----- Original Message ----- 
  From: Nong Mahmada 
  To: [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; islib ; [EMAIL PROTECTED] ; 
[EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; pantau ; media ; 
[EMAIL PROTECTED] 
  Sent: Sunday, September 07, 2008 12:31 PM
  Subject: [mediacare] Beriman dengan "Santai" (Resensi Buku di Kompas Minggu 
ini)


        
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/07/01023445/beriman.dengan.santai
        Beriman dengan "Santai"

             
                
             
        Minggu, 7 September 2008 | 03:00 WIB
        ilham khoiri







        Pada mulanya agama muncul sebagai ideologi yang membebaskan manusia 
dari berbagai persoalan hidup. Namun, setelah lama bergumul dengan sejarah 
kekuasaan sosial-politik-ekonomi, agama kerap menjelma sebagai rangkaian 
doktrin kaku, membelenggu, bahkan menakutkan. Bagaimana cara menyerap spirit 
awal agama yang membebaskan itu?







        Cobalah beriman secara santai. Lampauilah formalitas agama, dan 
reguklah energi keimanan yang mencerahkan. Dengan begitu, nilai-nilai religius 
itu bakal menawarkan pengalaman pribadi yang menyentuh, terbuka, mengasah akal 
budi, sekaligus menumbuhkan gairah hidup yang lebih kreatif.







        Seruan untuk ”beriman secara santai” semacam itu terasa saat membaca 
Pergulatan Iman (Nalar, Juli 2008). Buku setebal 216 halaman ini memang tak 
secara telak mengumbar kiat menemukan dimensi pembebasan. Namun, pengalaman 
keagamaan berbagai kalangan yang dirangkum buku ini bisa merangsang kita 
menelusuri ruang-ruang penghayatan yang lebih menggugah.







        Pergulatan Iman adalah kumpulan wawancara dengan 29 tokoh seputar 
pengalaman keimanan. Mereka berasal dari aktivis perempuan, praktisi media, 
budaya, hukum, dan hak asasi manusia (HAM), politisi, pengamat ekonomi, 
politik, dan sosial. Mereka, antara lain, Munir (almarhum), Ahmad ”Dewa” Dhani, 
Dee Lestari, Ayu Utami, Wardah Hafidz, Gadis Arivia, Garin Nugroho, Andi 
Mallarangeng, Daoed Joesoef, Faisal Basri, dan Arief Budiman.







        Menurut penyunting buku ini, Nong Darol Mahmada, semua wawancara itu 
hasil transkrip talk show program Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dilakukan 
tahun 2002-2005. Wawancara tersebut disiarkan Kantor Berita Radio 68 H.









        Santai







        Bagaimana buku ini menawarkan cara beriman secara ”santai”? Meski 
diungkapkan dengan istilah berbeda-beda, sebagian besar pengalaman di sini 
menolak pendekatan agama yang legalistik (fiqhiyah), terlalu mementingkan 
ritual (syar’iyah), dan mau benar sendiri. Pemahaman formalistik itu 
dikhawatirkan mengentalkan sikap eksklusif, tak mampu menampung kenyataan hidup 
yang dinamis dan kompleks, dan akhirnya mengancam siapa pun yang berbeda 
pandangan.







        Ambil contoh pengalaman aktivis HAM Munir. Lelaki yang meninggal di 
pesawat menuju Belanda tahun 2004 itu pernah menjadi Muslim radikal yang 
meyakini hanya kelompoknya yang paling benar, dan yang lain—termasuk fraksi 
lain seagama—sesat. Doktrin itu membuat dia selalu merasa terancam sehingga ke 
mana-mana harus membawa senjata tajam, siap terlibat konflik. Setelah 
bersentuhan dengan paham yang lebih moderat, Munir pun tersadar.







        ”Ekstremitas agama bisa menghancurkan peradaban manusia. Intoleransi, 
apa pun bentuknya, akan menghancurkan peradaban. Banyak orang beranggapan, 
mereka sedang membangun... tetapi, yang mereka bangun justru simbol-simbol yang 
menghancurkan peradaban,” papar Munir.







        Aktivis Urban Poor Consortium (UPC), Wardah Hafidz, mencemaskan 
penafsiran agama yang sangat ritualistis. Katanya, ”Kalau orang menaruh tasbih 
di mobil lalu naik haji—walau merampas hak rakyat miskin, korupsi, dan 
membunuh—tetap dikatakan sebagai orang saleh. Di sinilah letak kemunduran 
masyarakat kita... sangat potensial jadi munafik.”







