----- Original Message ----- 
  From: Y Rakhmat 
  To: [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL 
PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL 
PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; ICRP 
  Cc: Farid G ; [EMAIL PROTECTED] 
  Sent: Saturday, August 02, 2008 2:59 PM
  Subject: [mediacare] Pentingnya Soft Power Pergerakan Islam


        
http://islamlib.com/id/artikel/pentingnya-isoft-power-i-pergerakan-islam/

        JARINGAN ISLAM LIBERAL
        28/07/2008
        Pentingnya Soft Power Pergerakan Islam
        Oleh Sumanto Al Qurtuby
        Jika Islam memang agama yang “superior” dan paling unggul, kenapa tak 
ada satu pun negara berbasis Islam yang maju dan unggul dalam hal pendidikan, 
teknologi, kebudayaan, ekonomi, dst? Bahkan negara-negara berbasis Islam selalu 
mendapat rapor merah karena buruknya penghargaan terhadap kaum perempuan dan 
hak-hak fundamental kemanusiaan, rapuhnya birokrasi pemerintahan dan 
menjamurnya penyakit korupsi. Dalam dunia pendidikan, tak ada satu pun 
universitas Islam yang masuk “kelas dunia”. Ini tentu masalah sosial yang 
kompleks dan tak bisa diselesaikan dengan pekik “Allahu Akbar!” sambil 
mengacungkan pentungan dan mengambing-hitamkan Barat. 
        Kekerasan demi kekerasan kini terus mewarnai kawasan Islam sejak Arab 
Saudi, sampai Indonesia. Teror, pengeboman, pemaksaan (coercion), pembajakan, 
sweeping, penculikan, pengrusakan, pengeroyokan, seolah tidak mau berhenti, 
bahkan menunjukkan eskalasi yang mencemaskan. Kenyataan ini seolah membenarkan 
tesis sebagian orang Barat yang mengatakan dunia Islam adalah “dunia kekerasan” 
dan barbarisme, dan Islam adalah agama yang memproduksi teks-teks kekerasan 
sekaligus pengekspor kaum teroris-militan (Edward Said, Covering Islam). 
        Fenomena ini menyebabkan citra Islam sebagai agama damai, toleran, dan 
menjunjung tinggi keadaban (civility) menjadi redup, lumer, dan dipertanyakan 
banyak pihak. Slogan Islam “rahmatan lil alamin” dan “peaceful religion” kalah 
populer dengan hiruk-pikuk berita kekerasan dan vandalisme yang dilakukan kaum 
Muslim radikal. Peristiwa kekerasan berbagai kelompok Muslim militan di 
Indonesia belakangan ini juga meramaikan headlines koran-koran dan media Barat. 
Ini menambah daftar panjang tentang “fakta kekerasan dunia Islam.” 
        Memang ada yang tidak fair dalam proses pemberitaan media Barat dan 
komentar-komentar (sebagian) orientalis, politisi, tokoh agama, sarjana, dan 
warga Barat umumnya. Ketika kekerasan terjadi di negara-negara berbasis Islam, 
mereka langsung “tunjuk hidung” dan mengaitkannya dengan “watak dasar” Islam 
sebagai “violent religion” dan anti-pluralisme. Tapi ketika kekerasan serupa 
terjadi di kawasan berbasis non-Muslim (misalnya Israel, Irlandia Utara, Eropa 
Timur, negara-negara bekas Uni Soviet, India, China, dan Amerika Latin) mereka 
tak pernah mengaitkannya dengan agama tertentu. Saat WTC dan Pentagon diserang 
teroris Muslim 11 September 2001 lalu, banyak warga Barat (AS khususnya) yang 
berbondong-bondong memborong Al-Qur’an guna memeriksa hubungan Islam dan 
terorisme global. 
        Para komentator politik dan agama sibuk menguliti akar-akar terorisme 
Islam. Buku Bernard Lewis, What Went Wrong? yang mengkaji akar-akar sejarah 
terorisme dan kekerasan di dalam Islam menjadi rujukan kelompok “anti-Islam” 
guna menguatkan argumen tentang Islam sebagai “violent religion.” Buku-buku 
Angel Rabasa, analis politik di RAND Corporation, khususnya tentang “jaringan 
terorisme global”, sangat sering dikutip. Uniknya, ketika rezim George W. Bush 
membombardir Afghanistan dan Iraq, tak ada kaum Muslim yang bergairah membeli 
Injil guna mempelajari doktrin-doktrin Kristen tentang perang dan terorisme. 
