Perempuan selalu menjadi inspirasi zamannya, semisal kisah Jeanne
d'Arc pada abad ke-15 di Perancis. Ia berhasil menjadi inspirasi
semangat kebangsaan Perancis saat negara itu diduduki Inggris. Setelah
dianggap menyebar ilmu sihir dan dibakar hidup-hidup oleh Inggris, ia
lalu dinobatkan sebagai orang suci.

Saya jadi teringat sosok perempuan Sunda yang tampaknya luput dari
perhatian khazanah sejarah Indonesia. Padahal, tokoh ini banyak
mengguratkan inspirasinya, jauh sebelum Kartini (1879) dan Dewi
Sartika (1884) lahir.

Ia adalah Raden Ayu Lasminingrat. Penulis Deddy Effendie menyebutnya
sebagai tokoh perempuan intelektual pertama di Indonesia. Ada dua
bidang yang menjadi perhatiannya, yaitu dunia
kepenulisan/kepengarangan dan pendidikan bagi kaum perempuan. Ia
sangat peduli nasib kaum hawa, khususnya perempuan Sunda. Mengulas
ketokohan Lasminingrat, rasanya penting menjelang peringatan Hari Ibu,
yang jatuh pada 22 Desember nanti.

Kepengarangan

Lasminingrat adalah anak Raden Haji Moehammad Moesa, seorang perintis
kesusastraan cetak Sunda, pengarang, ulama, dan tokoh Sunda abad
ke-19. Ia lahir di Garut pada 1843. Lasminingrat kecil harus berpisah
dengan keluarga dan pindah dari Garut ke Sumedang untuk belajar
membaca, menulis, dan tak ketinggalan, mempelajari bahasa Belanda.

Di sana ia diasuh oleh teman Belanda ayahnya, Levyson Norman. Karena
didikan Norman, Lasminingrat tercatat sebagai perempuan pribumi
satu-satunya yang mahir dalam menulis dan berbahasa Belanda pada
masanya. Pada 1871 ia kembali dan menetap di Pendopo Kabupaten Garut.

Di tahun itu pula, ia menulis beberapa buku berbahasa Sunda yang
ditujukan untuk anak-anak sekolah. Buah tidak akan jatuh jauh dari
pohonnya. Ungkapan ini serasa pas untuk menggambarkan bakat menulis
Lasminingrat yang menurun dari ayahnya. Adik Lasminingrat, yaitu
Kartawinata, juga dikenal sebagai seorang penulis Sunda. Buku-buku
Lasminingrat merupakan buku untuk anak-anak sekolah, baik karangannya
sendiri maupun terjemahan.

Pada 1875 ia menerbitkan buku Carita Erman yang merupakan terjemahan
dari Christoph von Schmid. Buku ini dicetak sebanyak 6.015 eksemplar
dengan menggunakan aksara Jawa, lalu mengalami cetak ulang pada 1911
dalam aksara Jawa dan 1922 dalam aksara Latin.

Setelah karya tersebut, pada 1876 terbit Warnasari atawa Roepa-roepa
Dongeng Jilid I dalam aksara Jawa. Buku ini merupakan hasil terjemahan
dari tulisan Marchen von Grimm dan JAA Goeverneur, yaitu Vertelsels
uit het wonderland voor kinderen, klein en groot (1872) dan beberapa
cerita Eropa lainnya. Jilid II buku ini terbit setahun kemudian, lalu
mengalami beberapa kali cetak ulang, yakni pada 1887, 1909, dan 1912,
dalam aksara Jawa dan Latin.

Sungguh mencengangkan jika kita berkaca pada banyaknya eksemplar cetak
mengingat pada masa kini saja, sebagian besar penerbit buku hanya
mencetak buku sebanyak 1.500 sampai 3.000 eksemplar untuk terbitan
pertama. Tidak dibayangkan, bagaimana bisa karyanya laku keras,
sedangkan pada masa itu mungkin masyarakat pribumi masih banyak yang
buta huruf. Yang lebih mencengangkan lagi, karya-karya Lasminingrat
mengalami cetak ulang berkali-kali.Sungguh luar biasa.

Terobosan baru yang dicapai Lasminingrat di dunia kepengarangan adalah
penggunaan kata ganti orang pertama. Mikihiro Moriyama dalam bukunya
Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad
ke-19 mencatat bahwa ia merupakan penulis pribumi pertama menggunakan
kata ganti orang pertama dalam tulisan berbahasa Sunda. Lasminingrat,
tulis Mikihiro, memakai kata kula yang merujuk kepada saya dalam kata
pengantar bukunya Warnasari atawa Roepa-roepa Dongeng yang terbit pada
1876. Buku ini merupakan kumpulan berbagai macam karya terjemahan.

