Telah dimuat pada Harian Jurnal Nasional, 12 Februari 2009

 

Rakyat atau Caleg 

Oleh
Victor Silaen

 

   
Sejak dulu rakyat Indonesia selalu diajar untuk memandang pemilu sebagai
pesta demokrasi, dan pesta demokrasi itu sendiri berarti pestanya rakyat. 
“Pemilihan
umum telah memanggil kita, s’luruh rakyat menyambut gembira...” Demikian
petikan theme song pemilu yang selalu
didengungulang di era Orde Baru.

 

    Pertanyaannya,
siapa yang harus dipandang lebih utama dalam pemilu, rakyat atau para calon
anggota legislatif (caleg)? Secara logis tentulah rakyat yang lebih penting
ketimbang para calegnya. Sebab, rakyatlah yang memberikan suaranya untuk para
caleg. Sebaliknya para caleg justru harus berupaya keras merebut simpati rakyat
demi mendapatkan suara sebanyak-banyaknya jika ingin menjadi wakil rakyat.
Jadi, tanpa rakyat, tak mungkinlah pemilu dapat diselenggarakan. Itu sebabnya
rakyat disebut konstituen (yang pokok), sedangkan caleg disebut kontestan (yang
turut serta).  

 

   
Dengan demikian maka selaraslah keputusan terbaru Mahkamah Konstitusi
(MK) tentang “suara terbanyak” sebagai penentu layak tidaknya seorang caleg
menjadi anggota legislatif (aleg) di satu sisi dan pemilu sebagai pestanya
rakyat di sisi lain. Itu berarti, siapa yang akan menjadi wakil rakyat tidak 
lagi ditentukan
oleh partai politik berdasarkan nomor urut, melainkan berdasarkan perolehan
suara terbanyak dari rakyat selaku pemilih. Dengan begitu kedaulatan rakyat
semakin dihormati, dan niscayalah demokrasi Indonesia semakin berkualitas. 

 

   
 Namun sekonyong-konyong,
muncullah gagasan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang zipper system di 
tahap penetapan para aleg nanti. Intinya, gagasan
tersebut mengharuskan adanya satu perempuan untuk setiap tiga caleg terpilih.
Jadi, untuk setiap tiga kursi DPR/DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah) yang
diperoleh suatu partai di sebuah daerah pemilihan (dapil) akan diberikan kepada
perempuan. 

 

    
Kita percaya tujuan di balik gagasan zipper
system itu amat mulia: demi meningkatkan kemajuan politik kaum perempuan
Indonesia. Tetapi, adakah payung hukum yang melandasi implementasinya sebagai
kebijakan publik yang sah? Sebelumnya diusulkan untuk membuat perppu sebagai 
dasar
hukumnya, namun hingga kini perppu itu belum juga keluar. Meski begitu, anggota
KPU Andi Nurpati “ngotot” bahwa KPU tetap akan memberlakukan peraturan tersebut
kendati perppu tidak dikabulkan. KPU, kata Andi, siap melayani gugatan bila
peraturan tersebut dianggap melanggar peraturan. 

 

     Inilah yang mengherankan kita. Mengapa KPU
sampai bersikap demikian? Bukankah dengan logika sederhana saja kita bisa
menyimpulkan bahwa gagasan zipper system
di tahapan aleg itu bertentangan dengan keputusan terbaru MK tentang “suara
terbanyak”? Sebab, bukankah yang harus terlebih dipandang utama dalam pemilu
adalah rakyat dan bukan para caleg? Jadi, mengapa tidak membiarkan rakyat 
sungguh-sungguh
bebas memilih para caleg yang dipercayainya untuk menjadi wakil rakyat kelak? 
Mengapa
seakan ada niat untuk mengintervensi kedaulatan rakyat, meskipun itu atas nama
afirmasi kaum perempuan atau demi kemajuan politik kaum perempuan? 

