Putra Hadrami dari Ampel
Ia lahir seratus tahun silam. Abdul Rahman Baswedan, biasa disingkat jadi A..R. 
Baswedan, seorang keturunan Arab yang istimewa. Ia diplomat piawai yang 
menyembunyikan surat pengakuan dari pemerintah Mesir di kaus kakinya. Ia 
memberontak terhadap nilai-nilai generasi tua. Dan ia melancarkan pemberontakan 
itu dengan satu cita yang sudah terwujud: integrasi keturunan Arab dengan 
masyarakat Indonesia.

SONGKOK adalah lambang isolasi yang menggelikan. Mereka (Arab-Indonesia) tidak 
mau memakai songkok atau peci Indonesia. Mulanya mereka memakai tarbus merah 
ala Turki yang pakai jambul. Kemudian, karena barang-barang Italia diboikot 
lantaran kekejaman kaum fasis di Tripoli, tarbus yang juga merupakan produk 
Italia itu ikut diboikot. Dijadikan unggun, disiram minyak tanah, dan dibakar. 
Arab wulaiti dan peranakan kehilangan songkoknya. Namun mereka belum mau 
memakai songkok anak negeri. Sebab, ada perasaan, dengan memakai songkok, 
apatah lagi blangkon, mereka turun derajat. 
Bisa dibayangkan, Buya Hamka, penulis potongan artikel di atas, melanjutkan 
ceritanya tentang masyarakat keturunan Arab sambil tergelak, dengan cemooh, 
senyum sinis. ”Syukur,” Hamka melanjutkan, ”mereka mendapat songkok baru, yaitu 
songkok Afganistan, songkok bulu kambing hitam.” Tapi rupanya ada yang insaf, 
Afganistan bukan Arab. Lalu dipesanlah songkok model Raja Faisal dari Irak yang 
namanya sadarah. Songkok itu pun lucu. Kalau hendak dipakai, mesti dilipat 
rapat supaya tetap teguh di kepala. Kalau tidak, ia bisa melorot turun dan 
seluruh kepala ditelannya. Untung, ada kuping yang menghambat. 
Entah kapan persisnya Buya Hamka menulis artikel itu. Yang terang, ada seorang 
pemuda keturunan Arab kelahiran Ampel, Surabaya, yang menjawab tantangan itu 
pada Agustus 1934. Ia berbusana Jawa, dengan blangkon dan beskap. Fotonya 
terpampang di surat kabar Matahari, koran berbahasa Melayu yang berhaluan 
nasionalis dan diasuh oleh seorang redaktur peranakan Tionghoa bernama Kwee 
Hing Tjiat. Dan pemuda berhidung mancung itu, Abdul Rahman Baswedan, tidak 
hanya menantang kecenderungan orang keturunan Arab seperti dilukiskan Buya 
Hamka di atas. Baswedan secara simbolis telah melanggar kebijakan diskriminasi 
kolonial yang menggolongkan dan mengisolasi masyarakat Hindia Timur ini dalam 
tiga lapisan: Eropa, Timur asing, dan pribumi.

