Rabu, 17 September 2008 - 00:36 WIB

Nilai-Nilai Budaya dan Pluralisme Bangsa Terancam dengan UU Diskriminatif
PDS dan PDIP Tolak RUU Pornografi (+ Tulisan DT)
PDS dan PDIP Tolak RUU Pornografi
Persda Network/js, yat


Jakarta, Tribun - Fraksi Partai Damai Sejahtera (PDS) dan Partai Demokrasi 
Indonesia Perjuangan DPR RI tegas menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) 
Pornografi. RUU Pornografi dinilai justru membatasi ruang gerak perempuan untuk 
berekspresi.


"RUU ini mengatur tentang hal yang seharusnya tidak diatur. Ini justru akan 
membatasi ruang gerak perempuan untuk berekspresi. Bukannya kami pro dengan 
pornografi, tapi mereka hanya memosisikan perempuan sebagai obyek, bukan 
subyek," tegas Tiurlan dari FPDS saat jumpa pers bersama sejumlah aktivis 
perempuan yang menolak RUU Pornografi di Gedung DPR, Jakarta, Senin (15/9).

Hal senada diungkapkan Agus Sasongko, anggota Fraksi PDIP. Agus mensinyalir, 
pengesahan RUU Pornografi lebih didasarkan kejar setoran atau kejar tayang. 
Pasalnya pada 18 September pembahasan pendapat akhir fraksi dan Rabu 17 
September masih ada sosialisasi dengan kementerian pemberdayaan perempuan.

Tiurlan menambahkan, kalau nanti disahkan, para wanita yang memakai pakai rok 
mini atau tank top pun kena hukuman karena dianggap membangkitkan hasrat 
seksual. "Begitupun jika kita tidak memakai jilbab," tuturnya.

Sementara Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Perempuan Indonesia Masruhah 
menambahkan rencana pengesahan RUU Pornografi tidak melihat kondisi sosial 
politik saat ini. "Siapa pun pasti tidak suka pornografi. Akan tetapi isi dari 
RUU Pornografi ini bermasalah. Harus ada pertimbangan yang baik sebab lima 
provinsi sudah menyatakan menolaknya, selain itu sembilan provinsi lain juga 
memberikan dukungan untuk menolak undang-undang ini. Konstitusi Negara kita 
dengan tegas menyatakan menolak adanya diskriminasi terhadap pihak-pihak 
manapun. Lima Provinsi yang sudah menolak antara lain, Bali, NTT, Papua, Papua 
Barat, serta Sulawesi Selatan," tegasnya. (Persda Network/js/yat)
Contoh Pasal Larangan
BAB II
Bagian Pertama, Pornografi
Pasal 13: Setiap orang dilarang menyiarkan, memperdengarkan, mempertontonkan 
atau menempelkan tulisan, suara atau rekaman suara, film atau yang dapat 
disamakan dengan film, syair lagu, puisi, gambar, foto, dan/atau lukisan yang 
mengeksploitasi daya tarik ketelanjangan tubuh melalui media massa cetak, media 
massa elektronik dan/atau alat komunikasi medio.

Pasal 14: Setiap orang dilarang menyiarkan, memperdengarkan, mempertontonkan 
atau menempelkan tulisan, suara atau rekaman suara, film atau yang dapat 
disamakan dengan film, syair lagu, puisi, gambar, foto, dan/atau lukisan yang 
mengeksploitasi daya tarik tubuh atau bagian-bagian tubuh orang yang menari 
erotis atau bergoyang erotis melalui media massa cetak, media massa elektronik, 
dan/atau alat komunikasi medio.

Bagian Kedua, Pornoaksi
Pasal 25:
1.Setiap orang dewasa dilarang mempertontonkan bagian tubuh tertentu yang 
sensual.
2. Setiap orang dilarang menyuruh orang lain untuk mempertontonkan bagian tubuh 
tertentu yang sensual.

Pasal 27:
1. Setiap orang dilarang berciuman bibir di muka umum.
2. Setiap orang dilarang rnenyuruh orang lain berciuman bibir di muka umum.

Sumber : Tribun Jabar.