        *** 
        Beberapa penjelasan bisa dikemukakan untuk membaca fenomena kekerasan 
di dunia Islam saat ini. Secara sosiologis, aspek kesenjangan sosial (social 
gaps) yang begitu nyata antara Muslim dan non-Muslim, antara Timur dan Barat, 
adalah salah satu faktor. Secara ekonomi juga terjadi gap yang begitu lebar 
antara “dunia Islam” yang kering-kerontang dengan “dunia Barat” yang 
makmur-berlimpah. Pada aspek kultural, kita juga menyaksikan dominasi “budaya 
Barat” yang terus merangsek ke kawasan Islam. Keunggulan teknologi menjadi 
faktor penentu dominasi kebudayaan ini. Kawasan Islam yang miskin teknologi 
harus menjadi “pemangsa” dan “pemamah” kebudayaan asing yang “diselundupkan” 
lewat TV, film, internet, dll. Sementara dari aspek politik, tampak adanya 
infiltrasi, dominasi dan penekanan AS (sebagai “simbol Barat”) terhadap “Dunia 
Ketiga” yang mayoritas kawasan Islam. 
        Inilah yang membuat kelompok “multicultural liberal” membagi dunia 
menjadi dua kategori ekstrem: “the oppressors” yang diwakili 
Barat-Kristen-Yahudi (terutama AS) dan “the victims” yang direpresentasikan 
kaum Muslim. Fakta keterdesakan ini telah membuat sebagian umat Islam yang 
“berpikiran pendek” gusar dan panik, sehingga melampiaskannya dengan cara-cara 
kekerasan. Dengan kata lain, kekerasan sebetulnya bisa dibaca sebagai “cermin” 
dari kepanikan sekaligus ketidakberdayaan kultural dan politik dalam menghadapi 
dominasi, hegemoni dan penetrasi kebudayaan global yang dimainkan Barat. Agar 
tindakan mereka seolah-olah “legal” dan “sesuai dengan spirit Islam” dipakailah 
sejumlah teks-teks, doktrin, ajaran, tradisi, sejarah, dan wacana keislaman 
sebagai basis legitimasi teologis perilaku brutal mereka. Doktrin jihad pun 
ditafsirkan secara sempit sebagai tindakan ofensif terhadap apa yang mereka 
sebut “musuh-musuh Islam”. 
        Karena itu, retorika kaum fundamentalis Muslim yang sering kita dengar 
adalah: mereka bertindak demi “membela Tuhan” dan “tegaknya Islam.” Konfrontasi 
dan kekerasan, dalam pandangan mereka, adalah satu-satunya jalan (the only 
path) untuk menunjukkan superioritas, “keperkasaan” dan “kedigdayaan” Islam 
sebagai agama yang “unggul dan tak ada yang lebih unggul darinya” (ya’lu wala 
yu’la alaih). Sebaliknya, sikap mengutamakan dialog, persuasi, dan gerakan 
damai (peaceful and nonviolent movements) dianggap sebagai bentuk kepengecutan 
dan ekspresi inferioritas. 
        Ini tentu logika yang menggelikan dan apologetik. Jika Islam memang 
agama yang “superior” dan paling unggul, kenapa tak ada satu pun negara 
berbasis Islam yang maju dan unggul dalam hal pendidikan, teknologi, 
kebudayaan, ekonomi, dst? Bahkan negara-negara berbasis Islam selalu mendapat 
rapor merah karena buruknya penghargaan terhadap kaum perempuan dan hak-hak 
fundamental kemanusiaan, rapuhnya birokrasi pemerintahan dan menjamurnya 
penyakit korupsi. Dalam dunia pendidikan, tak ada satu pun universitas Islam 
yang masuk “kelas dunia”. Ini tentu masalah sosial yang kompleks dan tak bisa 
diselesaikan dengan pekik “Allahu Akbar!” sambil mengacungkan pentungan dan 
mengambing-hitamkan Barat. Teriakan Allahu Akbar dan menyumpah Barat hanyalah 
ibarat pepatah: buruk muka cermin dibelah. 
