Poligamy Adalah Budaya Bukan Agama !
                                                       
Undang2 Negara cuma satu dan berlaku bagi semua tanpa mem-beda2kan (tanpa 
diskriminasi) agama, gender, maupun tingkat ekonominya.

Kalo Poligamy boleh berlaku bagi umat Islam, maka berlaku pula bagi umat 
Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan semuanya termasuk yang tidak beragama juga 
tidak boleh dibedakan harus boleh juga berpoligamy.  Karena Poligamy adalah 
Budaya bukan Agama !!!!

Semua agama asal mulanya juga berpoligamy, tidak ada satupun agama yang 
melarang Poligamy.  Larangan poligamy bukan dari agama manapun juga melainkan 
dari negara sekuler yang bertekad untuk menegakkan HAM secara universal seperti 
yang dideklarasikan oleh United Nation.  Oleh karena itu, "Poligamy" bukan 
monopoli umat Islam atau agama Islam.

Pemerintah harus tegas dalam menegakkan UU negara, Syahkan Poligamy, atau 
Larang Poligamy.

Kedua sikap tegas ini masing2 ada resiko2 berbeda yang harus ditanggungnya, 
karena sikap tidak tegas dari pemerintah malah akan membuka lubang2 korupsi 
seperti yang dilakukan pihak polisi kepada Syeh Puji.

Syeh Puji adalah satu contoh korban dari UU pemerintah yang tidak tegas dalam 
menegakkan UU negara ini.  Karena kebetulan Syeh Puji ini kaya raya, dia 
ditangkap dengan tuduhan menikahi anak dibawah umur.  Padahal dalam aturan 
Poligamy itu sendiri tidak ada larangan untuk menikahi anak dibawah umur asal 
sudah mens.  Bahkan jutaan orang2 lainnya yang juga melakukan perkawinan yang 
sama seperti yang dilakukan Syeh Puji tak ada satupun yang ditangkap atau 
dituntut ke pengadilan.  Bahkan perkawinan anak dibawah umur itu banyak 
dilakukan oleh Dept. Agama sendiri.

Ketidak tegasan sikap pemerintah membuat UU negara ini menjadi UU yang 
menciptakan koruptor2, terutama koruptor2 dilingkungan penegak hukumnya seperti 
Polisi, Jaksa dan hakimnya.

UU yang korup, menciptakan system yang korup, dan seluruh kehidupan negara juga 
korup seperti yang terjadi sekarang ini.

Mensyahkan Poligamy dengan UU, meskipun akan menyebabkan sanksi Internasional 
karena Poligamy itu sendiri merupakan pelanggaran HAM, tetapi konsekuensinya, 
perkawinan Poligamy tidak boleh di diskriminasi tetapi harus disamakan dengan 
perkawinan Monogamy.  Artinya, kalo dalam perkawinan Monogamy oleh pemerintah 
diberikan tunjangan isteri, maka dalam perkawinan Poligamy-pun para isteri2 ini 
harus diberikan tunjangan yang sama seperti dalam perkawinan Poligamy.  Kalo 
isteri pertama mendapatkan tunjangan Rp500ribu/bulan, maka isteri kedua, 
ketiga, keempat ..... dst, juga harus sama2 Rp500ribu/bulan.  Demikianlah 
kenyataannya dizaman Bung Karno semua isteri2 Bung Karno mendapatkan tunjangan 
isteri dari negara.  Maka pemerintah sekarang juga wajib memberi tunjangan 
isteri2 untuk pegawai2 neger yang berpoligamy tanpa mendiskriminasikan mereka 
seperti dizaman Bung Karno.  Dilain pihak, mensyahkan Poligamy harus berlaku 
bagi semua umat beragama, tidak bisa mendiskriminasikan hanya umat Islam saja 
yang boleh Poligamy sedangkan umat yang bukan Islam dilarang ber-poligamy, 
karena poligamy bukanlah milik agama melainkan semua agama asal mulanya juga 
mempraktekkan Poligamy.

Melarang Poligamy dengan UU, juga punya konsekuensi politik dalam negeri, 
karena tidak mungkin melarang Poligamy disatu pihak tetapi dilain pihak juga 
menegakkan Syariah Islam.  Karena pelarangan Polgiamy itu sendiri jadi 
bertentangan dengan Syariah Islam.  Oleh karena itu, melarang Poligamy harus 
ber-sama2 juga dengan melarang Syariah Islam.

Demikianlah, ketegasan pemerintah untuk bersikap sangat dibutuhkan demi 
tegaknya keadilan.  Apapun pilihan pemerintah akan jauh lebih baik katimbang 
tidak adanya ketegasan yang cuma membuka lubang2 korupsi dari para pejabat 
negaranya sendiri. Jangan seperti dizaman Suharto dimana pegawai negeri dan 
ABRI dilarang berpoligamy, tetapi umat Islam diluar pegawai negeri dan ABRI 
dibolehkan Poligamy, dan yang non-Islam dilarang Poligamy.  Undang2 negara 
tidak bisa mem-beda2kan seperti itu.  Sekali boleh berpoligamy, maka semua 
rakyat RI ini harus dilindungi berpoligamy tanpa membedakan agamanya.

Demikianlah, kita semua menunggu ketegasan pemerintah, mau melarang Poligamy 
silahkan, atau mau mesyahkan Poligamy juga silahkan, yang penting adil yang 
artinya berlaku bagi semua bukan cuma berlaku kepada umat Islam tetapi juga 
berlaku bagi semua umat tanpa membedakan agamanya.  Karena Poligamy adalah 
Budaya bukan Agama.

Ny. Muslim binti Muskitawati.



Kirim email ke