Tulisan;

TANTANGAN SERIUS PLURALISME BANGSA:
KASUS RUUP
Oleh:
ML Denny Tewu, SE, MM*

Pengantar

Rancangan Undang-Undang Anti Pornoaksi dan Pornografi telah berubah namanya 
menjadi Rancangan Undang Undang Pornografi (RUUP). Perubahan itu terjadi 
setelah serangkaian protes dan ketidaksetujuan dilakukan secara massif dan 
meluas di berbagai bagian Bangsa ini. Mulai dari aktivis di Papua, NTT, Bali, 
Sulawesi Utara sampai ke Jawa Timur, Jakarta, Sumatera Utara dan Kalimantan. 
Protes ini memang ”sedikit” berhasil karena dilakukan banyak modifikasi dan 
perubahan, termasuk namanya kemudian berubah menjadi RUUP. Tetapi persoalannya 
kemudian adalah, ketika terjadi perubahan nama, ternyata perubahan secara 
substansial tidaklah nampak.

Dan sekarang, lebih menjadi persoalan penting manakala ternyata, RUUP tersebut 
akan didesakkan untuk diputuskan dalam persidangan DPR RI minggu berjalan ini. 
Sungguh menyedihkan. Kembali sebuah degradasi KEBANGSAAN akan dipaksakan untuk 
dilegalisasi melalui sebuah LEMBAGA PERWAKILAN bernama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT 
REPUBLIK INDONESIA. Jika skenariao tersebut berlangsung, maka pada hari Selasa 
nanti, RUUP yang kontroversial sejak dari ide awalnya, akan menjadi sebuah 
Undang Undang. Meskipun Fraksi PDI Perjuangan dan PDS telah menyatakan 
penolakannya secara keras, nampaknya konfigurasi DPR yang terkotak akan 
memaksakan agar produk kontroversi ini diundangkan.

Apa implikasinya? Agak sulit dikemukakan meski sudah terlihat embrionya. 
Indonesia semakin hari justru semakin rapuh karena perasaan kebersamaan semakin 
lama semakin, bukannya terkikis, tetapi semakin dikikis oleh anak Bangsanya 
sendiri. Artinya, bukanlah bahaya dari luar yang meretakkan KEINDONESIAAN, 
tetapi aksi pemaksaan tafsir tunggal dan dominasi kultur tertentu yang membuat 
kebersamaan mengalami pelunturan secara sistematis.

Kontroversial Sejak Semua

Sudah ditegaskan diawal, bahwa RUUP sejak bernama RUUAPP, sudah menuai protes 
dan menuai kecaman. Anehnya, meski dikecam, Dewan Perwakilan Rakyat maju terus 
dengan alasan: untuk melindungi perempuan dan moralitas Bangsa. Menjadi aneh 
dan anomali, karena yang berjuang menentangnya, justru adalah aktivis-aktivis 
Perempuan. Bukan hanya aktivis NGO atau LSM, tetapi bahkan juga aktivis 
beberapa lembaga keagamaan. Ada apa rupanya? Bukankah ini menghadirkan fakta 
yang bukan hanya menggelikan tetapi sekaligus juga menggelisahkan? Jika target 
perlindungannya justru merasa diancam dan didiskriminasi, apa sebetulnya target 
RUUP dan apa motif politiknya?

Sudah sejak awal dipertanyakan, apa definisi pronografi dalam, baik RUU APP 
maupun RUUP ini. Repotnya, definisi tentang pronografi ini terhitung ngelindur 
dan sangat tidak ramah dengan perempuan. Definisi yang kabur dan meluas, 
teramat luas ini, karena melingkupi juga cara jalan atau berpakaian perempuan 
yang bisa mengundang nafsu, sungguh membuat banyak kalangan geram. Aneh bin 
ajaib, dalam kasus perempuan, seakan-akan proses-proses kebangkitan berahi dan 
gairah hanya berlaku dan berasal dari Perempuan. Dan karenanya, cara berpakaian 
perempuan harus diatur dan ditata. Padahal, bukankah laki-laki yang 
terbangkitkan gairahnya semata bukan hanya karena cara perempuan berpakaian? 
Aspek ini bukan hanya diskriminatif terhadap perempuan, tetapi juga memuat 
aspek yang sangat berat sebelah dan sulit dipahami secara logika.