 
Abdul Rahman Baswedan lahir seratus tahun silam, tepatnya 9 September 1908, di 
sebuah wilayah di Surabaya yang dikenal sebagai kampung Arab. Ayahandanya, yang 
bernama Awad Baswedan, lahir di tempat yang sama. Ya, Abdul Rahman Baswedan 
seorang muwalad—istilah khusus bagi generasi orang Hadrami yang dilahirkan di 
Nusantara. Orang Hadrami yang bekerja atau berdagang di Nusantara tapi 
dilahirkan di tanah Hadramaut disebut wulaiti. Tatkala Baswedan beranjak 
remaja, keluarga besarnya berusaha keras menjadikan dia seorang saudagar yang 
tangguh. Baswedan tidak menampik harapan itu, tapi ia menghabiskan sebagian 
besar waktunya untuk membaca dan menulis. 
Baswedan dibesarkan ketika sebagian masyarakat Hadrami yang berdatangan ke 
Nusantara sejak abad ke-18 mulai memperoleh sukses ekonomi dan tengah sibuk 
meneguhkan identitas diri. Mengisi ”kekosongan” ini, Turki Ottoman yang ketika 
itu merupakan kesultanan Islam yang paling berpengaruh menyodorkan diri sebagai 
khalifah, pemimpin. Sultan Abdulhamid II (1876-1909) meletakkan dirinya 
seakan-akan ia nukleus gerakan internasional Pan-Islamisme baru ini. Dalam 
bukunya, Hadrami Awakening, Natalie Mobini Kesheh menulis, sejak 1883, ketika 
konsul pertama Ottoman ditetapkan, pejabat Ottoman di Batavia membantu 
perkembangan sentimen Pan-Islamisme dengan mendorong muslim lokal agar percaya 
bahwa Abdulhamid adalah khalifah pelindung mereka.. 
Sebagaimana dikatakan Hamka tadi, orang-orang Hadrami yang diam-diam masih 
menyimpan kesetiaannya kepada tanah leluhur di Hadramaut ini kerap mengganti 
jati diri fisiknya, termasuk penutup kepalanya: dari tarbus hingga sadarah yang 
dipakai penguasa Irak itu. Masih dalam buku yang sama, Kesheh menyinggung bahwa 
pencarian identitas ini juga disebabkan oleh penolakan kalangan nasionalis di 
Indonesia pada pertengahan 1910-an terhadap para pendatang beragama Islam itu. 
Dan ini membuat mereka akhirnya merindukan Hadramaut, tanah leluhur yang kering 
dan berbatu karang di sudut barat daya Jazirah Arab.. 
Dalam perjalanan kariernya, Baswedan sendiri mengalami resistensi serupa 
sewaktu ia diterima bekerja di surat kabar Soeara Oemoem. Bahkan koran Bintang 
Timoer secara khusus menyoroti dan mempertanyakan penerimaan orang keturunan 
Arab dalam surat kabar yang berhaluan nasionalis dan diasuh dokter Soetomo itu. 
Ada satu tesis doktoral yang ditulis oleh Husain Haikal yang menjelaskan bahwa 
keadaan ini bagian dari politik kolonial yang ingin memisahkan orang Hadrami 
dari orang Indonesia. Dalam tesis berjudul Indonesia-Arab dalam Pergerakan 
Kemerdekaan Indonesia itu, Haikal melukiskan betapa Baswedan sangat berutang 
budi kepada dokter Soetomo, yang begitu gigih mendukungnya di Soeara Oemoem.

 
”Masuknya saya dalam redaksi Soeara Oemoem yang didirektori almarhum itu 
seperti sudah diduga lebih dulu olehnya. Telah menjadi pertanyaan pihak 
Indonesia maupun pihak Arab. Bahkan telah menerbitkan polemik antara Soeara 
Oemoem dan salah satu harian Indonesia di Jakarta. Tapi semua itu tidaklah 
mengganggu beliau untuk bergeser dari keyakinannya yang suci,” demikian 
Baswedan mengenang kepergian dokter Soetomo. 
Tapi Baswedan orang yang telah memilih mengenakan blangkon ketimbang tarbus dan 
sadarah. Baswedan, yang telah terjun secara penuh dalam dunia kewartawanan dan 
banyak berdiskusi, cepat menemukan sejumlah kejanggalan dalam komunitas 
Hadrami. Orientasi kepada tanah leluhur yang sekarang berada di wilayah Yaman 
ini telah menimbulkan mudarat besar. Diam-diam generasi wulaiti telah 
mewariskan konflik lama antara kaum sayid dan nonsayid. Sayid adalah gelar yang 
selama ini diperuntukkan bagi keturunan Nabi Muhammad SAW, dan gelar itu 
membuat mereka diperlakukan secara istimewa oleh masyarakat umum—sesuatu yang 
ditentang kelompok nonsayid di Nusantara. Kelompok yang terakhir ini telah 
mencetak sukses ekonomi dan merasa menguasai pengetahuan agama sebagaimana 
kelompok sayid. Mereka menyatakan gelar bukan monopoli orang keturunan Nabi. 
Siapa pun berhak memakai gelar sayid (secara harfiah berarti tuan). 
Perang dingin itu pecah dan membelah masyarakat Hadrami. Baswedan menawarkan 
solusi yang lantas diterima semua kalangan: penggantian panggilan sayid dengan 
al-akh, saudara. Dan ia tidak berhenti di situ. 
Enam tahun setelah Sumpah Pemuda, Baswedan dan kawan-kawan sesama muwalad 
menyelenggarakan kongres yang kemudian menimbulkan gelombang besar di kalangan 
masyarakat Hadrami. Di Semarang, pada 4 Oktober 1934, di antara para muwalad 
sayid dan nonsayid, ia menjungkirbalikkan arah orientasi identitas: dari yang 
tadinya ke Turki, Irak, Mesir, ataupun Hadramaut, menjadi ke Indonesia semata. 
Baswedan menyebut kejadian ini Hari Kesadaran Indonesia-Arab. Tanah air mereka 
bukan negeri-negeri Arab, melainkan Indonesia. Untuk itu, tak ada jalan selain 
meninggalkan kehidupan menyendiri. Dan mereka harus memenuhi kewajiban terhadap 
tanah air dan bangsa Indonesia. Kejadian ini juga dikenal dengan nama Sumpah 
Pemuda Keturunan Arab.

