Persepsi Keliru tentang Konflik Palestina-Israel

Mustofa Liem, peminat masalah agama dan politik 
Baru-baru ini Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur 
Kiai Mutawakkil Alallah mengungkapkan, kita perlu waspada terhadap keinginan 
menjadikan momentum konflik Hamas-Israel sebagai kesempatan untuk mencari 
kepentingan sendiri dengan mengorbankan kepentingan bangsa (3 Januari). 
Solidaritas atau perasaan senasib sepenanggungan dengan warga Palestina di Gaza 
memang sudah sepantasnya digelorakan, baik dalam unjuk rasa maupun pernyataan 
mengecam Israel. Namun, yang paling penting, di antara sesama warga bangsa 
sendiri, kita justru jangan terpicu untuk membuat konflik baru, gara-gara 
persepsi keliru dalam memandang agresi Israel di Gaza pada khususnya, serta 
konflik Palestina-Israel pada umumnya. Dalam konteks inilah kita patut 
mengapresiasi langkah perwakilan seratus tokoh lintas kelompok yang digalang 
Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin ketika mendatangi Kantor Perserikatan 
Bangsa-Bangsa di Jakarta (7 Januari). 
Jujur saja, di tengah blowup media atas pemberitaan agresi Israel ke Gaza, 
penulis sering kali bertemu dengan umat Islam yang punya persepsi keliru. Salah 
satunya adalah seolah umat kristiani di dunia, termasuk di negeri kita, berada 
di kubu pemerintah Zionis Israel. Persepsi keliru itu tampak rasional karena 
Israel memang selalu dibela oleh Amerika Serikat, yang presidennya selalu 
beragama Kristen. 
Bahkan persepsi keliru itu sudah muncul puluhan tahun lalu. Guna menjelaskan 
kesalahan persepsi ini, pernah Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi, Ketua 
Pesekutuan Gereja Indonesia Dr A.A. Yewangoe, dan Kardinal Julius Darmaatmaja 
sampai menggelar konferensi pers khusus yang menegaskan bahwa konflik di 
Palestina bukanlah konflik Islam versus Kristen (4 April 2002), karena umat 
Islam dan Kristen Palestina justru sama-sama sedang berjuang mewujudkan satu 
negara Palestina yang merdeka dan berdaulat. Dalam kunjungannya ke Indonesia 
pada Juli 1984, Arafat juga menegaskan bahwa perjuangan Palestina melawan 
Israel bukan berdasarkan agama. Dari 4 juta warga Palestina, sekitar 85 persen 
adalah Islam dan 15 persen Kristen.

 
Terkait dengan relasi antara warga Palestina yang muslim dan Kristen, faktanya, 
secara tradisional dan dari generasi ke generasi juga selalu baik. Kebetulan 
penulis juga punya kontak dengan pemikir-pemikir Palestina yang muslim atau 
Kristen seperti pastor atau biarawati. Relasi kedua umat itu justru patut 
dibanggakan. Pernyataan ini bukanlah tanpa bukti. Misalnya Hamas (Harakah 
al-Muqawamah al-Islamiyah) punya menteri Kristen juga, yakni Hosam al-Taweel. 
Misalnya lagi, setiap Natal, para pemimpin Palestina selalu mencoba hadir di 
Gereja Kelahiran Yesus di Betlehem, meski penguasa Zionis sering menghalangi. 
Bahkan, kalau pemimpin Palestina tidak bisa hadir di gereja itu, selalu 
tersedia satu kursi kosong. Sejarah bisa menjadi saksi betapa harmonisnya 
relasi umat Islam dan Kristen di Palestina. 
Menyangkut Gereja Kelahiran di Betlehem, kalau menengok sejarah, kita tentu 
masih ingat kejadian menarik pada 23 Maret 2000, ketika mendiang Paus Yohanes 
Paulus mempersembahkan misa di sana. Ketika Paus memimpin misa yang juga 
dihadiri Arafat (mendiang) dan Suha, ada satu kejadian menarik. Sewaktu 
mengakhiri khotbahnya, terdengar azan dari sebuah masjid dekat Manger Square, 
di luar Gereja Kelahiran Kristus Betlehem. Paus, yang baru saja mengenakan topi 
kebesaran kepausan (mitra) untuk meneruskan tahapan misa berikut, kemudian 
duduk dan diam. Para pembantunya yang terdiri atas beberapa kardinal, uskup, 
dan pastor juga berdiam diri mengikuti sikap Paus sampai azan itu berakhir. 
Umat, termasuk Presiden Palestina Yasser Arafat dan istrinya, Suha, yang duduk 
di jajaran terdepan dari umat, langsung bertepuk tangan memberi apresiasi pada 
sikap Paus. 
Paus tidak hanya mengajarkan toleransi, tapi perlu diketahui, Vatikan selalu 
menjadi penyokong utama bagi perjuangan Palestina. Para pastor Katolik atau 
pendeta Kristen Palestina lainnya juga aktif dalam memberi dukungan bagi 
perjuangan Palestina. Misalnya, dalam perjuangannya semasa memimpin Organisasi 
Pembebasan Palestina, Arafat juga memiliki beberapa penasihat. Salah satunya 
pastor Katolik Ibrahim Iyad. Menurut Alan Hart dalam biografi