Bukan hanya kaum perempuan yang berontak dan terlecehkan dengan RUUP bergaya 
seperti ini. Tetapi masyarakat lokal dengan wisdom lokal yang diarungi 
berabad-abad silam, kini terancam dengan labeling paksa semacam ini. Bisa 
dibayangkan betapa hampir semua anak gadis dan perempuan Papua dan Bali bakal 
dimasukkan ke penjara karena cara berpakaian yang tidak sopan menurut RUUP ini. 
Repotnya lagi, gaya tersebut sudah diamini dan dihidupi sebagai live style dan 
bahkan budaya daerah tersebut berabad-abad. Kini, secara semena-mena, adat 
seperti itu dituduh tidak senonoh, tidak sopan dan merusak moralitas Bangsa. 
Moralitas Bangsa yang mana? Salahkah jika kemudian Papua dan Bali mulai 
memandang bahwa Indonesia bukan lagi rumah yang ramah bagi mereka? Salahkah 
jika bibit dan embrio perlawanan terhadap Kebangsaan Indonesia mulai menyebar 
dan menemukan momentumnya melalui pemaksaan tafsir moral seperti ini?

Indonesia pernah mengalami dominasi tafsir ideologi yang akut selama 32 tahun 
regime orde baru. Kini, dominasi dan pemaksaan sejenis datang lagi dalam bentuk 
yang lebih soft tetapi dengan daya hancur yang tidak berbeda. Papua misalnya, 
setelah mulai menata kembali ketertinggalannya dengan affirmatif action dalam 
bentuk UU Otonomi Khusus, bakal meledak jika gaya hidup mereka mau kembali 
diatur-atur dengan menggunakan parameter dan paradigma pusat. Dan perlawanan 
sejenis, pasti akan bermunculan bukan hanya dari Papua, tetapi juga daerah lain.

Benarkah Demi Moral Bangsa?

Pertanyaan selanjutnya adalah, benarkah RUUP ini diajukan dan diusulkan untuk 
melindungi Moralitas Bangsa? Soal pertama adalah, moralitas Bangsa yang 
bagaimana? Dan Bangsa yang mana yang dimaksudkan? Menjawab pertanyaan ini 
menjadi sangat penting. Tentu saja, agar segera nyata bahwa bukan hanya asumsi, 
tetapi bahkan argumentasi RUUP sudah miring sejak ditingkat konsepnya.

Pertama, diaminkan bahwa Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang majemuk. Jika 
menggunakan terminologi nation sebagai satu kumpulan manusia yang memiliki 
budaya, bahasa dan sejarah bersama dengan kemampuan self rule, maka Indonesia 
memiliki banyak Bangsa yang menyatu menjadi Bangsa Indonesia. Keberagaman ini 
adalah kekuatan utama Bangsa Indonesia untuk lahir dan menyatu menjadi sebuah 
Negara berdaulat per 17 Agustus 1945. Apakah semua bangsa yang menyatu itu 
setuju dengan penyeragaman moral Bangsa Indonesia hanya berlandaskan satu paham 
atau satu ideologi? Dan kemudian paham dan ideologi itu harus dianut oleh 
bangsa lain karena memang sudah harus demikian secara hukum?

Harus dimengerti, bahwa standar moral di daerah-daerah budaya Indonesia 
berbeda-beda. Masyarakat Bali terbiasa dengan perempuan yang berpakaian 
menerawang, dengan BH yang nampak menerawang dari balik pakaiannya. Bahkan 
masyarakat di Papua, tebriasa bertelanjang dada dan menjadi persoalan biasa 
diantara mereka. Masyarakat pedesaan Indonesia, termasuk di Sulawesi Utara, 
terbiasa menyaksikan kaum wanitanya ke sungai untuk kebutuhan sehari-hari 
dengan berpakaian seadanya. Jika keseharian mereka sudah seperti itu, dan tidak 
mengalami persoalan berabad-abad, sekarang praktek itu akan disalahkan dan 
diganjar hukuman karena praktek di daerah lain yang harus dipaksakan didaerah 
mereka.

Rata-rata praktek kehidupan masyarakat pedesaan Indonesia secara sosiologis 
hampir sama. Anehnya, praktek yang berasal dari luar Indonesia, kini mau 
dipaksakan berlaku diseluruh Indonesia dengan membelakangi konteks dan bangun 
moral bangsa Indonesia sendiri. Bukankah ini aneh?