        Dengan pengalaman berlainan, kritik serupa diungkapkan Gadis Arivia, 
Arief Budiman, Ahmad Dhani, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), Lies 
Marcoes-Natsir, pengamat politik, Eep Saifulloh Fatah, dan Menteri Pendidikan 
dan Kebudayaan RI periode 1978-1983 Daoed Joesoef. Bagi Daoed, agama yang 
diajarkan kepada dia sewaktu kecil adalah agama yang menakutkan.







        ”Kita tak boleh melakukan ini-itu dengan ancaman hukuman keras di 
neraka. Ketika saya bertanya, kenapa Tuhan begitu sadis, tangan saya dipukul 
dengan rotan yang ujungnya dibelah-belah,” papar dia.







        Hampir semua narasumber mencemaskan penerimaan agama sebagai kewajiban 
sosial ketimbang penghayatan spiritual. Untuk kembali menyerap spirit agama 
yang mencerahkan, mereka berusaha menyemai nilai keagamaan secara pribadi, 
tanpa terjebak dalam aspek formalitas, langkah yang oleh Luthfi Assyaukanie 
diidentifikasi sebagai sikap kaum fideis. Lalu, apa yang mereka temukan setelah 
bersikap demikian?







        Sejarawan dan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman 
Adam, merasakan agama sebagai medium pembebasan. Aktivis hukum Bambang 
Widjojanto berharap agama bisa berdampak sosial lebih positif dan konkret, 
misalnya, untuk memberantas korupsi. Pengamat sosial Imam B Prasodjo menghargai 
Islam yang rahmatan lilalamin, mengasihi sesama, bukan menciptakan sekat-sekat 
yang memicu permusuhan.







        Bagi Garin Nugroho, Islam ditantang untuk mewujudkan dirinya dalam 
keseharian. ”Seluruh pengalaman transendental ketuhanan diwujudkan dalam bentuk 
kehidupan sehari-hari, dalam bentuk cerita, puisi, dan sebagainya. Inilah yang 
menjadi nuansa paling indah dan menghiasi peradaban masa sekarang,” ungkap 
Garin.







        Di luar itu buku ini juga menawarkan sisi-sisi unik yang jarang muncul 
dalam perbincangan seputar agama. Pengalaman keagamaan itu kerap begitu 
manusiawi, sekaligus juga mengejutkan: pelajaran mengaji yang kelewat ketat 
saat kecil, pemberontakan saat remaja, atau pilihan-pilihan rasional saat 
dewasa. Di sinilah ketegangan antara agama sebagai ajaran normatif yang 
berhadapan dan agama sebagai fakta historis kerap dibajak banyak kepentingan.







        Buku ini semakin lengkap karena juga menyajikan pengalaman pemeluk 
agama lain di luar Islam. Ada Dee Lestari (yang waktu itu) memeluk Kristen lalu 
menemukan kesamaan semangat agama-agama secara makrifat. Ayu Utami yang Katolik 
terpesona kepada Tuhan, tetapi masih sulit mendamaikannya dengan kesenangan 
duniawi.







        Relevan







        Pergulatan Iman memperkaya literatur seputar pengalaman keagamaan yang 
personal, jujur, dan terbuka. Buku ini mengingatkan kita pada Pergolakan 
Pemikiran Islam, Catatan Harian Ahmad Wahib (Jakarta, LP3ES, 1981), yang 
membongkar pemahaman Islam dan Tuhan secara kritis.







        Dalam konteks berbeda, feminis asal Kanada, Irsyad Manji, melancarkan 
gugatan terhadap formalisme agama lewat The Trouble with Islam Today 
(diterjemahkan dengan judul Beriman Tanpa Rasa Takut, April 2008, Nun 
Publisher).







        Wacana keagamaan yang inklusif, membumi, toleran, dan bersemangat 
kekinian semacam itu selalu relevan bagi kehidupan masyarakat Indonesia yang 
plural. Wacana itu juga penting untuk mencairkan gejala puritanisme yang makin 
menguat belakangan ini.

        Pengalaman pribadi dari berbagai kalangan dalam buku ini juga 
menyuguhkan alternatif di tengah dominasi otoritas tafsir oleh elite agama, 
katakanlah seperti kiai, pendeta, pastor, biksu, atau sarjana agama.







        Lewat diskusi terbuka, pemaknaan agama bisa dilakukan secara lebih 
rileks. Sejauh dilandasi sikap rendah hati dan tidak memutlakkan kebenaran, 
perbincangan ini patut diteruskan untuk mendewasakan cara beragama kita yang 
masih kerap kekanak-kanakan.
       

   

Kirim email ke