 
Secara jeli, Baswedan menangkis bermacam kritik dan kemarahan dengan merujuk 
pada sumber tunggal: agama. Ia menggunakan superioritas agama di atas urubiah 
atau kearaban. Dalam salah satu penjelasan, ia melukiskan betapa Rasulullah, 
yang lahir di Mekah, mendirikan negara di Madinah. Bangsa Arab yang 
melangkahkan kakinya ke luar Jazirah Arab kemudian beradaptasi dengan budaya 
setempat. Orang Arab di Andalusia disebut Al-Andalusi, di Mesir Al-Misri, di 
Afganistan Al-Afgani, dan di Indonesia Al-Indunisi. 
Dalam kongres di Semarang, gagasannya tidak menemui terlalu banyak tentangan. 
Bersama Nuh Alkaf dan Segaf Assegaf dari kelompok sayid serta Maskati dan 
Abdurrahman Argubi dari nonsayid, ia berhasil mendirikan Persatuan Arab 
Indonesia (PAI). Empat tahun berselang, organisasi ini menjadi Partai Arab 
Indonesia. 
Tapi, di luar arena kongres, aneka kemarahan menghadangnya. Banyak wulaiti yang 
tidak bisa memaafkan Baswedan: sebagian memutuskan memberikan pelajaran kepada 
Baswedan. Tapi usaha untuk menghajar Baswedan selalu gagal karena kebetulan 
pemuda yang mengelilingi Baswedan berhasil mencium langkah mereka.. Menghadapi 
ini, beberapa penentangnya memutuskan mengirim orang untuk menghabisinya. 
”Nyaris mereka berhasil melaksanakan niatnya, tapi begitu melihat bentuk 
jasmani Baswedan yang kurus dan tampak begitu sakit-sakitan, mereka jadi jatuh 
kasihan,” tutur Husain Haikal dalam tesisnya. 
Dalam Hadrami Awakening, Kesheh berkesimpulan, ada seorang Tionghoa nasionalis 
yang sangat berpengaruh dalam perkembangan tulisan-tulisan Baswedan: Liem Koen 
Hian, tokoh Tionghoa nasionalis di surat kabar Sin Tit Po dulu. Di surat kabar 
yang prokemerdekaan Indonesia itu, kedua tokoh peranakan ini berbagi gagasan 
dan cita-cita yang sama. Tapi medan yang dihadapi Liem Koen Hian ternyata lebih 
sulit daripada Baswedan. Orang Tionghoa lebih sulit beradaptasi dalam 
masyarakat Indonesia. Ada faktor agama, juga faktor perkawinan, yang menjadi 
perekat orang Hadrami dengan pribumi. Ketika sampai di pantai-pantai Nusantara, 
orang-orang wulaiti yang tak bisa berbahasa Melayu itu menikahi perempuan 
pribumi.

 
Komunitas keturunan Arab telah mengalami transformasi atas inisiatifnya 
sendiri, bukan karena keadaan yang memaksa mereka begitu, tulis Dr Anies 
Baswedan—cucu A.R. Baswedan—dalam kata pengantar buku itu. Akibatnya, kata 
Anies, komunitas ini menjadi bagian tak terpisah dari bangsa Indonesia. Dan 
kita tahu ada jasa seorang Hadrami kelahiran Ampel di sini.
 
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/12/15/IMZ/mbm.20081215.IMZ128963.id.html

Karena Dibesarkan dengan Gado-gado
A.R. Baswedan tak betah dengan konflik internal masyarakat keturunan Arab di 
Tanah Air. Pada 1934 ia sukses menggiring mereka ke ranah nasionalisme.