Kedua, paralel dengan argumentasi pertama, bangsa yang mana yang mau dirujuk 
oleh RUUP ini? Bukan hanya Papua dan Bali, tetapi kebanyakan penduduk dan 
Bangsa Indonesia dipedalaman, tidak bermasalah dengan gaya dan cara berpakaian. 
Sangat jelas, bahwa pemaksaan ini justru berasal dari kultur dan standar moral 
yang berasal dari luar haribaan Indonesia. Perempuan Jawa yang berkembenpun 
bakal dipersoalkan jika RUUP ini hadir dalam bentuknya yang lama.

Jika demikian, sebetulnya argumentasi demi moralitas Bangsa gugur dengan 
sendirinya. Karena, meski tidak dikatakan, RUUP ini sarat dengan tafsir dan 
ideologi agama tertentu. Konfigurasi partai pendukung di parlemenpun 
menunjukkan betapa partai-partai Islam menjadi pendukung utamanya dengan PKS 
sebagai motornya. Karena itu, menjadi bukan rahasia, jika kemudian RUUP ini 
menjadi salah satu agenda politik yang harus dijadikan Undang-Undang. Dan jika 
melihat kecenderungan Indonesia kontemporer, dimana sudah lebih 200 perda dan 
aturan ditingkat daerah yang menyimpang tanpa intervensi Departemen Dalam 
Negeri, maka RUUP akan dilegalisasi. Dan percaya atau tidak, dalam waktu tidak 
lama, jenis Undang-Undang yang sama akan bertebaran di Parlemen Indonesia.

Tantangan Pluralisme Indonesia

Tak pelak lagi, inilah tantangan serius atas pluralisme Indonesia. Tantangan 
ini semakin hari semakin berat, karena bidang pertarungannya terjadi dihampir 
semua bidang. Jika sebelumnya, perda dan aturan ditingkat daerah serta 
Perundangan Indonesia steril dari ideologi berdasarkan agama, maka kini sudah 
lebih 200 yang sah dan tidak dianulir pemerintah. Dan nampaknya kecenderungan 
ini semakin hari akan semakin menguat, terutama karena interplay Partai Politik 
dan transaksi politik yang cenderung butuh take and give. Sebetulnya, jika 
traksaksi politik tidak menyentuh arena ideologi, masalah kebersamaan dan 
pluralisme Indonesia masih akan terjaga dan terpelihara. Tetapi, karena proses 
interplay dan transaksi itu melibatkan semua hal dan mempertukarkan semua hal, 
membuat ideologi dan pluralisme dalam goncangan.

Contoh nyata adalah beberapa kelompok yang jelas-jelas menentang Pancasila dan 
lantang menyuarakannya secara terbuka. Toch pemerintah dan aparat penegak hukum 
tidak berani melakukan apa-apa terhadap kelompok seperti ini. Padahal, di 
Amerika Serikat sendiri, memang bebas menyuarakan apa saja, tetapi tidak 
menyangkut keabsahan ideologi dan konstitusi. Kita di Indonesia, Pancasila saja 
sudah bisa dan bebas ditentang kelompok tertentu tanpa ada sanski pemerintah. 
Artinya, otoritas pemerintahanpun sebenarnya menjadi tidak berdaya dan tidak 
berkuku terhadap besar yang sedang mendegradasi KEINDONESIAAN.

Pluralisme Indonesia yang terumuskan secara baik dalam ideologi Pancasila, 
semakin hari semakin tergerus. Ideologinya tetap dalam rumusan yang sama, 
tetapi prakteknya, terjadi peredupan dan degradasi penerapan karena 
inkonsistensi penegakkan hukum disemua lapangan. Hanya hukum yang ditegakkan 
yang bisa menyelamatkan Indonesia. Banyak pihak bekemauan baik yang tentu 
berniat menyelamatkan Indonesia dan Pluralisme Indonesia yang sangat kaya dan 
dalam falsafahnya. Tetapi,jika pemegang otoritas membiarkan, maka tantangan 
serius atas pluralisme Indonesia, tidak diragukan akan berujung pada skenario 
THE END OF INDONESIA. Kita tidak menginginkannya, tetapi jika memang berujung 
kesana, akankah atas nama demokrasi melahap konstitusi dan ideologi yang selama 
ini menjadi ’pemersatu bangsa’ ?

* Penulis adalah politisi praktis PDS
 (www.partaidamaisej ahtera)

Kirim email ke