Prof.Dr. Harun Yahya Bukan Orang Intelek Tapi Orang Beriman !!! Orang beriman itu bukan berarti orang yang jujur, sebaliknya ciri2nya justru seseorang yang kukuh berbohong dalam menyesatkan orang lain agar percaya apa yang dia percaya.
Orang intelek adalah seseorang yang memiliki jenjang pendidikan formal yang diakui oleh dunia ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, Prof. Dr. Harun Yahya tidak memiliki jenjang formal dalam dunia ilmu pengetahuan karena secara menyesatkan, kepercayaan agama Islam yang diyakininya dianggapnya sebagai ilmu pengetahuan dan mendapatkan recognition dari dunia agama Islam (bukan dunia Ilmu Pengetahuan). Demikianlah, Prof. Dr. Harun Yahya sama sekali bukan orang intelek, karena dia sama sekali tidak pernah duduk dibangku perguruan tinggi untuk menimba ilmu pengetahuan yang aseli. > "kim" <kim3h...@...> wrote: > Dasar pukima, ternyata yg > disebut orang pinter itu orang > keahliannya nipu orang. Buat nujum, > buat nyembuhin segala penyakit biji > peler dan taek kucing yang laennya > lagi. Balik ke opini jej soal > ngintelek, bagus jej udah beset apa > itu artinya biar jelas buat publik. Anda kasih contoh yang bagus, memang dimasyarakat Indonesia, istilah orang "pinter" itu termasuk tukang ngeramal, tukang tafsir lotere buntut, ahli tafsir Quran, kyai, pendeta semua ini sangat dihormati dalam masyarakat sebagai orang2 intelek. Itulah sebabnya Prof.Dr. Harun Yahya penipu dari Turki yang sama sekali tidak pernah kuliah ternyata jebolan perguruan tinggi ilmu tafsir AlQuran dari Turki, kemudian melakukan khayalan sendiri yang dianggapnya sebagai experiment, maka dia mengaku dirinya sebagai pendidik. Gelar Prof. Doktor ini bikin sendiri diplomanya, dia akhirnya diatangkap karena mengaku dosen dari Harvard University di Amerika. Tapi di Indonesia, Prof. Dr. Haji Harun Yahya ini dianggap super genius yang ahli angkasa luar dan ahli tafsir AlQuran yang terkait dengan penemuan2 ilmu pengetahuan. Celakanya, PDK membeli paket pendidikan Nasional dari Prof. Dr. Harun Yahya ini untuk di implementasikan kedunia pendidikan kita yang mottonya: "Kuat ilmunya, Kuat iman-nya". Jadi jangan heran, kalo negara RI ini makin terjerumus segala macem yang anda sebut "Pukima". Iya... contohnya masalah Ariel-Zaini ini, jelas2 enggak sama kasusnya malah dianggap biar adil harus disamakan.... idiot bukan ??? Ariel itu seniman profesinya, jadi kalopun secara subjectif hasil karyanya dianggap pornografi sebenarnya bukan pelanggaran hukum. Karena rusaknya ahlak seseorang bukan dikarenakan apa yang dihasilkan oleh Ariel, tapi dikarenakan mereka sendiri yang memang sudah rusak ahlaknya tanpa melihat hasil karya si Ariel sekalipun. Zaini lain lagi, dia berselingkun juga urusan pribadi, tetapi dia bisa berselingkuh itu karena teman selingkuhnya adalah wanita pengusaha yang mau memanfaatkan jabatan si Zaini. Jadi kalo mau digali lebih dalam sedikit saja, segala pelanggaran sudah banyak sekali yang bisa digunakan untuk memenjarakan dirinya. Anehnya, yang ditangkap dan dipenjara itu si Ariel bukan si Zaini. Malah si Zaini beruntung, dia dipensiun bukan dipenjara. Kalo dipenjara khan habis duit, kalo dipensiun malah mendapat duit. Semoga bisa jadi renungan bagi mereka yang merasa katanya intelek. Perlu anda ingat, Agama tidak membuat umat jadi intelek, tetapi seorang intelektual akan rusak dan hancur intelektualitasnya apabila dipasung dengan hukum2 agama yang serba angan2. Pada hakekatnya, nafsu sex itu normal, namun harus disalurkan menurut etika moral. Pornografi merupakan salah satu penyaluran normal sama seperti masturbasi. Bahkan dengan pornografi pemerkosaan bisa ditekan angka statistiknya. Sebaliknya, melarang pornografi malah membuka lubang2 korupsi bagi para petugas negara. Seharusnya pornografi diatur penggunaannya bukan dilarang, sama saja dengan hubungan sex tidak boleh dilarang melainkan diatur dengan UU misalnya dengan menikah. Pornografi juga bisa diatur dengan UU misalnya hanya boleh dijual ditempat tertutup yang menjamin bahwa pembelinya berusia 18 tahun keatas. Melarang Pornografi tidak membuat Pornografi hilang, karena sama melarang orang bernafas juga bisa tapi tetap saja orang itu bernafas karena memang kebutuhan biologis yang normal yang tidak seharusnya dilarang, melainkan harus diatur. Ny. Muslim binti Muskitawati.