KAMPUNG Melayu, Semarang, 4 Oktober 1934. Sekitar tiga lusin pemuda keturunan 
Arab berkumpul. Hawa demikian panasnya, sebagian dari mereka membuka jas.. 
Satu-dua tampak menyandang pistol di pinggang. Perdebatan sedang berlangsung 
sengit. Semua menanti pihak mana yang menang dan memberikan pengaruh dalam 
konferensi. 
”Banyak provokasi,” Suratmin menulis. Penulis biografi A.R. Baswedan terbitan 
tahun 1989 itu mengutipnya dari catatan Irsjady Haqiqy di harian Nusaputra, 30 
Desember 1951. Itulah suasana konferensi Arab peranakan pertama yang 
berlangsung di Tanah Air. Dan A.R. Baswedan, saat itu 26 tahun, duduk di muka 
memimpin rapat. 
Sehari sebelumnya, perkenalan dilakukan dengan canggung. Sebutan ”sayid” yang 
biasa digunakan untuk mereka yang dipercaya punya darah keturunan Nabi tak 
boleh dipakai. Aturan ini mesti ditaati dalam konferensi.. Baswedan mencuri 
momen dengan menggunakan istilah ”saudara”, dan ”al-akh” dalam bahasa Arab, 
sebagai pengganti. Suasana mulai mencair. Setidaknya, satu penghalang berbau 
”kasta” bisa dibereskan. 
Tapi semua tetap berjaga-jaga bila pistol di pinggang itu tiba-tiba menyalak. 
Pasalnya, para peserta datang dari dua belah pihak yang lama bermusuhan: 
kelompok Al-Irsyad dan kelompok Arrabitah yang lebih tradisional. Mereka 
berasal dari kampung Arab di Surabaya, Semarang, Solo, Jakarta, dan Pekalongan.

 
Inti perdebatan mereka adalah pokok-pokok pikiran Baswedan—sebelumnya sudah 
berkali-kali muncul di harian Matahari tempat ia bekerja menjadi redaktur—yang 
harapannya akan mengecilkan jurang sengit di antara dua kelompok itu. Ada tiga 
poin penting, yakni mengakui Indonesia sebagai tanah air Arab peranakan; dan 
karena itu mereka harus meninggalkan kehidupan menyendiri (isolasi). Ini juga 
berarti mereka harus memenuhi kewajiban terhadap tanah air dan bangsa 
Indonesia. 
Ketika perdebatan kembali dimulai keesokan harinya, Haqiqy mencatat Baswedan 
mendapat sergahan dari banyak pihak, baik dari kalangan progresif maupun 
tradisional. Di antara mereka terdapat Moh. Abubakar Alatas, putra ketua 
pengurus Arrabitah Jakarta, A.R. Alaydrus, keluaran sekolah Paris, Gasim Shohab 
dari Pekalongan yang terkemuka dengan gerakan Ahmad Bahaswan yang berhaluan 
Al-Irsyad di Solo, dan Hasan Argubi, pemimpin komunitas Arab di Jakarta.. 
”Baswedan melayani segala debat,” Haqiqy menulis. 
Besoknya, Baswedan boleh lega. Perdebatan kembali sengit, tapi tidak menyentuh 
tiga poin di atas. Berarti, lolos sudah! Tinggal urusan bentuk dan sifat 
organisasi, termasuk apakah golongan Arab totok boleh menjadi bagian. 
Keputusannya, mereka hanya boleh menjadi donatur, namun tidak mendapat hak 
suara. Tok, tok, tok..., lahirlah organisasi Persatuan Arab Indonesia. 
Tiga poin itu kemudian disebut Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab. 

l l l
Ketika A.R. Baswedan memulainya, PAI, akronim bagi perkumpulan itu, masih 
menggunakan kata ”persatuan” (Persatuan Arab Indonesia). Ini kemudian berubah 
pada 1940, ketika dalam kongres lustrumnya, nama PAI resmi berubah menjadi 
Partai Arab Indonesia. 
Betapa tidak. Munculnya PAI pada 1934 menuruti semangat zaman, yang enam tahun 
sebelumnya menyaksikan pemuda Yamin, Sunario, dan Sugondo Djojopuspito 
mengikrarkan Sumpah Pemuda di Jakarta. Gelora memiliki tanah air satu, bangsa 
satu, dan bahasa satu tak hanya dimiliki mereka dari golongan pribumi, tapi 
juga menular ke para pemuda keturunan Arab yang dipimpin Baswedan.