        *** 
        Ke depan, umat Islam harus menata diri, berbenah, sambil merumuskan 
strategi gerakan keislaman yang jitu, cerdas, santun, dialogis, peaceful, dan 
beradab. Cara-cara kekerasan hanya akan menambah wajah buram Islam di mata 
dunia serta semakin memperuncing ketegangan Islam-non-Islam dan Timur-Barat. 
Jalan kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru sehingga umat manusia akan 
terjebak di dalam “lingkaran setan” kekerasan yang merugikan semua pihak. Dari 
perspektif keislaman, tindakan kekerasan juga berlawanan dengan spirit dasar 
Islam sebagai “agama damai”. Kata “Islam” dalam The Hans Wehr Dictionary of 
Modern Written Arabic selain bermakna “ketundukan, penerimaan, dan 
rekonsiliasi” (terhadap keinginan Tuhan) juga berarti “perdamaian, keselamatan, 
keamanan, dan kesejahteraan” (Cowan, ed. 1976: 425-426). Dengan demikian, 
tindakan dan jalan kekerasan selain bertentangan dengan “misi” dan “khittah” 
Islam, juga bukan solusi terbaik untuk mengatasi aneka masalah di negara-negara 
Muslim, termasuk Indonesia (Abu-Nimer, Nonviolence and Peacebuilding in Islam). 
        Untuk itu, gerakan Islam perlu mengedepankan pendekatan “soft power,” 
melalui medium-medium komunikasi budaya, sarana pengetahuan, pendidikan, 
diplomasi, dan alat-alat politik yang diaktualisasikan dengan cara-cara 
nirkekerasan dan dialog lintas-peradaban dan kemanusiaan (Nye, Soft Power: the 
Means To Success in World Politics).  Dalam rangka mengaktualisasikan strategi 
dan pendekatan “soft power” tadi, sejumlah intelektual NU belum lama ini 
mendirikan Komunitas Nahdhatul Ulama Amerika Serikat dan Kanada (KNU 
AS-Kanada). KNU AS-Kanada (juga ormas-ormas keislaman sejenis) yang berwawasan 
pluralis dan terbuka, diharapkan dapat menjembatani ketegangan dan jurang 
pemisah antara Islam-Kristen (juga agama lain) dan Timur-Barat. KNU AS-Kanada 
juga diharapkan menjadi bagian dari organisasi civil society yang turut 
berpartisipasi dalam menyelesaikan problem keumatan, keislaman, dan 
kemanusiaan.*** 
        28/07/2008 | Kolom | # 
        Komentar
        Komentar Masuk (20)
        (Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)
        Memang sulit untuk dialog dengan umat sendiri, saya pikir maksud dan 
content artikel sudah jelas, tapi kok masih disalahpahami. Memang berat 
mencerahkan pemikiran umat, perlu dekonstruksi pengajaran agama dan content 
dakwah supaya mereka memahami apa itu islam dalam artian yang paling hakiki. 
Saya sangat sedih dan prihatin banyak umat yang hapal dan fasih mengucapkan 
dalil-dalil (terutama fiqih) tapi tidak memahami spirit/ruh, konteks, filosofi. 
Berat....berat....berat… Semoga yang maha pengampun memaafkan dan memberi 
petunjuk kepada kaum fundamentalis, ortodoks, radikal, taqlid buta menjadi kaum 
yang tercerahkan dan membawa wajah islam yang damai. 
        Posted by Teguhseno  on  08/01  at  02:59 PM
        Saya sebagai masyarakat diluar komunitas Islam hanya melihat dari luar 
bahwa yang perlu dilakukan adalah Pencerahan dan Pemahaman yang lebih baik lagi 
terhadap komunitas Islam yang sedemikian besar di Indonesia. Umat tidak akan 
cukup bahan untuk menentukan mana yang baik dan mana yang salah kalau media 
hanya memberikan informasi sekitar bom bali, terorisme dan kekerasan yang lain. 
