A Cosmos Not A Chaos
By : Komaruddin Hidayat*

Bayangkan bumi tempat kita tinggal ini tak ubahnya sebuah kapal pesiar yang 
mengapung
di atas lautan angkasa tak bertepi. Bagi mereka yang mencintai ilmu astronomi 
dan senang
merenung pasti akan terkagum-kagum, betapa indahnya jagad semesta dengan sajian 
tarian
planetnya sehingga alam ini pun disebut cosmos (ingat kata cosmetics) bukan 
chaos.

Sementara itu semua kebutuhan kita sudah terhidang dan terhampar di bumi. 
Kebutuhan apa
yang tidak disediakan oleh bumi untuk menggembirakan manusia dengan bantuan 
matahari, 
laut, angin dan sekian banyak flora dan fauna yang ada? Demikian baiknya dan 
pemurahnya 
planet bumi terhadap manusia sehingga ia dipanggil ibu pertiwi (mother earth).

Tapi bayangkan, apa yang terjadi jika umat manusia sebagai penghuni kapal 
pesiar planet 
bumi ini tidak bisa mensyukuri hidup melainkan justru saling bertikai, 
bertengkar dan bahkan 
saling berkelahi dengan berbagai alasan. Silang sengketa bisa dipicu perbedaan 
warna kulit, 
kepercayaan, agama, bangsa dan juga memperebutkan sumber alam, semata untuk 
memuaskan dahaga kerakusan dan egoisme?

Maka cosmos akan berubah jadi chaos. Keindahan, kedamaian dan keteraturan akan 
berbalik 
menjadi kekacauan dan kesengsaraan. Kemurahan Tuhan beralih menjadi 
kemarahanNya. 
Surga berubah jadi neraka karena kebodohan dan kerakusan manusia sendiri.

Coba bayangkan. Betapa indahnya kalau saja penghuni planet bumi hidup damai, 
saling 
bernyanyi, gotong royong dan memelihara keasrian bumi tempat kita dan anak cucu 
hidup. 
Alangkah indahnya jika penghuni rumah Indonesia yang sedemikian beragam dari 
segi bahasa, 
tradisi, kepercayaan, agama dan profesi saling berbagi kasih dan semangat untuk 
memelihara 
dan memajukan negeri ini.

Orang bijak pernah berkata, sangat berlimpah dan berlebih persediaan bumi ini 
untuk dinikmati 
manusia kalau saja mereka pandai bersyukur dan saling berbagi kasih antar 
sesamanya. 
Namun begitu, kekayaan bumi ini akan selalu dirasa kurang bagi mereka yang 
jiwanya miskin, 
rakus dan tidak pandai mensyukuri anugerah hidup dan kehidupan. -[lm-2]

*Komaruddin Hidayat; Profesor, Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta untuk 
Citigold Magazine.
------------------------------------------------------------
l.meilany
060810/25sya'ban1431h

Kirim email ke