 
Di sekitar kelahiran PAI suasananya sedang dingin. Pemerintah kolonial Belanda 
baru menghabisi gerakan nasionalisme yang tumbuh bak jamur di musim hujan. 
Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir baru beberapa bulan sebelumnya dibuang ke 
Boeven Digul. Partai mereka, Pendidikan Nasional Indonesia, digusur. Setahun 
sebelumnya, Soekarno dibuang ke Ende, Flores. Dua partainya, Partai Nasional 
Indonesia dan pecahannya, Partindo, dipaksa bubar. 
Belajar dari pengalaman para pendahulunya itu, PAI bertahan sebagai kelompok 
pemersatu internal yang tak bersikap provokatif dan menghindar dari politik 
nonkooperasi. Konsentrasi diberikan pada konsolidasi internal: menjadikan diri 
sebagai wadah pemersatu komunitas Arab yang oleh pemerintah kolonial 
digolongkan sebagai ”Timur Jauh”, padahal kehadiran mereka di Nusantara 
terentang jauh hingga ke abad ke-8—jauh lebih dulu dari bangsa Eropa. 
Sebelumnya, pada 1930, Indo Arabisch Verbond berdiri. Namun, menurut Hamid 
al-Gadri, kelompok pimpinan M.B. Alamudi ini gagal karena terlalu mengandalkan 
dukungan orang kaya (yang kebanyakan dari kelompok Arab totok), sehingga ”tak 
bisa melepaskan diri dari sistem sosial Hadramaut”. 
Ketika PAI didirikan, Alamudi mendirikan kelompok tandingan, Indo Arabische 
Beweging. Sejarawan Belanda Jan Pluvier mencatat, IAB sungguh bertentangan 
dengan nasionalisme PAI. ”Dalam pidato pertamanya, Alamudi mengatakan bahwa 
nasionalisme adalah berbahaya dan bahwa gerakan nasional adalah tidak sehat,” 
katanya. 
Dan seperti halnya melodi lagu Indonesia Raya yang disenandungkan W.R. 
Supratman pada Sumpah Pemuda 1928 di Jakarta mengisi benak para peserta, PAI 
pun punya mars persatuan. Dikarang oleh musisi Umar Barja yang berteman dengan 
Baswedan, bunyinya sungguh mengharukan: ”Hai Putra Arab di Indonesia! 
Bersatulah mencari bahagia, di dalam persatuan Arab Indonesia, teguhkan 
persatuan dia!” 
Dalam lima tahun, melodi ini sudah mendengung di 45 cabang PAI di berbagai kota 
di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, hingga ke Ternate. Pada 1939, PAI 
Istri berdiri, diketuai Nyonya Barkah, yang kemudian diperistri Baswedan.

 
Signifikansi PAI dalam politik nasional muncul pada 1937, ketika PAI, yang saat 
itu masih menggunakan kata ”persatuan”, ikut meneken Petitie-Soetardjo. Isinya 
permohonan kepada pemerintah kolonial agar kedudukan wakil Indonesia tak lagi 
sekadar di volksraad, dewan rakyat, namun sungguh-sungguh memiliki kursi 
sendiri di parlemen. Yang berinisiatif adalah A.S.. Alatas, anggota volksraad 
yang juga penasihat PAI. 
Meski ditolak Belanda, mereka yang mendukung Petitie-Soetardjo terus solid. 
Atas usul Mohammad Husni Thamrin, pemimpin Parindra dan anggota volksraad, 
berdirilah suatu induk pergerakan politik yang bernama Gabungan Politik 
Indonesia, disingkat Gapi. Tuntutannya agar orang Indonesia punya tempat di 
parlemen. 
”Di seluruh Indonesia didirikan komite Indonesia Berparlemen. Komite-komite 
lokal selalu mengundang Gapi untuk mempromosikan gagasannya. Dan di antara 
orang Gapi selalu ada pemimpin PAI,” kata Hamid al-Gadri, dalam bukunya, Islam 
dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda, 1988. 
Gapi menemui jalan buntu. Permohonan itu ditolak Belanda, yang dalam beberapa 
bulan bertekuk lutut terhadap serbuan Jepang. PAI tak pernah lagi muncul karena 
setelah kemerdekaan anggota PAI melebur ke banyak partai. Sebagian besar, 
mengikuti jejak Baswedan, masuk ke Masyumi. Namun satu sukses terakhir yang 
mesti dicatat: keturunan Arab digolongkan sebagai warga Indonesia asli. 
Empat puluh tahun berselang dari pendirian PAI, Haji Abdul Malik Karim Amrullah 
melayangkan surat terbuka kepada Baswedan, di majalah Panji Masyarakat 
miliknya. ”Arab Indonesia dibesarkan dengan gado-gado, bukan dengan mulukhia. 
Dengan durian, bukan dengan kurma. Dengan sejuknya hawa gunung, bukan dengan 
panasnya padang pasir! Mereka dihidupkan bukan di pinggir Dajlah dan Furat, 
tapi di pinggir Musi, Kapuas, Bengawan, dan Brantas. Lebih gurih minyak kelapa 
daripada minyak samin. Sebab itu jalan selamat bagimu di hari depanmu ialah 
meleburkan diri ke dalam bangsa ibumu. Tanah airmu ialah Indonesia!”

 
Kurie Suditomo
 
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/12/15/IMZ/mbm.20081215.IMZ128964.id.html


   Salam
Abdul Rohim
http://groups.google.com/group/peduli-jateng?hl=id


      

Kirim email ke