 

    
Hukum jelas harus berlaku dan menjadi pedoman yang mengikat semua pihak,
agar kepastian hukum dapat dijamin. Artinya, dengan mengacu hukumlah yang salah
dan yang sesuai dapat ditentukan. Itu berarti, dalam konteks pemilu, keputusan
terbaru MK tentang “suara terbanyak” harus dihormati semua pihak. Jadi, tak
pada tempatnya lagi kita mempersoalkan apakah nanti kian banyak atau tidak kaum
perempuan yang masuk ke lembaga legislatif. Bukankah di tahapan caleg,
kebijakan kuota 30% caleg perempuan sudah diberlakukan? Kalaulah hasil dari
kebijakan afirmatif ini kelak masih belum memuaskan, bukankah yang mestinya
kita prihatinkan adalah kesadaran akan keniscayaan kesetaraan gender yang belum
tersebar luas di masyarakat, khususnya di kalangan kaum perempuan itu sendiri? 

 

   
Perihal masih minimnya kesadaran akan keniscayaan kesetaraan gender, inilah
yang harus menjadi pekerjaan rumah kita semua. Untuk itulah ke depan kita, bukan
hanya KPU, harus lebih gigih memperjuangkannya melalui berbagai bidang semisal
pendidikan, agama, dan lain sebagainya. KPU sendiri niscaya lebih tepat jika 
berkonsentrasi
memikirkan bagaimana caranya agar potensi golput pada pemilu mendatang ini
dapat diminimalisir. 

 

    
Memang, golput merupakan hak setiap orang. Namun ini bukan soal golput
sebagai hak atau golput politis, melainkan golput administratif: yang tidak
bisa memilih karena belum terdaftar sebagai pemilih karena satu dan lain hal.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa cukup banyak warga negara Indonesia yang
sebenarnya sangat ingin menggunakan hak pilihnya nanti, tapi terganjal oleh
ketidakcermatan administrasi negara. Warga yang hingga kini belum terdaftar itu
bisa saja di waktu lalu memang malas mendaftar, atau mereka tidak tahu kapan,
ke mana, dan bagaimana harus mendaftar. 

Jumlah mereka diperkirakan sangat besar.
Survei Indo Barometer menunjukkan indikasi itu. Dari 1.200 responden di 33
provinsi di seluruh Indonesia yang memiliki hak pilih, baru 67,2% yang sudah 
terdaftar.
Sebanyak 18,3% menjawab tidak terdaftar, sisanya 14,5% tidak tahu. 

 

    
Belum lagi jika dipersoalkan juga golput administratif dalam pengertian
yang lain, yakni yang tidak mengerti bagaimana cara menandai pilihan calegnya
nanti pada surat suara. Responden pada kategori ini berjumlah 60,8%. Itu
berarti, jika pemilih berjumlah 170 juta orang, potensi suara tidak sah bisa
mencapai 102 juta orang. Sebuah angka yang lebih dari cukup untuk menggerogoti
legitimasi hasil pemilu. Bukankah KPU dan institusi negara terkait di tingkat
bawah seharusnya lebih proaktif mendekati warga masyarakat untuk kepentingan
itu? 

 

    Tak
pelak, persoalan ini harus diantisipasi sejak dini. Demi semakin kuatnya
legitimasi demokrasi dalam pemilu kelak, tidak ada salahnya KPU berpikir
kreatif dan melakukan upaya-upaya yang lebih gigih dalam memperjuangkan
kemungkinan membuka kembali kesempatan bagi warga masyarakat yang belum
terdaftar sebagai pemilih, baik di dalam negeri maupun di mancanegara. Meskipun
waktu yang tersisa menjelang hari “H” 9 April sudah relatif pendek, namun
perhelatan politik nasional yang amat penting ini layak dipertimbangkan untuk
mencari pelbagai kemungkinan dan menerobos pelbagai hambatan dalam rangka itu. 
Terkait
cara menandai caleg yang dipilih pada surat suara, KPU juga harus menemukan
cara yang termudah dan dapat dimengerti semua orang. 

 

   
Sekali lagi, demi kualitas demokrasi Indonesia ke depan, jangan sampai
jutaan warga negara Indonesia merasa dikebiri haknya dalam pemilu. Jika itu yang
terjadi, sama halnya dengan mengamputasi demokrasi, karena basis dari demokrasi
adalah suara rakyat. 





* Dosen Fisipol UKI, pengamat
sospol (www.victorsilaen.com). 

 

 

 




      

Kirim email ke