dan sudah 
yakin pertimbangan pasarnya. Penulis bisa memilih mana yang cocok dengan 
keyakinan dan kebutuhannya. Sebagian orang memilih menerima order karena merasa 
dengan begitu naskahnya lebih punya kepastian terbit. Tapi sebagian penulis 
menolak bekerja seperti itu karena merasa subjeknya tak mereka sukai atau 
isinya bukan yang benar-benar mereka ingin tulis (tidak sesuai dengan hati 
nurani). Jika demikian, menulislah yang murni ke luar dari pikiran dan nurani 
Anda. Jika naskah itu bagus dan berbobot, kemungkinan besar ia bisa mendapat 
penerbit.

Satu hal yang juga harus juga kita sadari ialah bahwa penerbit dan buku punya 
tabiat dan nasib masing-masing. Langsung sukses itu jarang-jarang terjadi. 
Brian Hill dan Dee Power dalam The Making of a Bestseller meneliti bahwa 
kegigihan menjadi kunci utama keberhasilan para penulis sukses. Mereka gigih 
untuk terus berusaha menghasilkan karya bermutu.

Kadang-kadang, di luar keyakinan dan kerja keras semua pihak yang ikut 
terlibat, buku Anda ternyata gagal di pasar, diabaikan sama sekali oleh 
pembaca, terlalu cepat diretur oleh toko buku, atau sebaliknya malah dikecam 
habis-habisan oleh pembaca dan kritikus. Jangan berkecil hati. Lihat sisi 
baiknya. Tidak semua barang dagangan itu laku. Kadang-kadang petani gagal 
panen. Klien bisa mengeluh atas pekerjaan kita. Kegagalan bisa terjadi kapan 
saja. Pasti ada sejumlah faktor kenapa sebuah buku gagal, meskipun di awal-awal 
penerbitan semua pihak merasa yakin bahwa ia akan sukses. Bisa jadi buku itu 
tak mendapat publikasi sepantasnya dari penerbit, barangkali isunya sudah 
"lewat" dari perhatian massa, terbit di waktu yang salah, atau pembaca ternyata 
sukar memahami cara penulisan Anda. Meski awalnya selalu membuat sakit hati dan 
sulit diterima, semua buku penulisan dan teknik kreativitas selalu mengajarkan 
belajarlah dari kegagalan. Ambil masukan dari kritik
 paling pahit yang pernah Anda terima. Bertanyalah kepada editor, pembaca 
kritis, para ahli, atau bagian marketing kenapa kira-kira buku Anda sampai 
gagal.
 
"Jangan terlalu percaya pada jargon publish or perish (kalau tidak menerbitkan  
buku, Anda akan hancur)," kata Anwar. "Saya hanya menyarankan Anda untuk 
menerbitkan naskah terbaik. Kalau tidak, lupakan dulu keinginan menerbitkan 
buku secara serampangan. Lebih baik kita rujuk atau gunakan dulu buku-buku 
bermutu karya orang lain. Jangan menambah sampah pikiran pada buku kita. Saya 
lebih setuju pada anjuran agar kalangan akademik mendayagunakan ilmu dan 
kemampuannya untuk mencerahkan publik---yang oleh Budhiana, seorang wartawan di 
Bandung, dinamai 'intelektual publik.'" 

Kalangan akademik memang berpeluang besar memberi sumbangan kecerdasan kepada 
masyarakat luas. Cuma kendalanya pun cukup berat. Misal kalangan akademik kerap 
dituduh sulit mengubah cara penulisan yang terkenal kaku, kering, dan kurang 
imajinatif, sehingga gagal menarik perhatian kalangan pembaca lebih luas. Apa 
yang bisa kita lakukan? Bekerja samalah dengan editor, penerbit, atau penulis 
profesional yang bisa menyampaikan maksud dengan lebih jernih, lentur, dan 
imajinatif. Sebagian kalangan akademik beranggapan mereka memiliki standar 
istilah teknis tertentu yang bila diubah maka akan menurunkan kadar keilmiahan 
subjek tersebut. Benarkah tulisan ilmiah harus disampaikan lewat kalimat pasif 
yang  melelahkan, mempertahankan "objektivitas" kaku dan sama sekali 
mengabaikan subjektivitas? Anggapan ini mungkin perlu dibongkar lagi. Ada 
banyak cara segar untuk mengungkapkan gagasan.

Kalau tidak, belajarlah menulis secara populer, yaitu menulis dalam bahasa baku 
yang lebih bisa dipahami umum. Kuasailah bahasa dan seluruh perangkat 
komunikasinya. Bahasa punya standar tertentu yang membuatnya tetap berwibawa 
meskipun ia ditujukan pada khalayak umum. Hampir setiap media massa memiliki 
ruang untuk interaksi bagi kalangan terpelajar, misal ruang opini, dengan 
keterbacaan yang tetap tinggi. Kuasailah alat ungkap yang menarik, gunakan 
kalimat bertenaga, berani, bahkan kalau perlu provokatif, manfaatkan 
visualisasi, berdayakan imajinasi, eksplorasilah berbagai kemungkinan baru cara 
komunikasi efektif, biar maksud kita sampai dengan lebih baik lagi. Buku-buku 
otoritatif tentang upaya menulis lebih baik, membuat pembaca terpesona dan 
terlibat  dalam tulisan sekarang cukup banyak tersedia di toko buku. Kalau 
tidak, berlatih dan belajarlah dari karya-karya yang  bagus atau penulis 
favorit kita masing-masing. Biasanya dari sana kita juga bisa
 menemukan seperti apa ciri tulisan  yang bagus itu. 

Seberapa penting menulis buku bagi seorang dosen, peneliti, maupun akademikus? 
Yustikasari, seorang pengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas 
Padjadjaran, Bandung, menyatakan: "Menulis buku penting sebagai salah satu 
media untuk transfer ilmu. Dengan menulis, baik artikel dan buku sesuai dengan 
bidang ilmunya, penghargaan dari perguruan tinggi biasanya berupa tambahan kum 
(nilai) untuk naik pangkat." Bila semata-mata untuk kum dan naik pangkat, Frans 
Parera menilai alasan itu "sangat egoistik" karena mengabaikan perasaan dan 
aksesibilitas pihak lain terhadap bacaan.[]12/3/09

Copyright © 2009 BUKU INCARAN oleh Anwar Holid

KONTAK: war...@yahoo.com | HP: 085721511193 | Panorama II No. 26 B Bandung 40141

Situs terkait:
http://www.gramedia.com


      

Kirim email ke