Dunia pendidikan

Setelah menjadi istri Bupati Garut RAA Wiratanudatar VIII,
Lasminingrat menghentikan aktivitas kepengarangannya. Ia lalu
berkonsentrasi di bidang pendidikan bagi kaum perempuan Sunda
(Moriyama, 2005: 243). Sejak kecil Lasminingrat bercita-cita memajukan
kaum hawa melalui pendidikan.

Obsesinya ini terwujud pada 1907. Ketika itu ia mendirikan sekolah
Keutamaan Istri di ruang gamelan Pendopo Kabupaten Garut. Di sekolah
ini Lasminingrat memakai kurikulum. Tidak disangka, pada 1911
sekolahnya berkembang. Jumlah muridnya mencapai 200 orang, dan lima
kelas dibangun di sebelah pendopo. Sekolah ini akhirnya mendapatkan
pengesahan dari pemerintah Hindia Belanda pada 1913 melalui akta nomor
12 tertanggal 12 Februari 1913. Pada 1934, cabang-cabang Keutamaan
Istri dibangun di kota Wetan Garut, Bayongbong, dan Cikajang.


Di sekolah Keutamaan Istri, murid-muridnya diajari cara memasak,
merapikan pakaian, mencuci, menjahit pakaian, dan segala hal yang ada
hubungannya dengan kehidupan berumah tangga. Tujuannya, supaya kelak
saat dewasa dan menikah, mereka bisa membahagiakan suami dan anak,
juga mengerjakan sendiri apa saja yang berhubungan dengan rumah
tangga.

Lasminingrat dikenal sebagai sosok yang peduli terhadap orang lain.
Dalam catatan sejarah, ia merupakan salah seorang tokoh yang mendukung
Dewi Sartika untuk mendirikan sekolah bagi kaum perempuan pada 1904.

Ini berawal saat Dewi Sartika kesulitan dalam meminta izin kepada
Bupati Bandung RAA Martanagara untuk mendirikan sekolah. Bupati selalu
menolak maksud Dewi Sartika tersebut. Bukan tanpa alasan Bupati
Bandung menolak keinginan Dewi Sartika.

Menurut sejarawan Universitas Padjadjaran, Nina Herlina Lubis, dalam
bukunya Kehidupan Kaum Menak Priangan, ayah Dewi Sartika diasingkan ke
Ternate lantaran dituduh terlibat percobaan pembunuhan terhadap Bupati
Bandung dan pejabat Belanda di Bandung, pada usianya yang baru
sembilan tahun. Karena peristiwa itu, Bupati Bandung menganggap Dewi
Sartika adalah anak musuh politiknya. Maka dari itu, permintaannya
selalu ditolak.

Melihat hal ini, Lasminingrat turun tangan dengan bantuan suaminya. Ia
meminta suaminya memberikan saran kepada Bupati Bandung agar maksud
Dewi Sartika yang akan mendirikan sekolah terkabulkan. Setelah
berbicara dengan RAA Wiratanudatar VIII, Bupati Bandung memberi izin
kepada Dewi Sartika. Pada Januari 1904, Dewi Sartika akhirnya
mendirikan Sakola Istri di Bandung. Lasminingrat dan Dewi Sartika
memang sering kali berhubungan layaknya seorang ibu kepada anak.
Mereka terutama saling memberikan dukungan perjuangan untuk memajukan
kaum perempuan.

Lasminingrat dikarunia usia yang sangat panjang. Ia meninggal dunia
pada 10 April 1948 dalam usia 105 tahun setelah sebelumnya dalam
perang kemerdekaan ia mengungsi ke Waaspojok pada 1946. Ia sempat
tinggal di sana beberapa lama. Hingga akhirnya ia sakit dan
mengembuskan napas terakhir di tanah kelahirannya, Garut.

Kalau RA Kartini dijuluki sebagai pahlawan emansipasi dan Dewi Sartika
sebagai tokoh pendidikan, tidak berlebihan jika RA Lasminingrat
dijuluki sebagai tokoh perempuan intelektual pertama di Indonesia
karena pikiran-pikiran kritis dan modernnya telah melampaui zamannya.
Semoga tulisan sederhana ini bisa menjadi inspirasi di Hari Ibu.
Selamat Hari Ibu.

Dimuat Kompas Jawa Barat, 19 Desember 2009
Liat di:
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/19/11400322/ra.lasminingrat.tokoh.perempuan.intelektual.pertama

-- 
Teddy

Kirim email ke