 Arafat: Terrorist or Peacemaker? (London, Sidgwick & Jackson, 1987), dari 
Pastor Iyad, yang merupakan putra asli Palestina, dunia tahu bahwa Arafat akan 
terus berjuang sampai akhir hayatnya untuk meraih kembali bumi Palestina yang 
dirampas kaum Zionis. 
Para pastor itu dekat dengan Arafat juga tak berpamrih mengkristenkan Arafat. 
Ini perlu dikemukakan karena Pendeta Amerika R.T. Kendall dulu pernah mencoba 
mengkristenkan Arafat dan ditanggapi meluas di negeri kita. Padahal orang-orang 
Kristen Palestina asli tidak perlu melakukan hal seperti itu. Kristen dan 
muslim Palestina sudah saling memiliki toleransi dan penghargaan jujur 
sepanjang ribuan tahun, sehingga mereka tak berniat mengislamkan atau 
mengkristenkan saudaranya. Sekadar informasi, Kristen Palestina sudah ada sejak 
zaman Nabi Isa alaihis salam atau Yesus, sehingga mereka bukan hasil produk 
Kristen Barat atau Amerika. Tidak mengherankan, ketika tentara Salib menyerbu 
Palestina pada abad X, Kristen asli Palestina pun ikut menjadi korban. 
Karena itu, Presiden Palestina Mahmud Abbas, misalnya, akan segera angkat 
bicara jika ada pihak dari luar yang mencoba mengadu domba bangsanya. Bahkan, 
kepada Usamah bin Ladin, Abbas pernah marah karena Usamah berjuang melawan 
Amerika dengan memanfaatkan isu Palestina, sehingga melahirkan persepsi keliru 
seolah ada dikotomi antara Islam-Kristen di Palestina. Apalagi uang yang 
dipakai Usamah sebenarnya sangat berarti bagi warga Palestina. 
Karena itu, menurut Abbas, siapa pun yang ingin berjuang bagi bangsanya, 
perjuangan itu pertama-tama bisa disalurkan untuk menolong warganya yang kini 
dilanda kemiskinan dan kepedihan akibat penjajahan Israel. Bayangkan, 75 persen 
dari 4 juta warga Palestina saat ini (di Tepi Barat ada 2,5 juta jiwa, di Gaza 
ada 1,5 juta) hidup dengan biaya kurang dari US$ 2 per hari. Khusus bagi warga 
Palestina di Gaza, tentu penderitaan makin berat akibat agresi Israel sejak 27 
Desember 2008. Jadi mereka lebih butuh makanan dan obat-obatan. Maka pengiriman 
para sukarelawan kita untuk membantu tentara Hamas jelas kurang efektif. Namun, 
yang penting di atas semuanya, di antara sesama warga bangsa kita sendiri, kita 
jangan justru berkonflik gara-gara persepsi keliru dalam memandang agresi 
Israel ke Gaza kali ini. *

 
 
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/01/14/Opini/krn.20090114.153725.id.html


 
http://media-klaten.blogspot.com/
 
 
 
salam
Abdul Rohim


      

Kirim email ke