----- Original Message ----- 
  From: Desantara.Org 
  To: [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL 
PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL 
PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL 
PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL 
PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL PROTECTED] ; [EMAIL 
PROTECTED] 
  Sent: Friday, September 19, 2008 9:54 AM
  Subject: [pantau-komunitas] Cara Beda To Mimala Memaknai Yang Esa



        Cara Beda To Mimala Memaknai Yang Esa        

  Oleh Tamsil (www.desantara.org)


   Belakangan ini, tampak ada yang beda dengan pelaksanaan ritual ajaran To 
Mimala di dusun Kaleok desa Batetangnga, Kec. Binuang, Kab. Polewali Mandar, 
Sulawesi Barat. Sebelumnya, ritual selalu dilakukan di tempat tertutup dan 
hanya boleh diikuti oleh para penganutnya saja, namun akhir-akhir ini tidaklah 
demikian. Mereka menyelenggarakannya di tempat terbuka dan boleh diikuti orang 
luar. Sebuah prosesi yang tak lagi tertutup.


  Biasanya, ritual To Mimala dilakukan di hutan, sungai, batu dan kuburan. 
Dalam ritual, salah satu prosesinya adalah, memotong ayam. Darah ayam itu lalu 
ditampung dalam wadah-wadah yang sudah dipersiapkan sebelumnya; satu ekor satu 
wadah. Lalu, darah diminum separuhnya dan sisanya dibakar dalam daun pisang. 
Hasil pembakaran itu kemudian diberikan kepada sang pemilik hajat. Sementara 
sebagian sesajen lainnya digantung di rumah, di kebun, atau sawah –bergantung 
dari niat yang melakukan ritual To mimala.

  Apa yang melatari dari perubahan ini? "Ritual dilakukan dengan 
terang-terangan karena orang luar semakin hari membuka lahan dan pemukiman baru 
di wilayah Kaleok," tutur Ami, salah seorang penganut ajaran To Mimala. 
Karenanya, tambah Ami, tidak adanya tempat yang tak diketahui orang umum, 
membuat ritual dilakukan terang-terangan.

  Mengenai nama To Mimala sendiri mengandung arti beragam. Kata "To", dalam 
pengertian luas, adalah manusia sempurna atau orang yang paling di atas. 
Sedangkan kata "Mimala" bermakna alam. Mimala, juga kadang diartikan sebagai 
persembahan sesajen kepada dewata, penghargaan terhadap alam semesta, dan 
penolak bala'. Ritual To Mimala sejatinya diperuntukkan kepada SangBarata, Sang 
Pencipta alam semesta. 

  Dikejar-kejar

  Karena dianggap musyrik, penganut ajaran To Mimala selalu dikejar-kejar oleh 
kelompok yang tidak menginginkan keberadaan mereka. Hingga kini, jika ketahuan 
melakukan ritual To Mimala, akan dibubarkan oleh warga dari Kampung Bawah. 
Inilah alasan mengapa ajaran yang satu ini sulit berkembang dan penganutnya 
kian hari kian menyusut.

  Jika merunut sejarahnya, maka penganut To Mimala sebenarnya kenyang 
pengalaman soal bagaimana dia selalu dikejar-kejar dan diperlakukan layaknya 
komunitas "terlarang" karena ajarannya dianggap menyimpang dari Islam. Di tahun 
1960-an mereka pernah dirazia oleh DI/TII, pimpinan Kahar Muzakar. Ceritanya, 
saat itu karena DII/TII diberantas oleh TNI 710 Diponegoro, mereka melakukan 
taktik gerilya dengan masuk ke hutan-hutan. Dan, salah satu hutan yang menjadi 
tempat gerilya adalah di desa Batetangnga, tempat To Mamila berada.

  Karena melihat ritual To Mimala yang menyembah selain kepada Tuhan, anggota 
DI/TII lantas merazia dan membumihanguskan tempat tinggal para penganut 
kepercayaan tersebut. Mereka juga ditodong dan dipukul, hingga ada yang sampai 
tak sadarkan diri.

  Razia DI/TII, membuat penganut ajaran To Mimala menyingkir ke pegunungan di 
sebelah utara Batetangnga. Pilihan tempat ini karena banyak terdapat batu-batu 
besar, sungai, atau pohon besar yang biasanya menjadi tempat ritual. Pengejaran 
itu pula lah yang juga tampaknya membuat penganut kepercayaan To Mimala 
merahasiakan diri saat melangsungkan sembahyang.

  Padahal, sebagaimana kata H. Tima', pohon, misalnya, bukanlah untuk 
sesembahan melainkan hanya medium saja. Karena yang disembah esensinya adalah 
Tuhan Yang Esa. Ini hanyalah cara serta bukti untuk melestarikan alam.

  Senada dengan hal di atas, Simba, tokoh pemuda To Mimala, menegaskan bahwa 
niat bagi To Mimala melakukan sembahyang dengan ritual itu, muncul dari dalam 
hati seseorang tanpa ada paksaan. "Apapun, kalau niatnya salah, maka yang ia 
sembah adalah setan," ungkap Simba. Jadi, "Yang menentukan apa yang diniatkan 
orang dalam sembahyang adalah orang itu sendiri."

  To Mimala sendiri, dalam ajarannya justru begitu toleran. Ini dibuktikan 
dengan adanya batu Sumandilo. Batu yang berada di Kaleok ini adalah batu 
persahabatan agama-agama. Batu Sumandilo, dibagi dalam tiga potongan. Di bagian 
depan, batu disimbolkan agama Islam, bagian tengah disimbolkan agama Kristen, 
dan bagian belakang adalah Aluk Todolo atau kepercayaan To Mimala.

  Saat Islam datang di Kaleok, justru berakulturasi dengan kepercayaan To 
Milama. Hal itu bisa dilihat saat berlangsungnya prosesi upacara-upacara adat, 
seperti kematian, pesta kawin, dan Maulid Nabi Muhammad saw dengan membuat 
syair (cakkiri). Cakkiri, adalah syair yang menggunakan dialek Pattae (salah 
satu etnis desa Batetangnga) yang dicampur dengan dialek Arab. Sebagian 
liriknya juga menggunakan bahasa Arab meski tidak terlalu pas dengan kaidah dan 
pelafalan huruf abjad arab. Isinya, memuji Nabi Muhammad dan ke-Esa-an Tuhan 
Yang Maha Esa.

  Bagi haji Tima', To Mimala tidak berbeda dengan Islam. To Mimala juga percaya 
bahwa Tuhan itu satu. Tuhan tidak beranak dan tidak bisa dirasionalkan. Mungkin 
yang membedakan hanyalah kitab sucinya. To Mimala menggunakan tradisi lisan 
dalam menyampaikan ajaran yang dikenal dengan ampe-ampena todolo.

  Tima' sendiri, sebagaimana juga mayoritas umat Islam lainnya, mendamba naik 
haji. Maka, ia pun ketika memiliki rezeki pergi ke tanah suci. Meski berhaji, 
kepercayaannya terhadap To Mimala tak luntur. Seusai naik haji, ia tetap 
melakukan ritual To Mimala, memberi sesajen pada pohon dan batu sebagai bagian 
dari cara mereka menyatu dengan alam.[] Desantara Report 


   

Kirim email ke