Jangan2 mereka akan mencontoh hal seperti ini. Tapi kemarin ada berita di salah 
satu media bahwa ada satu komunitas di Tepi Barat Jordania antara umat Muslim, 
Kristen dan Yahudi bersama-sama menggalang Pengadaan Air di daerah tersebut. 
Ini sangat bagus, jadi ngga melulu yang hancur-hancuran. Masih banyak lagi 
bentuk2 lain yang dapat ditonjolkan. Saya kira demikian, terima kasih. 
        Posted by Hizkia  on  08/01  at  10:10 AM
        Yth Bapak penulis 
        Tulisan saudara sangat bagus dan objectif, melakukan kajian dari dua 
sisi, sayang hanya sisi gelapnya islam saja yang saudara tonjolkan (walaupun 
sisi gelap tersebut tidaklah Salah ) tapi saudara mungkin kurang pas tentang 
informasi negara islam, sepanjang yang saya ketahui negara islam di dunia ini 
hanyalah republik islam iran dan selebihnya hanyalah negara yang penduduknya 
manyoritas beragama islam. 
        Sehingga referensi islam yang sebenarnya hanya iran...Apakah iran ada 
kekerasan? ( iran sangat toleransi dengan mazhab dan agama lain), kalaupun ada 
berita bahwa iran menyokong hizbulloh, palestina dan afganistan hal tsb hanya 
untuk perlindungan dari minoritas yang tertindas dan tidak adil dari negara 
yang berkuasa. 
        Tentang ekonomi pada saai itu negara iran merupakan salah satu negara 
yang mempunyai utang nol...di gempur perang dgn iran tidaklah mengurangi 
kekayaan iran. 
        Pendidikan di iran sangatlah maju sampai-sampai berani menantang 
Amerika. 
        Saya rasa orang seperti saudara perlu belajar lebih banyak lain...Ma’af 
kalau ada kata-kata yang kurang sopan...Syukron 
        Posted by Muhammad Al-Amin  on  08/01  at  09:32 AM
        dan juga islam bukan agama kekerasan, soal kasus monas dan kasus 
kebanyakan lainya seperti yang sudah saya katakan. 
        umat islam tidak akan marah kalo tidak disulut. 
        cobalah anda dengarkan kasus monas itu langsung dari FPI juga jangan 
cuman dari media anda tahu sendiri media massa sekarang itu dikuasai siapa. 
        itu berarti anda menuduh tanpa mendengarkan belaan dari pihak yang 
lain. selalu saja begini umat islam yang disalahkan tanpa mereka tahu apa yang 
sebenarnya terjadi. coba lasung di cek ke habib riziq apa yang terjadi dan 
alasannya kenapa. 
        Posted by hasan  on  08/01  at  02:42 AM
        Irsad, 
        Betul sekali. Artikel ini hanya asbun saya. Lebih baik kita bergerilya 
melawan AS dan Israel pengecut itu. Marilah kita menabung dan membeli hulu 
ledak nuklir dari negara ek Uni Soviet dan membom kota L.A yg menjadi sumber 
pengekpor budaya kaum kafir tersebut. Setelah menang kita akan kirimkan 
wanita-wanita dari Indonesia untuk saudara setengah kita di Arab untuk 
diperkosa dan disiksa. Kalo hamil kembali melahirkan setengah arab yang dpt 
diandalkan berkotbah pada hari jumat. 
        Memang skrg orang Arab kaya raya dari minyak tanpa berusaha sedikit dan 
banyak uang di CITIBANK dan Airbus. Seharusnya kita bangsa Indonesia jadi budak 
mereka saja, drpd mengunakan internet, prosesor Intel atau monitor Samsung yg 
notabene buatan bangsa KAFIR. 
        Hidup Arab dan mari kita hancurkan bangsa kafir AS, ISRAEL, CHINA, 
JEPANG, KOREA. 
        Biarkan Allah membakar mereka dengan kepala nuklir yang teknologinya 
diketemukan oleh nenek moyang bangsa Arab. 
        Aminnnn...... 
        Posted by anti-israel  on  08/01  at  01:50 AM
        Lihat/Tulis Komentar 

   

Kirim email ke