Politik di Pesantren
Makna yang Didengar dan Ditaati
Kompas, Selasa, 15 Juli 2008 | 00:46 WIB

Oleh Wisnu Dewabrata

Walau tidak persis sama dan sebangun dengan model ketaatan hierarkis ala
militer, pola ketaatan seorang santri dan kultur masyarakat pesantren kepada
kiainya sedikit banyak tidak terlalu berbeda dengan ketaatan seorang
prajurit terhadap jenderalnya.

Kalau ada bedanya, model hubungan kiai, santri, dan nahdliyin tidak mengenal
terminologi komando ala militer. Polanya lebih khas. Perintah seorang kiai
sering kali tidak perlu disampaikan secara gamblang. Kadang cukup dengan
simbol tertentu. Hal itu sudah masuk kategori perintah yang harus
didengarkan dan ditaati. Sami'na wa ata'na, kami mendengar dan kami
menaatinya.

Seorang rekan, sebut saja Ilmie, bercerita pengalamannya ketika masih
nyantri di salah satu pondok pesantren terkenal di Jawa Timur. Saat itu
rezim Orde Baru masih berkuasa. Setiap menjelang pemilu, selain banyak tokoh
partai dan organisasi datang ke ponpes tempatnya, sang kiai pengasuh ponpes
juga punya kebiasaan meliburkan santrinya. Harapannya agar santri pulang dan
memberikan suara di kota tempat tinggal masing-masing bersama keluarga.
Namun, sebelum santri pulang, kiai biasa memberi "wejangan" soal partai mana
yang akan dipilihnya.

Memang tanpa paksaan atau perintah. Namun, santri mafhum apa isi pesan di
balik wejangan sang ajengan. Tidak hanya santri, keluarga pun kadang
mengikutinya.

Pendekatan terhadap sosok kiai dan ponpes sejak dahulu dipahami sebagai
salah satu cara efektif, setidaknya untuk memengaruhi dan menarik simpati
masyarakat agar kemudian memilih parpol atau tokoh seperti yang dipilih sang
kiai. Kiai sebagai sosok penyedot suara (vote getter) terbilang ampuh.

Namun, seiring berjalannya reformasi, sejumlah kalangan mulai meyakini ada
penurunan kadar ketaatan, terutama jika dikaitkan dengan hubungan antara
preferensi politik santri, masyarakat, dan kiai. Ada banyak faktor yang
dinilai menjadi penyebab. Dalam sebuah wawancara akhir Juni lalu, pengajar
Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Priyatmoko,
menyebutkan setidaknya dua faktor penyebab.

Pertama, semakin beragamnya partai dan tokoh yang dapat dipilih masyarakat
dalam pemilu. Hal itu tidak saja mengubah perilaku dan preferensi memilih,
tidak hanya masyarakat, tetapi juga para kiai.

Faktor kedua, semakin menipisnya "ketaatan" politis umat. Menurut
Priyatmoko, hal itu disebabkan kian banyak warga yang berpengetahuan dan
berpengalaman tentang bagaimana memilih dan siapa atau apa yang harus mereka
pilih.

Dengan modal pengetahuan itu, masyarakat calon pemilih, baik dalam pilkada
langsung maupun pemilu, lebih paham soal bagaimana perilaku dan
kecenderungan memilih ajengan dan manfaatnya bagi mereka.

"Sekarang ini (santri) yang generasi muda kian kritis. Saat mendengar fatwa
atau tausiyah, mereka tak langsung mengiyakan. Mereka juga mulai bisa
berpikir, dalam kasus ini kiai dapat (keuntungan) berapa?" ujar Priyatmoko.
Sikap kritis yang didasari banyak masukan informasi dan pengetahuan, lanjut
Priyatmoko, tidak lepas dari kian terbukanya kalangan ponpes terhadap
informasi, terutama dari berbagai media massa.

"Dalam batas tertentu, keberadaan kiai dan ponpes memang masih dimanfaatkan
parpol dan kandidat untuk didekati. Namun, itu simbolisasi saja. Jika memang
(pengaruhnya) masih kuat, pencalonan Pak Hasyim Muzadi dalam Pemilu 2004
mestinya kan bisa menang," ujar Priyatmoko.

Guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unair, Kacung Marijan,
menambahkan, fragmentasi politik itu terjadi lantaran Nahdlatul Ulama (NU)
menerapkan kebijakan "Kembali ke Khittah NU 31 Januari 1926". Slogan yang
terkenal kemudian adalah "NU bisa ada di mana-mana, namun tidak ke
mana-mana". Secara politik hal itu semakin mendorong fragmentasi. Pada masa
Orde Baru, dampaknya tidak terlalu berat dan besar karena cuma ada tiga
peserta pemilu saat itu.

"Justifikasi keagamaan yang dulu sering dipakai, sekarang tidak bisa lagi
digunakan. Di masa lalu gampang saja, kiai bisa bilang kalau memilih selain
Partai Persatuan Pembangunan bisa masuk neraka. Sekarang enggak bisa karena
kiai memilih banyak parpol dan akibatnya preferensi politik individu jadi
semakin otonom," ujar Kacung.

Terkait pendekatan yang dilakukan parpol maupun calon dalam pilkada, Kacung
menilai hal seperti itu sah-sah saja. Apalagi selama ini kiai juga terbiasa
melakukan hal serupa, termasuk menerima sumbangan dari kandidat maupun
parpol.

"Apa yang berkembang kemudian adalah masyarakat yang serba transaksional dan
berpikiran ekonomi. Padahal, dalam demokrasi modern bentuk transaksinya
bukan dalam konteks ekonomi, melainkan lebih pada kebijakan, yang kemudian
dihasilkan untuk menyejahterakan masyarakat," ujar Kacung.

Jika kondisi seperti itu semakin berkembang dan meluas, Kacung menilai hal
itu juga sebagai kesalahan kiai. Seharusnya seorang kiai juga
mempertimbangkan secara obyektif sebelum menerima pemberian atau memberikan
dukungan. Calon yang datang tentu punya kepentingan di balik pemberian atau
kedatangan mereka. Dalam konteks itu dibutuhkan komitmen moral.

Terjadi rasionalisasi

Walau membenarkan ada penurunan pengaruh, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar
NU Endang Turmudi meyakini hal itu hanya terjadi pada preferensi politik.
Jika dikaitkan dengan karisma terkait masalah syariah, figur kiai masih
menentukan dan berpengaruh.

"Kalau dahulu figur kiai bisa sangat berpengaruh dan bahkan memiliki
kemampuan memaksa, sekarang hal seperti itu tidak bisa lagi dilakukan. Hal
itu karena masyarakat tidak lagi memandang sosok kiai dalam konteks seperti
itu. Memang terjadi pergeseran dan rasionalisasi," kata Endang.

Pengasuh Ponpes Lirboyo, Kabupaten Kediri, Jatim, KH Imam Mahrus,
berpendapat akan jauh lebih baik jika persoalan pilihan atau preferensi
politik, baik kiai, santri, maupun masyarakat, diserahkan kepada
masing-masing individu. Tidak hanya itu, semua pihak juga diminta dapat
saling menghargai pilihan satu sama lain.

Pemikiran seperti itu, diyakini Mahrus, jauh lebih baik, terutama bagi NU,
yang seharusnya bisa mengayomi dan menempatkan diri di atas semua golongan.
Semua calon kepala daerah yang memiliki latar belakang NU wajib mendapatkan
dukungan dari warga NU. Namun, jika ada banyak calon berlatar belakang sama,
siapa pun yang didukung menjadi tidak masalah.

Kirim email ke