http://www.waspada.co.id/opini/pernikahan-dini-dan-tuntutan.html

      Friday, 21 November 2008 06:01 WIB 

            Pernikahan dini dan tuntutan      
     
      Revisi UU perkawinan

      WASPADA ONLINE

      Oleh Ahmad Sofian, MA Dan Misran Lubis

      Ketika PKPA melakukan sebuah penelitian tentang kekerasan terhadap 
perempuan dan pernikahan dini di Kabupaten Nias awal tahun 2008 yang kemudian 
menginspirasi PKPA untuk membuat sebuah film dokudrama sebagai bentuk media 
sosialisasi, muncul pertanyaan berkali-kali dari berbagai pihak tentang 
kebenaran fakta dalam cerita film itu. Sejujurnya fakta itu ada, namun 
masalahnya kita belum siap dengan keterbukaan terhadap fakta dan berpikir 
positif menyikapi fakta itu. Sebuah film dokudrama yang mengisahkan seorang 
anak perempuan bernama Yanti menolak keinginan keluarga untuk menikah di 
usianya yang masih 15 tahun, usaha Yanti dan kakak Yanti akhirnya membuahkan 
hasil menolak pernikahan  dan Yanti melanjutkan study. Film dokudrama berjudul 
"Perempuan Nias Meretas Jalan Kesetaraan" (PNMJK) telah di launching pada 25 
Oktober 2008 di Lapangan Merdeka Gunung SitoliNias.

      Secara bersamaan dengan pemutaran film PNMJK, Indonesia dihebohkan dengan 
pemberitaan dari Semarang-Jawa Tengah, seorang pengusaha sekaligus pemilik 
pondok pesantren bernama Syekh Puji menikahi seorang anak yang masih berusia 12 
tahun dan baru menyelesaikan sekolah dasar (SD). Peristiwa tersebut membuat 
banyak orang mengeluarkan statement termasuk Menteri Agama, KOMNAS Perlindungan 
Anak dan para pemerhati masalah anak. Pro-kontra dari berbagai sudut pandang 
bermunculan, baik sudut pandang agama Islam, Undang-undang Perlindungan Anak, 
Undang-undang Perkawinan hingga Konvensi PBB tentang Hak Anak menghiasi siaran 
berita dan dialog di media cetak dan elektronik.

      Penulis ingin menyampaikan , dua cerita berbeda tentang pernikahan dini 
di atas seharusnya tidak terlalu mengejutkan kita, andaikan pemimpin-pemimpin 
negeri ini dan para pengambilan kebijakan tanggap terhadap data-data kasus yang 
dilansir setiap tahunnya oleh lembaga-lembaga pemerhati masalah anak dan 
perempuan, serta hasil-hasil penelitian dan survey. Misalnya Laporan Into A New 
World: Young Women's Sexual and Reproductive Lives yang didukung oleh The 
William H Gates Foundation tahun 1998 telah melansirkan, usia pertama kali 
melahirkan di Indonesia antara usia 13-18 tahun mencapai 18% dan Pernikahan di 
b awah usia 18 tahun mencapai 49 persen pada tahun 1998. Kondisinya saat ini 
tidak lah jauh berbeda, berdasarkan hasil penelitian PKPA tahun 2008 di 
Kabupaten Nias, angka pernikahan antara 13-18 tahun sekira 9,4persen dari 218 
responden perempuan yang telah menikah dan akan menikah. Angka pernikahan di 
usia muda bagi anak perempuan 3x lebih besar dibanding dengan anak laki-laki 
(Data Populasi Nias dan Nias Selatan, BPS Tahun 2005). Di kota Malang menurut 
catatan kantor Pengadilan Agama (PA) Kota Malang angka pernikahan di bawah usia 
15 tahun meningkat 500 persen dibanding 2007, hingga September 2008 tercatat 10 
pernikahan yang usia pengantin perempuannya masih di bawah 15 tahun. (BCZ 
Online/Kamis, 30 Oktober 2008). Fenomena pernikahan diusia anak-anak di daerah 
lainya tidaklah jauh berbeda mengingat fakta perilaku seksual remaja yang 
melakukan hubungan seks pra-nikah sering berujung pada pernikahan dini serta 
kultur masyarakat Indonesia yang masih memposisikan anak perempuan sebagai 
warga kelas ke-2 dan ingin mempercepat perkawinan dengan berbagai alasan 
ekonomi, sosial, anggapan pendidikan tinggi tidak terlalu penting bagi anak 
perempuan dan stigma negatif terhadap status perawan tua.

      Kontroversi usia perkawinan
      Kampanye penolakan pernikahan di usia dini yang dilakukan oleh PKPA 
melalui berbagai media sosialisasi sering mendapatkan pertanyaan mendasar 
mengenai batasan minimal usia perkawinan. Bukan hal mudah menjawab pertanyaan 
sederhana yang disampaikan masyarakat. Meskipun Undang-undang nomor 23 tahun 
2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan secara tegas,"Anak adalah seseorang 
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam 
kandungan"(Pasal 1) dan pada pasal 26 ayat 1 poin c disebutkan, keluarga dan 
orang tua berkewajiban untuk mencegah terjadinya perkawinan di usia anak-anak. 
Secara jelas undang-undang ini mengatakan,  tidak seharusnya pernikahan 
dilakukan terhadap mereka yang usianya masih di bawah 18 tahun. Namun tidak 
semudah itu PKPA dapat menjawabnya, karena UU No.1 tahun 1974 tentang 
perkawinan memberikan batasan yang berbeda dan tidak konsisten terhadap batas 
minimal usia perkawinan.

      Di tengah kontroversi hukum di Indonesia mengenai batas minimun usia 
perkawinan, pernikahan di usia dini juga terjadi karena tradisi di suatu 
komunitas dan penafsiran terhadap ajaran agama yang salah. Pernyataan Syekh 
Puji di berbagai media massa yang mengatakan bahwa pernikahannya dengan Ulfa 
seorang anak perempuan 12 tahun, merupakan teladan dari Nabi Muhammad SAW yang 
menikahi Aisyah ketika itu berusia 9 tahun. Pandangan tersebut dibantah Ali 
Akbar, MAg seorang Dosen IAIN Sumut yang mengatakan bahwa Pernikahan Nabi sama 
juga Aisyah usia 9 tahun hanya Mitos, (Waspada Online/Jum'at 31 Oktober 2008). 
Hal yang sama juga ditulis oleh Azhari Akmal Tarigan tentang Dilema Pelaksanaan 
Hukum Islam, (Waspada Online/31 Oktober 2008).

      Kultur di sebagian besar masyarakat Indonesia juga masih memandang hal 
yang wajar jika pernikahan dilakukan pada usia anak-anak. Setidaknya ada 
beberapa faktor yang menyebabkannya berdasarkan hasil kajian dari laporan 
kasus-kasus KDRT, Kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap anak, 
diskursus dan penelitian yang dilakukan oleh PKPA tahun 2008, yaitu ;

      1. Pandangan tentang "kedewasaan" seseorang yang dilihat dari perspektif 
ekonomi. Ketika seseorang telah mampu menghasilkan uang atau telah terjun ke 
sektor pekerjaan produktif telah dipandang dewasa dan dapat melangsungkan 
perkawinan, meskipun secara usia masih anak-anak.
      2. Kedewasaan seseorang yang dilihat dari perubahan-perubahan secara 
fisik, misalnya menstruasi bagi anak perempuan dan mimpi basah  bagi anak 
laki-laki, diikuti dengan perubahan terhadap organ-organ reproduksi.
      3. Terjadinya kehamilan di luar nikah, menikah adalah solusi yang sering 
diambil oleh keluarga dan masyarakat untuk menutupi aib dan menyelamatkan 
status anak pasca kelahiran.
      4. Korban pernikahan dini lebih banyak anak perempuan karena kemandirian 
secara ekonomi, status pendidikan dan kapasitas perempuan bukan hal penting 
bagi keluarga. Karena perempuan sebagai istri segala kebutuhan dan hak-hak 
individualnya akan menjadi tanggung jawab suami. 
      5. Tidak adanya sanksi pidana terhadap pelanggaran Undang-undang 
Perkawinan, menyebabkan pihak-pihak yang memaksa pernikahan di usia dini tidak 
dapat ditangani secara pidana.

      Jika saja semua orang terutama orang tua benar-benar menyadari dan 
belajar dari berbagai dampak negatif yang ditimbulkan akibat pernikahan di usia 
dini tentu saja tidak ada orang tua yang ingin merelakan anak-anaknya terutama 
anak perempuannya akan menjadi korban berikutnya.   

      Revisi suatu keharusan
      Pendewasaan usia perkawinan (PUP) yang diprogramkan oleh pemerintah dan 
juga usaha-usaha menolak pernikahan di usia dini yang dilakukan oleh sejumlah 
organisasi perlindungan anak hanya yang akan menjadi wacana perdebatan tak 
berujung. Solusi lain harus dilakukan oleh negara yang melindungi anak dari 
praktikpraktik pernikahan usia dini adalah dengan merevisi UU No. 1 tahun 1974.

      Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 
bersama-sama sejumlah organisasi gerakan perempuan pernah mengajukan revisi 
terhadap UU Perkawinan. Beberapa permasalahan pokok yang usulkan untuk direvisi 
antara lain;

      1.Pendewasaan usia perkawinan di atas 18 tahun, dengan tidak membedakan 
batas minimal usia perkawinan bagi perempuan dan laki-laki.
      2. Prinsip non diskriminasi dalam pencatatan perkawinan, di unit-unit di 
bawah naungan Departemen Agama.
      3. Prinsip no diskriminasi juga diterapkan terhadap hak dan kewajiban 
bagi perempuan dan laki-laki.
      4. Hak dan status anak yang dilahirkan di luar hubungan pernikahan tetap 
memiliki hak dan status yang sama dengan anak yang dilahirkan dalam ikatan 
perkawinan secara perdata, sesuai UU No.23 tahun 2002 pasal 7 ayat (1) 
menyebutkan Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan 
diasuh oleh orang tuanya sendiri.

      Dukungan dan tuntutan tentang revisi Undang-undang perkawinan merupakan 
perwujudan dari upaya bersama untuk menyelamatkan masa depan anak-anak 
Indonesia, karena pada dasarnya anak hanya titipan dan karunia Tuhan. Prinsip 
mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak dalam setiap pengambilan keputusan 
yang menyangkut anak merupakan kewajiban semua pihak.

      Penulis Tim PKPA (Pusat Kajian dan Perlindungan Ana 

<<emailButton.png>>

Kirim email ke